Miris
Oleh: Syifa Nurhasanah
SMPN 2 Tanjungsiang
Seperti biasa pagi menyambutku dengan senyumannya, namun entah kenapa rasanya pagi ini aku merasa lelah, letih dan tidak bersemangat. Rasa malas masih menyelimuti diriku. Akhirnya aku memutuskan untuk tertidur kembali. Satu jam kemudian aku terbangun dari tidurku karena merasa ada sesuatu yang melilit tubuhku, “Oh ternyata cuman selimut,” gumamku. Aku masih terduduk di kasurku dan mencoba untuk mengumpulkan nyawaku yang belum sepenuhnya kembali.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Oh, astaga! Aku lupa aku harus berangkat kuliah sekarang juga. Tanpa berpikir panjang aku bergegas pergi mandi.
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Dan aku masih belum berangkat kuliah juga karena menunggu ojek online.
“Aduh! Aku pasti dimarahin sama dosen nih,” Aku berbicara kepada diriku sendiri.
Tit… Tit…
Terdengar bunyi klakson motor dari arah luar, “Oh itu pasti ojek onlinenya,” Aku bergegas pergi keluar dan menemuinya.
“Dengan mbak Dela?” tanya pengemudi ojek online itu.
“Iya, Pak. Ayok cepat, Pak berangkat, aku udah telat nih!” Aku pun memakai helm dan langsung melesat pergi bersama pengemudi ojek online.
Namaku Dela. Aku adalah salah satu mahasiswi di Universitas Negeri Semarang, aku memiliki cita-cita untuk menjadi guru sekolah dasar. Oleh karena itu aku mengambil jurusan PGSD di kampusku. Aku sering sekali terlambat berangkat kuliah alasannya karena aku tidak tinggal bersama kedua orang tuaku, jadi tidak ada yang membangunkanku selain alarm jam milikku. Aku ngekos di Semarang agar lebih dekat untuk pergi ke kampus. Sekarang aku kuliah semester enam.
Akhirnya aku sampai di kampusku.
“Ini, Pak ongkosnya, kembaliannya Bapak ambil aja,” Aku menyerahkan uang itu dan bergegas pergi menuju ke kelasku.
“Makasih. Mbak, jangan lupa bintang lima nya, ya!”
Aku ragu untuk membuka pintu kelasku, aku takut kalau dosenku akan memarahiku. Sudah lima menit aku diam di depan pintu itu.
“Ah aku buka aja deh, dihukum juga gapapa,” akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu itu.
Ceklek…
Semua sorot mata tertuju kepadaku. Aku melihat ke arah tempat duduk dosenku, “Ah syukurlah ternyata tidak ada dosenku disini,” Aku berjalan ke tempat dudukku.
“Eh, Dela, lo kemana aja sih, gue kira lo gak bakal masuk hari ini,” ucap Widi sahabatku.
“Biasa gue bangun kesiangan,” jawabku.
Tiba-tiba dosen masuk ke dalam kelas.
“Baik, Bapak akan memberikan pengumuman kepada kalian semua. Kalian sekarang kan sudah memasuki semester ke enam, jadi kalian akan mengikuti program Kuliah Kerja Nyata. Bapak akan membagikan kelompok untuk kalian, satu kelompok terdiri atas lima orang,” ucap dosenku panjang lebar.
“Semoga aku bareng sama si Widi,” gumamku.
“Kelompok ketiga adalah Dela, Icha, Widi, Ali, dan Deri.”
Sontak aku dan Widi saling bertatapan, yap kami sangat bahagia karena berada dalam satu kelompok. Dosenku menjelaskan lokasi untuk kegiatan KKN, dan kami akan melakukannya selama dua bulan.
Keesokan harinya kami langsung berangkat ke desa itu dengan menggunakan mobil. Diperjalanan seperti biasa kami bersenda gurau dan sesekali kami menyanyi di dalam mobil. Kami sangat menikmati perjalanan itu.
“Eh, kira-kira nanti gimana yah di sana, ada jaringan internet gak, ya?” celetuk Icha.
“Ya, namanya juga desa, kayaknya gak ada jaringan internet deh,” jelasku.
“Omaygat!!! Enggak-enggak, aku gak bisa, gak mau!” teriak Widi.
“Ish, lebay banget sih kalian, di desa juga ada kali jaringan internet,” ucap Ali.
Sementara Deri hanya diam karena sedang menyetir mobil. Tak terasa tiga jam telah berlalu dan kami pun tertidur.
“Heh kita udah sampai nih, ini bukan sih desanya?” tanya Deri.
“Hoaam, iya ini deh kayaknya” ucap Ali sambil menguap.
Kami pun sampai di kantor kepala desa dan segera menemui kepala desa.
“Permisi, Pak! Kami mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang. Kami akan melakukan kegiatan di desa Bapak. Ini dokumen dari kampus untuk keperluan kegiatan selama di sini,” jelas Ali.
“Oh, iya, selamat datang anak-anak. Bapak senang dengan kedatangan kalian. Untuk tempat tinggal kalian selama di sini, telah disediakan rumah. Mari Bapak antar!” ucap bapak kepala desa.
“Ngomong-ngomong kalian berapa lama di sini?” selanya.
“Terima kasih Bapak atas ketersediaannya, kami tinggal di sini selama dua bulan, Pak,” jawabku.
Kami pun beristirahat dan akan memulai kegiatan keesokan harinya.
Malam telah berlalu, suara ayam yang saling bersahutan membangunkan diriku. Aku mandi terlebih dahulu begitu pun dengan teman-temanku.
“Yuk. kita berangkat ke SD, gak sabar deh gue!” ucapku.
Kami pun berangkat ke SD itu, sesampainya di sana kami disambut oleh guru-guru dan kepala sekolah. Pada akhirnya, kami harus berpisah karena kami mengajar di kelas yang berbeda.
“Huh, aku gugup banget, pertama kali nih ngajar bocil (bocah cilik),” Aku berdiri mematung di depan pintu kelas.
Akhirnya aku memberanikan diri dan membuka pintu itu. Terlihat anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran, berlari ke tempat duduknya masing-masing karena melihat aku datang.
“Halo adik-adik! Kenalin nama kakak Dela, kalian bisa panggil kakak, kak Dela ya!” sapaku kepada anak-anak itu.
Namun mereka masih terdiam, mungkin karena ini baru pertama kalinya bagi mereka. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Aha! Aku memiliki ide.
“Oh, iya, kakak punya lagu buat kalian biar semangat belajarnya, ayo semuanya uberdiri, ya! Jangan takut sama kakak, kakak gak bakalan gigit ko.” Ucapku sembari mencairkan suasana.
Mereka semua berdiri dan mengikutiku bernyanyi, setelah beberapa lama akhirnya mereka pun tidak canggung lagi. Hari ini aku tidak memberikan materi kepada mereka hanya bernyanyi dan melakukan permainan saja.
Kring… Kring…
Suara bel menggema di seluruh penjuru sekolah.
“Tuh bel nya udah bunyi, sekarang kalian boleh pulang!” ucapku.
Semua anak-anak bergegas memasukkan alat-alat sekolah mereka ke dalam tas mereka masing-masing.
“Babay kakak, besok kita ketemu lagi, ya,” ucap seorang murid.
Aku dan temanku berkumpul di kantin sekolah sambil berbincang tentang apa yang kami lakukan tadi.
“Gila, capek juga ternyata ngurus anak SD!” celetuk Widi.
“Yaelah, lu mah baru satu hari aja udah capek, gimana nanti kalo udah dua bulan,” ejek Deri yang membuat kita semua tertawa karena ulahnya.
Kami pulang ke tempat tinggal kami dan beristirahat.
“Eh, kita jalan-jalan, yuk! Kali aja nanti gue ketemu sama kembang desa,” ucap Ali.
“Hadeuh, lu mah pikirannya cewe mulu.” balas Deri.
Kami berjalan menyusuri jalan desa dan bertemu dengan anak-anak yang sedang berkumpul. Kami pun menemui mereka, aku begitu terkejut ketika melihat mereka, ternyata mereka berkumpul karena sedang bermain gadget.
“Adik-adik kalian lagi ngapain nih?” tanya Icha.
“Lagi main game, Kak, lagi mabar (main bareng),” jawab seorang anak.
“Gimana kalo kita baca buku aja, nih Kakak bawa buku banyak banget,” ucapku sambil mengeluarkan buku-buku dari tas milikku.
“Ah, enggak, Kak. Kita belum bisa baca. Lagian lebih seru main game daripada baca buku,” ucap anak berkaus merah.
Degg…
“Apa ini, anak-anak ini lebih mementingkan bermain game daripada membaca buku? Sungguh miris anak-anak sekarang,” gumamku.
Aku dan teman-temanku saling memandang satu sama lain.
“Adik-adik, Kakak sedih loh denger jawaban kalian! Kalian tau, gak, kalau buku itu merupakan jembatan ilmu. Di dalam buku terdapat banyak ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kita meniti kehidupan. Serta menghubungkan kita dengan dunia luar. Jadi kalo adik-adik baca buku bisa menambah ilmu pengetahuan,” Aku menjelaskan kepada mereka.
Mereka terdiam.
“Kalau begitu, ayo, Kak sekarang aku mau baca buku!”
“Siip pinter banget nih adik kakak, ayok nanti Kakak kasih permen deh,” ucap Widi temanku. Sore itu kami habiskan waktu bersama anak-anak itu. Hingga malam tiba dan kami pulang ke kosan.
Tak terasa sudah dua bulan kami berada di desa ini, hari ini kami harus kembali ke Kota Semarang lagi untuk melanjutkan kuliah kami. Kami berpamitan kepada guru-guru dan anak-anak yang ada di sekolah itu. Saat itu suasananya sangat haru, anak-anak menangis saat kami akan pulang.
Kami pun segera bergegas untuk pergi. Terbesit di pikiranku, “Apakah masih banyak anak-anak di luar sana yang sibuk memainkan gadget dan lupa dengan kewajiban mereka sebagai pelajar?” yanyaku kepada diri sendiri.
Entahlah aku harap yang ada di pikiranku itu salah. Tumbuh di era modern seperti ini sulit rasanya untuk kita beradaptasi. Kemajuan teknologi membuat kebiasaan yang diturun-temurunkan menjadi terlupakan. Anak-anak sibuk dengan dunia mereka sendiri dan lupa akan kewajibannya. Mungkin suatu saat nanti kebiasaan membaca akan terus memudar dan bahkan hilang. Hanya kita satu-satunya harapan sebagai penerus bangsa untuk selalu melestarikan kegemaran membaca, salah satunya dengan melakukan kegiatan literasi. Aku harap suatu saat nanti aku bisa menjadikan negara ini negara yang maju dan berkembang.*)