Anisa Sabrina Qona’ah_Best Frend Forever_SMPN 2 Tanjungsiang

Screenshot_20210419-053736_WhatsApp2.jpg

Best Friend Forever
Oleh: Anisa Sabrina Qona’ah
SMPN 2 Tanjungsiang

“Terkadang berteman itu indah bila tidak ada masalah dalam hubungan pertemanannya. Tidak pernah terlupakan saat bersamanya, canda, tawa, sedih, bahagia kami lewati bersama,” seorang anak remaja perempuan menyuarakan kata hatinya dengan wajah sedih.
Gadis remaja itu bernama Namira. Dia siswi paling ceria di kelasnya. Sejak masih SD dia sering banget nangis karena hal sepele, tetapi saat masuk SMP perubahan mulai ada di dalam diri Namira.
Tok … tok … tok
“Sayang … bangun!” suara ibu Namira terdengar dari balik pintu.
“Iyaa, Mah udah bangun kok,” jawab Namira yang masih terbaring di tempat tidurnya.
“Cepat buka pintunya!”
“Bentar, Mah.” (Ih, si Mamah mau ngapain sih?”) kata hati Namira.
“Ada apa, Mamaaah?” tanya Namira kepada ibunya.
“Lihatlah! Udah jam berapa sekarang? Nanti telat masuk sekolah, Sayang!”
“Astagfirullah, kok, Mamah baru bangunin aku sih?”
“Dih, tuh kan, jadi nyalahin Mamah. Kamu yang susah bangunnya.”
Hari itu Namira memulai pembelajarannya di kelas satu SMP. Dia duduk sebangku dengan tetangganya, Bebi. Pagi itu Namira sudah ditunggu Bebi untuk pergi bersama ke sekolah. Namira kesiangan jadi Namira tidak sempat sarapan. Dia menyiapkan segala sesuatunya dengan tergesa dan langsung berpamitan pada mamahnya.
Tak dibutuhkan waktu yang lama, keduanya sampai di sekolah. Syukurlah mereka tidak ketinggalan pembelajaran. Saat mereka tiba, bel masuk pun berbunyi. Seluruh siswa memasuki kelas masing-masing. Namira dan Bebi langsung menduduki kursi pilihan mereka. Tepat di belakang kursi mereka ada siswi pindahan dari sekolah lain, siswi itu memperkenalkan dirinya kepada Namira dan Bebi.
“Hai, salam kenal, nama aku Rina.”
“Oh, salam kenal juga, kalau nama aku Namira dan ini teman aku Bebi,” jawab Namira sambil tersenyum.
Saat mereka sedang asyik berkenalan masuklah seorang guru ke dalam kelas itu, dan memperkenalkan diri kepada semua siswa.
“Selamat pagi semua. Perkenalkan nama saya Bu Indriyani saya adalah wali kelas kalian,” ucapnya.
“Pagi, Bu,” jawab siswa serempak.
Setelah itu, saatnya semua siswa berkenalan. Perkenalannya berjalan dengan lancar tanpa kendala sedikit pun. Hari pertama sekolah mereka belum mendapatkan pelajaran, hari itu dikhususkan untuk perkenalan.
Saat jam istirahat Namira, Bebi, dan Rina membeli makanan. Mulai hari itu ketiganya sudah mengikat hubungan pertemanan.
Setiap hari mereka selalu bersama walaupun rumah Rina jauh dari rumah Namira dan Bebi, tetapi mereka selalu menjaga persahabatan mereka bertiga. Pada hari libur sekolah mereka selalu bermain bergantian ke rumah masing-masing. Walaupun sedang sibuk mereka selalu menyempatkan untuk bertukar kabar melalui gawai.
Hari demi hari mereka selalu bersama, tetapi saat memasuki semester kedua ada masalah sedikit dalam pertemanan mereka. Bebi dan Rina diajak oleh kakak kelas untuk mengikuti organisasi OSIS. Pada hari itu mereka sibuk mengurus semuanya, tanpa sadar mereka sudah melupakan seorang Namira yang sedang sendirian.
Rina tidak suka kalau Namira bergabung dengan gengnya. Menurut Rina, semua anggota geng itu centil. Tapi, Namira bingung kedua sahabatnya setiap hari selalu sibuk, dan Namira tidak mempunyai teman untuk bercanda dan membagi dukanya. Akhirnya Namira masuk ke geng itu. Sikap Namira berubah drastis.
Saat Rina melihat Namira sedang asyik bercanda dengan gengnya, Rina merasa kecewa. Dia hanya bisa melihatnya dari jauh, “Ternyata Namira sekarang sudah berubah, sudahlah aku gak mau ganggu dia,” katanya dalam hati.
Persahabatan itu makin hari makin renggang. Mereka tidak lagi main atau bertukar kabar. Saat di sekolah Namira melihat Rina dan Bebi sedang asyik bersama teman OSISnya, “Hai, Rin!” sapa Namira kepada Rina. Tetapi, Rina tidak mempedulikan Namira. Dia tetap asyik dengan teman-teman organisasinya. Hati Namira tergores dengan sikap sahabatnya, “Rina, kok gitu?” kata hatinya.
Hari demi hari sikap Rina semakin menyakiti hati Namira. Dia heran mengapa sikap Rina jadi begitu. Akhirnya Namira mengadukan masalahnya kepada wali kelasnya. Dia tidak mau masalah tersebut berlarut-larut. Kemudian bu Indriyani memanggil Rina dan Bebi.
“Silakan duduk, Beb, Rin! Ada yang ingin Ibu tanyakan kepada kalian berkaitan dengan perubahan sikap kalian terhadap Namira. Ibu harap kalian mau berterus terang mengenai persoalan ini. Beberapa hari ini Namira merasa diabaikan oleh kalian. Dia merasa dikucilkan. Hanya kalian sahabat yang dimilikinya. Jika kalian melihat Namira akrab dengan teman yang lain, itu hanya pelampiasan karena kalian telah mengabaikannya,” panjang lebar bu Indriyani menjelaskan.
Rina dan Bebi kemudian mencari Namira. Begitu mereka menemukannya Rina langsung memeluk Namira begitu juga dengan Bebi, “Namira, aku gak suka kamu ikut geng itu, maafin aku, ya, mungkin karena aku sibuk di organisasi kamu jadi nggak punya temen,” ucap Rina sambil berurai air mata.
“Iya, Rina, Bebi, maafin aku juga, ya!”
Akhirnya persahabatan mereka bertiga kembali utuh. Satu tahun berlalu, kini mereka sudah di kelas 2 SMP. Saat kenaikan kelas Namira, Bebi, dan Rina memperoleh kelas yang berbeda. Mereka sedih mendapat kabar itu. Namira berharap mereka bisa menjaga persahabatannya tetap utuh.
Rina memiliki teman yang banyak, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Selain menjadi pengurus OSIS, Rina juga terpilih menjadi tim inti klub voli di sekolah. Tentu saja hal ini membuat Rina bertambah sibuk. Dia semakin berubah, namun Namira tidak mau mengganggu Rina. Namira cukup tahu diri. Dia tidak ingin lagi mempermasalahkan hal itu.
Sahabatnya yang satu lagi, Bebi, juga kini asyik sendiri. Dia mempunyai teman baru. Tampaknya teman itu sangat asyik dengan Bebi. Namira setiap harinya hanya sendiri tidak ada yang mau menemani dia. Terkadang Namira hanya tidur seharian di kamarnya tanpa keluar rumah.
Singkat cerita kini mereka sudah duduk di kelas 3 SMP. Kedua sahabat Namira tetap asyik dengan teman-teman barunya. Hanya Namira yang masih tetap menjaga persahabatan mereka. Tetapi terkadang mereka sesekali bermain bersama namun hanya dalam waktu yang singkat, “Andaikan kita seperti dulu lagi,” Namira membatin.
Semua kenangan dengan sahabatnya itu disimpan di kamar Namira. Foto-foto kebersamaan mereka, ia tempel di dinding. Saat merindukan sahabatnya, dia hanya bisa melihat foto itu dan kemudian menangis. Mereka tidak tahu betapa sedih hatinya saat melihat mereka bersenang-senang dengan sahabat barunya, “Dulu aku yang bersenang-senang dengan mereka, tapi kini orang lain yang menggantikan tempatku,” hatinya bertambah sedih.
“Mungkin mereka lebih memilih teman barunya karena lebih segalanya dari aku,” ucap Namira dalam hatinya. Sekarang Namira hanya berdiam diri di rumah, tidak keluar atau pun bermain. Keseharian Namira kini hanya melamun.
Sampai mereka menyelesaikan SMP, mereka tidak pernah bertemu atau pun bermain lagi. Rina dan Namira saling berjauhan. Bebi juga kalau diajak main selalu menolak dengan berbagai alas an. Namira hanya bisa tersenyum dan menerima semua ini dengan ikhlas meski berat baginya.
Saat mereka masuk SMA sekolah mereka berbeda. Namira sekolah di SMA dekat rumahnya, Bebi melanjutkan ke kota lain, dan Rina bersekolah di Bandung, sekolah khusus olah raga. Hanya kenangan mereka yang Namira punya. Meski begitu dia tetap menyayangi mereka, terutama Rina.
Hari itu Namira ingin pergi ke taman. Dia ingin menenangkan dirinya. Taman itu lumayan jauh dari rumahnya. Sesampainya di taman, dia duduk di bangku kecil. Namira merenungi semuanya. Berpikir ulang tentang persahabatannya, dan akhirnya menangis. Kini hanya air mata yang dimilikinya. Kemudian ia mengeluarkan buku dari tas yang digendongnya. Ia menuliskan kisah persahabatannya dari pertama mereka kenal sampai saat itu. Air matanya tidak berhenti mengalir selama dia menuliskan kisahnya. Kini Namira sudah kehilangan semuanya, kedua sahabatnya.
Saat Namira sedang menulis disertai derai air mata, tiba tiba ada yang melempar punggungnya. Namira terkejut, refleks dia membalikkan badannya. Tepat di hadapannya berdiri Rina dan Bebi, mereka tersenyum sambil merentangkan tangan. Namira berdiri mematung. Pelukan erat menyadarkannya, bahwa itu bukan mimpi. Kedua sahabatnya sedang memeluknya. Mereka telah kembali untuk dirinya.
Dalam kisahku, aku menuliskan betapa berartinya sahabat bagiku, hanya merekalah sahabat yang aku sayangi, thank you my friend love you so much!*)

(Visited 25 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan