Anisa Sabrina Qona’ah_Pandemi Hilanglah_SMPN 2 Tanjungsiang

Screenshot_20210419-053736_WhatsApp2.jpg

Pandemi Hilanglah
Oleh: Anisa Sabrina Qona’ah
SMPN 2 Tanjungsiang

“Dania, ayo cepat bangun! Kamu harus salat nanti telat, lohh!”
Suara itu begitu nyaring terdengar, mengusik tidur nyenyak seorang gadis. Itu suara ibu sang gadis, ia harus membangunkan putrinya karena sudah pukul lima anak semata wayangnya belum juga bangun. Padahal anaknya itu harus pergi ke sekolah dan yang terpenting putrinya harus menunaikan salat subuh.
Dengan terpaksa sang gadis pun akhirnya bangun. Ia menunaikan semua kewajibannya dan mempersiapkan diri sampai ia mengenakan seragam putih birunya. Ya, gadis itu, Dania. Ia siswa kelas sembilan. Sambil bercermin ia memperhatikan dirinya dengan seragam yang terpasang rapi, sempurna di badannya. Dalam hati Dania berkata, “Aku bangga bisa menjadi anak sekolah,” sambil tersenyum penuh arti.
Tengah asyik mematut diri di depan cermin, terdengar lagi suara ibunya.
“Dania, sini kita sarapan!” ajak ibunya.
“Baik, Bu.”
Dengan penuh semangat, Dania pun pergi ke meja makan dan mereka berdua pun sarapan bersama.
“Setelah sarapan kamu harus cepat pakai sepatumu, sebentar lagi sahabatmu akan sampai kesini!”
“Oke, Ibuku sayang,” kata Dania. Ibunya tersenyum.
Tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu, bersamaan suara seseorang memanggil. Ternyata itu sahabat Dania sejak sekolah dasar. Namanya Syakila.
“Assalamualaikum, Daniaaa…, yuk berangkat!”
“Waalaikumsalam, yuk!” sahut Dania. Mereka lalu pamit dan meminta doa restu kepada ibu Dania.
“Aku bersyukur mempunyai putri yang selalu bersemangat dalam menimba ilmu. Tanpa pernah terlihat malas dan putus asa,” kata ibu Dania dalam hati.
Dengan berjalan kaki mereka menuju sekolah. Setiap hari, walaupun jaraknya cukup jauh, tetapi mereka selalu terlihat semangat tanpa tergambar sedikit pun rasa malas. Butuh waktu yang cukup lama sampai mereka tiba di sekolah. Mereka berpisah karena kelasnya berbeda.
“Tring… Tring… Tring…!”
Bel masuk sudah terdengar. Semua siswa langsung masuk ke kelas masing-masing. Dania mengikuti pelajarannya dengan baik dan bersemangat, begitu pula Syakila yang tak kalah semangatnya dari Dania.
Empat jam pelajaran sudah dilalui. Ini saatnya istirahat. Semua siswa bergegas ke luar kelas untuk pergi membeli makanan. Ada juga yang langsung bermain voli ataupun bermain sepak bola. Suasananya begitu ramai dan menyenangkan.
Dania dan Syakila bertemu kembali untuk membeli makanan bersama. Sambil makan mereka memperhatikan siswa lain yang sedang asyik bermain voli. Waktu istirahatlah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa karena saat itulah mereka bisa berkumpul dengan teman-teman yang berbeda kelas.
Waktu istirahat usai, seharusnya semua siswa kembali ke kelas, tetapi kemudian terdengar pengumuman yang menyuruh semua siswa berkumpul di lapangan.
“Ayo, anak-anak berkumpul di lapangan karena ada pengumuman penting bagi kalian!” kata seorang guru. Setelah semua siswa berkumpul, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan mulai menyampaikan pengumuman.
“Selamat siang, anak-anak!”
“Siang, Pak,” jawab mereka serempak. Suasana hening.
“Berdasarkan surat edaran dari dinas pendidikan kabupaten, maka mulai besok kita belajar di rumah dulu. Hal ini dikarenakan ada wabah yang sedang melanda negara kita. Oleh sebab itu kalian belajar dari rumah sampai batas waktu yang belum ditentukan. Jika ada perkembangan akan disampaikan melalui pesan whatsapp. Sekian pengumuman dari kami. Kalian diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Bapak titip pesan untuk selalu menaati protokol kesehatan!”
Tentu saja semua siswa bergembira dengan kabar itu. Mereka pikir itu hari libur, bonus buat mereka. Tetapi Dania dan Syakila berbeda dengan anak-anak yang lain. Keduanya tidak suka hari libur. Ketika libur mereka tidak akan merasakan suasana seperti di sekolah yang begitu menyenangkannya.
Dania dan Syakila seperti biasa pulang bersama, mereka berdua pulang dengan muka cemberut.
“Kenapa sih sekolah diliburkan? Mana liburnya belum jelas sampai kapan,” kata Syakila yang terlihat sangat kecewa.
“Iya nih ga seru deh!” jawab Dania yang sama seperti Syakila, terlihat kecewa.
Sesampainya di rumah, ibu Dania bertanya, “Loh, kok udah pulang jam segini?”
“Iya, katanya mulai besok kita belajar di rumah karena wabah,” jawab Dania.
“Bu, gimana sih awal munculnya wabah ini?” tanya Dania kepada ibunya, kemudian ibunya menjelaskan.
“Ibu dengar gini, di kota Wuhan yang ada di negara China penduduknya itu suka memakan makanan yang belum dimasak atau mentah, dan juga sering memakan makanan yang tidak lazim dimakan seperti kelelawar, kodok, dan juga daging anjing. Penduduk di sana kayaknya suka banget sama kelelawar. Nah, mungkin dari hewan yang dimakan mentah itu banyak mengandung bakteri ataupun penyakit. Mungkin dari situ munculnya wabah ini,” panjang lebar penjelasan ibunya.
“Oh, jadi gitu, ya, Bu. Terus kalau itu terjadi di negara China, kenapa bisa masuk ke Indonesia, kan jaraknya jauh?” sambung Dania.
“Kalau itu, Ibu sih kurang tahu. Coba kamu cari tahu di internet!” perintah ibunya.
Hari pertama libur masih terasa biasa saja. Satu pekan kemudian mereka diberi kabar bahwa mulai minggu ini mereka harus belajar dari rumah. Semua melaksanakan pempelajaran jarak jauh, pembelajaran dalam jaringan. Semua itu dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan akibat wabah ini.
Hari berganti, minggu berlalu, berbulan-bulan telah dilewatkan. Semua tetap masih menerapkan kebijakan belajar dari rumah sesuai instruksi dari Bapak Menteri Pendidikan. Keluhan mulai datang dari siswa, para orang tua, guru, supir angkot, dan laian-lain. Semua menghendaki sekolah dibuka seperti sebelum ada wabah.
Tapi apa daya, setiap hari kasus Covid-19 terus bertambah. Tidak tahu sampai kapan kasus ini bertambah terus. Sekolah Dania masih ditutup dan alasannya masih sama takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Hari itu, Syakila mengetuk pintu rumah Dania.
Tok… tok… tok…
“Assalamualaikum…!”
“Waalaikumsalam…” jawab ibu Dania.
“Bu, Dania nya ada?” tanya Syakila.
“Ada di dalam. Ayo masuk!” kata ibu Dania.
Kemudian ibu Dania mempersilakan Syakila masuk.
“Hai Dania!”
“Haiii…!” jawab Dania
“Kamu kenapa Dania? Kok wajah kamu sepertinya sedih?” tanya Syakila kepada Dania.
“Iya aku lagi sedih, kenapa coba orang-orang itu kebiasaanya makan makanan yang mentah kan akhirnya jadi gini. Dan seharusnya semua orang itu disiplin memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Tetapi ini tidak, banyak sekali orang yang masih sering berkerumun tanpa menggunakan masker dan akhirnya inilah yang terjadi. Setiap hari kasusnya semakin bertambah,” jawab Dania.
“Tapi aku yakin, kok, wabah ini akan hilang, asalkan semua orang bisa disiplin dan sering berdoa agar diberi perlindungan dari Allah,” ucap Syakila. Keduanya bertatapan dan saling tersenyum. Mereka berharap wabah ini cepat hilang.
Keesokan harinya, semua siswa memulai lagi pembelajaran. Sebagian dari mereka terlihat masih semangat mengikuti pembelajaran walaupun dengan jarak jauh. Hari itu kelas Dania sedang ada pelajaran Prakarya. Materi hari itu harus dipraktikan. Siswa kelas Dania membuat kelompok dengan jumlah anggota tujuh orang. Kemudian kelompok Dania memutuskan akan membuat makanan dari hasil kegiatan perikanan yaitu pepes ikan dan dari hasil peternakan adalah telur rambutan.
Pada saat mereka akan berkumpul diingatkan agar selalu mematuhi protokol kesehatan.
“Teman-teman, jangan lupa agar selalu mematuhi protokol kesehatan, bawa masker dan jaga jaraknya nanti pas lagi kerja kelompoknya, ya!” Syakila mengingatkan.
“Iyaa, benar kita harus bisa disiplin saat musim pandemi ini,” sahut Dania.
Mereka mengerjakan tugas Prakarya dengan semangat dan akhirnya selesai dengan waktu tidak begitu lama. Masakan hasil praktik dari kelompok Dania diserahkan kepada guru pelajaran Prakarya untuk dinilai.
“Wah, enak sekali masakannya!”
“Terima kasih, Bu,” kata Dania dan temannya.
Dania dan temannya sangat senang mendengar pujian dari gurunya itu.
Beberapa hari kemudian ayah Dania pulang dari pekerjaannya sekitar pukul sepuluh pagi.
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam…” jawab ibu Dania
“Loh, kok, Ayah udah pulang jam segini?”
“Semua karyawan diberhentikan untuk sementara, Bu. Pemilik perusahaan takut akan hal yang tidak diinginkan terjadi. Jadi sekarang Ayah harus menganggur dulu sampai semuanya pulih lagi,” ucap ayahnya dengan muka sedih.
“Nggak apa-apa, Yah. Lebih baik menganggur dulu daripada ayah harus menjadi salah satu pasien di rumah sakit itu. Ayah harus tetap semangat!” kata ibu tersenyum sambil memberikan semangat kepada ayah.
Dania mendengar percakapan kedua orang tuanya. Ia pun merasakan yang dirasakan oleh ayahnya, seketika suasana rumah menjadi sepi. Dania kemudian masuk ke kamarnya dan dia merasa sangat kasihan kepada ayahnya.
“Aku pengen sekali mencari uang dan menghadiahkannya kepada ayah dan ibu. Tapi ke mana aku harus mencarinya? Aku masih siswa kelas sembilan. Nggak mungkin kalau aku melamar kerja. pasti nggak akan di terima. Semoga ada jalan keluar dari semua keadaan ini. Pandemi cepat berlalu, hilanglah dari muka bumi ini!” Dania memanjatkan doa sepenuh hati.*)

(Visited 17 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan