Impian
Oleh: Syifa Nurhasanah
SMPN 2 Tanjungsiang
Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya, sontak ia pun menoleh.
“Dek, gorengannya berapaan?” tanya seorang perempuan berkerudung hitam.
“Lima ribu tiga, Kak,” jawabnya.
“Kakak beli enam, ya, nih uangnya. Makasih!”
Ia pun menerima uang itu dengan senang hati.
Tiba-tiba langit menjadi mendung yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Ia pun bergegas pulang menuju ke rumahnya. Untuk sampai ke rumahnya ia harus menyusuri lorong-lorong yang sempit yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki.
Ia pun sampai di depan rumah yang sederhana. Bangunannya didominasi kayu yang sudah terlihat kusam.
“Assalamualaikum, Mak! Dika pulang,” ucapnya.
Ya, anak itu bernama Dika.
“Waalaikumsalam sini, Nak! Emak udah masak kesukaan Dika, tuh di dapur, dimakan, ya!” ucap emaknya.
Dika pun memakannya dengan senang hati. Dika adalah seorang anak laki-laki yang sangat pintar, bahkan di kelasnya Dika selalu mendapatkan peringkat pertama. Namun Dika hanya hidup berdua dengan ibunya, Ayahnya meninggal sejak Dika masih kecil.
Kini Dika masih duduk di bangku kelas lima, setiap pergi ke sekolah Dika selalu membawa gorengan buatan ibunya untuk ia jual. Tak jarang teman sekelasnya mengejek Dika karena hal itu, tetapi Dika tidak pernah sedih ia yakin suatu saat nanti ia akan menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan ibunya.
Matahari terbit dari ufuk timur, suara ayam saling bersahutan yang menandakan pagi sudah tiba.
“Mak, Dika berangkat sekolah, ya. Assalamualaikum,” ucap Dika seraya membawa gorengan buatan emaknya untuk dijual.
Sesampainya di sekolah Dika menitipkan gorengannya kepada ibu kantin untuk dijual. Dika pun segera bergegas pergi ke kelasnya karena hari ini akan ada ulangan Matematika. Tentu saja Dika sudah belajar dari semalam untuk ulangan hari ini.
Ulangan pun tiba, ketika Dika membaca seluruh soal ulangan Dika merasa senang, karena apa yang Dika pelajari semalam ada di soal ulangannya. Tiga puluh menit berlalu dan akhirnya Dika selesai ulangan Matematika.
Tet… Tet…
Terdengar suara bel berbunyi, yang menandakan waktunya untuk istirahat. Semua siswa berlomba-lomba untuk sampai ke kantin terlebih dahulu. Namun tidak dengan Dika, ia selalu menunggu teman-temanya untuk keluar lebih dulu karena Dika tidak membawa uang.
“Dika, kamu gak mau ke kantin?” tanya Santi.
Yap, di sekolah, Dika hanya memiliki satu orang teman yaitu Santi.
“Eh enggak, aku bawa bekal dari rumah,” ucap Dika sembari tersenyum.
“Oh…! Ya, udah aku ke kantin dulu ya, nanti aku balik lagi ke sini,” ucap Santi.
Dika memakan bekal dari emaknya, walaupun hanya makan dengan tempe tapi itu lebih dari cukup untuk Dika.
Kring… Kring…
Suara bel pulang berbunyi, semua siswa bergegas untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Dika tidak langsung pulang, ia harus mengambil kembali gorengan yang ia titipkan tadi ke ibu kantin. Gorengannya hampir terjual semua, dan hanya menyisakan satu butir tahu goreng.
“Alhamdulillah, gorengannya laku hari ini,” gumam Dika. Ia pun bergegas pulang kerumahnya.
“Assalamualaikum, Mak! Dika pulang,” ucap Dika. “Loh, Emak kemana?” gumam Dika.
“Eh, Dika udah pulang? Maaf, tadi Emak habis beli lauk buat makan. Yuk, kita makan dulu! Kamu ganti baju, terus langsung ke dapur, ya!” titah emaknya.
Dika mengganti bajunya dan makan bersama emaknya. Sambil makan Dika memperhatikan raut wajah ibunya. Terlihat kesedihan di mata ibunya. Dika berjanji suatu saat nanti dia akan membahagiakan ibunya dengan prestasi yang ia miliki.
Tujuh tahun telah berlalu dan kini Dika telah duduk di bangku kelas dua belas. Prestasi Dika terus saja bertambah dan menjadi anak yang sangat berprestasi di sekolahnya. Ia sering memenangkan perlombaan dan membuat harum nama sekolahnya.
Hari ini adalah hari terakhir Dika melaksanakan Ujian Nasional, Dika mengerjakan soal ujian dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan. Setelah sembilan puluh menit berlalu Dika menyerahkan kertas jawabannya kepada guru pengawas dan bergegas untuk pulang.
Hari kelulusan telah tiba. Dika ingin sekali melanjutkan sekolahnya dengan cara kuliah agar cita-citanya sejak kecil dapat terwujud. Cita-cita Dika adalah ingin menjadi seorang dokter. Namun di sisi lain Dika merasa dia tidak akan mampu untuk membayar biaya kuliah. Ketika sedang melamun Dika dikejutkan oleh suara speaker sekolah.
Krkk…Krkkk…
“Panggilan kepada Dika dari kelas dua belas sekarang ditunggu di ruang guru secepatnya!” suara speaker bergema di seluruh penjuru sekolah.
Sontak Dika terkejut. Dika langsung bergegas pergi ke ruang guru, “Kenapa aku dipanggil ke ruang guru, apakah aku melakukan sebuah kesalahan?” tanya Dika kepada dirinya sendiri. Di ruang guru telah ada Kepala sekolah yang menunggu Dika.
“Silakan duduk, Nak! Bapak ingin membicarakan sesuatu dengan kamu,” titah kepala sekolah.
Dika pun duduk di depan kepala sekolahnya itu. Dika menebak apa yang akan dibicarakan kepala sekolahnya dengan dirinya, namun raut wajah kepala sekolahnya itu sulit untuk ditebak.
“Selamat, Nak Dika! Kamu diterima di Universitas Indonesia. Kamu mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolah di sana,” jelas kepala sekolahnya.
Deg…
“Apa ini? Ini bukan mimpi, kan?” Dika berbicara di dalam hati.
Dika keluar dari ruang guru dan kembali ke kelasnya. Otaknya terus saja mencerna apa yang dikatakan kepala sekolahnya tadi.
“Apakah ini artinya aku bisa kuliah?” tanya Dika kepada dirinya sendiri.
Sepanjang perjalanan pulang ia sangat bahagia. Laki-laki dengan tubuh atletis itu tidak sabar untuk memberitahu ibunya bahwa dia bisa melanjutkan pendidikannya. Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikiran Dika.
“Kalau Dika kuliah berarti Dika harus ninggalin emak sendirian di rumah,” Dika bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Assalamualaikum, Mak! Dika pulang,” ucapnya.
“Waalaikumsalam, loh, Nak, wajah kamu kok murung gitu? Kenapa? Sini cerita sama Emak!”
“Mak, Dika dapat beasiswa buat kuliah di UI,” jelas Dika terus terang.
“Wah selamat, Nak!” seru ibunya sambil meneteskan air mata.
“Tapi, kalo Dika kuliah, Dika harus ninggalin Emak sendirian di rumah,” ucap Dika.
“Nak, Emak gak masalah kok ditinggalin kamu. Emak yakin suatu saat nanti ketika kamu balik lagi ke sini, Emak bakal liat kamu udah sukses, Nak. Pergilah, Nak, tuntut ilmu setinggi mungkin!”
Akhirnya Dika pergi meninggalkan ibunya di kampung untuk pergi kuliah ke Kota Jakarta. Sesampainya di sana Dika mencari kontrakan untuk tempat tinggal selama di Jakarta. Dika mengambil jurusan kedokteran di kampusnya itu.
Setelah menempuh pendidikan selama empat tahun. Hari kelulusan pun tiba. Dika menjadi lulusan terbaik di tahun ini, dengan nilai IPK tertinggi. Sekarang Dika sudah memiliki gelar dokter.
Kini Dika sudah menjadi dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta. Hidup Dika sudah berubah. Dika menjadi orang yang sukses. Sudah waktunya ia mewujudkan impiannya. Dika memutuskan saat itu juga untuk menemui ibunya di kampung.
Dika sampai di kampung halamannya, ternyata kampung halamannya ini masih sama seperti dulu. Dika mulai menyusuri lorong sempit untuk sampai ke rumahnya. Dika memandangi rumah milik ibunya itu. Tiba-tiba seorang wanita tua keluar dari rumah itu.
“Itu, Emak,” gumamnya. Dika langsung memeluk sosok yang ia panggil emak itu.
“Mak, ini Dika. Alhamdulillah Dika sekarang udah sukses, Mak. Dika sekarang udah jadi dokter.” Dika memeluk ibunya dengan erat sembari menangis.
“Nak, ini kamu? Alhamdulillah kamu sudah di sini,” balas ibunya tanpa melepaskan pelukan putra semata wayangnya.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Dika menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya. Ibunya sangat bangga memiliki anak seperti Dika. Dika adalah seorang anak yang pantang menyerah, dan memiliki ambisi yang kuat untuk mencapai mimpinya.
“Ayok, Mak, sekarang Emak ikut Dika ke Jakarta, ya! Dika sekarang udah punya rumah di sana,” ajak Dika.
Ibunya tidak menyangka, anak yang dibesarkan olehnya seorang diri sekarang sudah menjadi orang sukses.
Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan kita. Fokuslah terhadap semua mimpi-mimpimu, dan kejar semua cita-citamu. Buatlah kedua orang tua kita bangga memiliki anak seperti kita!*)