Dewi Lovita Apriani_Penerimaan_SMPN 2 Tanjungsiang

Screenshot_20210418-103504_WhatsApp2.jpg

Penerimaan
Oleh: Dewi Lovita Apriani
SMPN 2 Tanjungsiang

Tersebutlah Tina Ayu Rahardian. Ia anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Wulan Cahya Rahardian. Mereka yatim, ibunya meninggal sejak Tina berusia sepuluh tahun dan adiknya lima tahun. Sekarang mereka sudah berumur delapan belas tahun dan tiga belas tahun. Nama Rahardian diambil dari nama ayahnya yaitu Muhammad Yusup Rahardian.
Semenjak pandemi, Tina selalu berdiam diri di rumahnya. Ia selalu bermalas-malasan. Setiap hari pekerjaannya hanya main ponsel, nonton drakor, rebahan, dan makan. Setiap ada yang menasehatinya, ia selalu berkata, “Namanya juga anak remaja,” ujarnya tanpa ada sedikit pun rasa bersalah. Ia merasa bebas karena tidak ada yang mengawasi. Ayahnya baru pulang ke rumah pada sore hari menjelang malam, bahkan sering tidak pulang berhari-hari.
Pada suatu hari saat Tina sedang menonton televisi, ia mendapat berita bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan berakhir. Ia sangat senang mendengar berita itu. Ia bersemangat ingin memulai aktivitas di luar rumah. Ayahnya yang baru datang langsung memeluk kedua anaknya. Tina dan adiknya sangat senang dengan kepulangan ayahnya. Karena jarang sekali ayahnya pulang dan selama ayahnya bekerja mereka tinggal bersama neneknya.
Tidak terasa waktu sudah cukup larut malam. Ayahnya menyuruh mereka tidur, tetapi karena belum mengantuk mereka memilih menonton televisi.
“Yah, katanya PSBB akan segera berakhir, ya?” tanya Tina.
“Iya, benar. PSBB mau berakhir,” jawab ayah sambil menyeruput kopinya.
“Berarti kita boleh keluar dong, Yah?” tanya Wulan.
“Iya, sayang nanti kita main keluar, ya,” ayah tersenyum sambil mengusap rambut Wulan dan mengingatkan agar mereka segera pergi tidur.
Sebenarnya ada yang hendak disampaikan Pak Rahardian kepada anak-anaknya. Tetapi ia belum mendapatkan kesempatan yang baik. Ia menundanya. Pak Rahardian ingin sekali mengetahui bagaimana sikap anak-anaknya di rumah saat ia tinggal bekerja. Ia harus mencari tahu, tentu dengan bertanya kepada ibunya.
“Selama saya gak ada, anak-anak gimana. Mah?”
“Mereka baik-baik saja. Pada nurut sama Mamah,” jawab ibunya yang mencoba menutupi kelakuan cucu-cucunya. Terutama Tina.
“Syukurlah kalau begitu. Aku khawatir banget kalau mereka pada nakal-nakal, terima kasih ya, Mah udah jagain mereka!”
“Iya sama-sama, Nak. Makanya segera mencari pengganti ibu mereka!” Pak Rahardian hanya tersenyum, lalu ia pamit kepada ibunya untuk tidur.
Pagi pun telah tiba, mentari menyinari bumi dengan cahayanya yang kemilau. Tidak seperti biasanya, Tina mendadak rajin sekali. Begitu bangun tidur langsung bergegas ambil wudu terus salat Subuh. Kemudian terlibat aktif membantu neneknya sampai selesai semua pekerjaan rumah tangga.
Melihat hal itu ayahnya sangat senang. Ia sugguh mengira anaknya tumbuh dengan mandiri, tidak manja lagi seperti dulu sebelum ibunya meninggal. Pak Rahardian melihat Wulan nampak seperti sedang mencari benda yang hilang.
”Kamu cari apa, Nak?” tanyanya.
“Uang Wulan hilang, Yah,”
“Oh, itu uang kamu, ya. Tadi ayah masukin celengan,”
“Iiihh, Ayah kenapa dimasukin celengan?”
“Gapapa, kan bagus ditabung. Menanbung itu banyak manfaatnya. Sudah, nanti uang Wulan diganti sama Ayah,” Wulan senang mendengar janji ayahnya. Kejadian itu menyadarkan Wulan. Ia berniat untuk menabung pada hari-hari mendatang.
Berita dari televisi mengabarkan kalau PSBB itu benar-benar sudah selesai. Hal itu membuat Pak Rardian bermaksud memberi kejutan kepada anak-anaknya. Ia berencana akan mengajak kedua anaknya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Ada beberapa pusat perbelanjaan yang sudah dibuka.
“Nak, Ayah gak bisa lama-lama di rumah. Ayah harus berangkat kerja lagi,” ujar ayahnya. Mendengar hal itu membuat kedua anaknya sedih sekali. Mereka masih merindukan ayahnya. Malahan Wulan sampai menangis.
”Kan kata Ayah libur satu bulan,” ujar Tina menahan tangis.
“Iyaa. Tapi Ayah dapat telpon tadi, katanya ayah harus kerja lagi besok,” ujar Pak Rahardian sambil menahan tawa.
”Ahh, gimana sih, Ayah. Kita masih mau main sama Ayah,” ujar Wulan. Dengan penuh rasa kecewa Tina dan Wulan serempak meninggalkan ayahnya. Mereka benar-benar kecewa dan sedikit marah. Tina pergi ke kamarnya dan Wulan pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi. Pak Rahardian senyum-senyum melihat tingkah kedua anaknya.
Malam pun tiba. Tina dan Wulan masih marah sama ayahnya karena kejadian tadi siang. Tak sedikit pun mereka tahu kalau sebenarnya mereka hanya kena prank saja. Saat Tina dan adiknya sedang bermain game di kamar, sang ayah datang. Mereka langsung diam membisu karena kemarahan meraka pada ayahnya itu belum reda.
“Hai, kenapa anak Ayah kok pada cemberut?”
Tina diam, tidak bereaksi.
“Enggak kok, biasa aja ya kan, Kak?”
“Ya, udah Ayah tinggal lagi, ya,” ujar Pak Rahardian sambil berlalu meninggalkan kedua anaknya.
Pak Rahardian tengah menunaikan salat malam. Ia lakukan dengan penuh kekhusyukan. Ia adukan segala keluh kesahnya kepada Maha Pencipta. Lelaki setengah baya itu tenggelam dalam lantunan doanya yang panjang. Ia tidak menyadari jika anak keduanya mendengar semua apa yang ia adukan kepada Allah SWT.
“Ya Allah, jagalah Ayah, lingdungi Ayah, lancarkan semua urusan Ayah,” ujarnya dalam hati. Wulan terkejut mendengar doa ayahnya tentang calon ibunya. Ia bertanya-tanya di dalam hatinya, “Dia itu, siapa? Mengapa Ayah enggak cerita sama aku dan kakak?” Wulan bisa mengerti jika ayahnya membutuhkan pendamping dalam hidupnya.
Wulan kembali masuk ke kamarnya. Ia merenungi semua yang telah didengarnya. Gadis berperangai lembut itu berpikir apakah perlu atau tidak memberitahu kakaknya mengenai sesuatu yang sudah ia ketahui. Wulan tahu sifat kakaknya kayak gimana, mungkin sulit baginya menerima seorang ibu sambung.
Pagi tiba. Matahari sudah menampakkan wajahnya. Semua orang sudah bangun karena setahu mereka sekarang Pak Rahardian akan berangkat bekerja. Jadi mereka menyiapkan semua kebutuhannya. Mereka bingung mengapa sudah pukul tujuh Pak Rahardian belum bersiap-siap. Saat dua kakak beradik itu dalam keadaan bingung, ayah mereka muncul dalam keadaan sudah rapi.
“Ayo, sekarang kalian ikut Ayah, ya. Cepat ganti baju!”
Tina dan Wulan saling berpandangan. Mereka tidak mengerti maksud dan tujuan ayahnya, tetapi juga tidak membantah perintahnya. Setelah semua siap, mereka pun pergi.
“Loh, kok kesini?” ujar Tina.
“Ikut aja, ayo!” ujar ayahnya. Tina dan Wulan tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Mereka tampak sumringah. Lalu ayahnya mengajak kedua putrinya menuju food court yang ada di pusat perbelanjaan itu. Pak Rahardian celingukan. Ia tersenyum setelah menemukan yang dicarinya. Kedua putrinya terus mengikuti langkah ayahnya. Tibalah mereka di meja yang ada di sudut ruangan. Di sana sudah menunggu perempuan cantik dengan dandanan yang rapi. Senyum perempuan itu mengembang melihat kedatangan Pak Rahardian bersama kedua putrinya. Mereka langsung duduk di kursinya masing-masing.
“Nak, sebenarnya Ayah mengajak kalian ke sini untuk mengenalkan kalian kepada teman Ayah, namanya tante Lia. Ayah dan tante Lia sudah berhubungan cukup lama. Ayah berharap kalian dapat menerima tante Lia sebagai ibu sambung kalian,” dengan lemah lembut Pak Rahardian menjelaskan.
“Apa ini? Aku gak mau!” sembur Tina. Wajah Tina langsung memerah menahan marah.
“Kak, kok gitu sih, kan kita nanti gak bakal kesepian lagi kalau ada tante Lia. Terus Ayah juga bakal ada yang ngurus. Kita gak perlu lagi tinggal bersama nenek. Nanti nenek yang akan tinggal bersama kita. Nenek sudah tua, Kak, kasihan kalau harus terus megurus kita,” Wulan terdengar lebih bijak dan dewasa.
“Kakak gak mau. Dahlah, Kakak mau pulang aja!” kata Tina sambil setengah berlari meninggalkan tempat itu.
“Kak, tunggu!” Wulan mengejar kakaknya.
Pak Rahardian mengantar pulang tante Lia dengan hati gelisah. Ia merasa tidak enak atas sikap anak-anaknya. Terutama sikap Tina. Sang ayah mengira mereka bakalan senang dengan adanya sosok ibu baru bagi mereka, tetapi kenyataannya salah.
Tina dan Wulan mendengar kabar kalau ayahnya mengalami kecelakaan setelah mengantar tante Lia pulang. Meraka sangat kaget dengan kabar itu, lalu mereka langsung ke rumah sakit untuk menjenguk sang ayah. Di rumah sakit mereka bertemu dengan tante Lia. Perempuan cantik itu yang dengan telaten merawat ayahnya. Tante Lia selalu menemani ayah dan tidak mengizinkan kami tidur di rumah sakit.
Kejadian itu menyadarkan Tina. Ia tidak boleh egois. Ayahnya membutuhkan pendamping. Tina sadar tante Lia perempuan yang sangat baik. Ia menyesali perbuatannya. Ia juga menyadari kesalahan pada neneknya dan ia berjanji akan memperbaiki sikapnya juga meminta maaf kepada neneknya dan tante Lia.*)

(Visited 34 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan