TSABITA PUTRI HADIAN_EMBUN KERINDUAN_MTsN 2 SUBANG

TSABITA.jpeg

EMBUN KERINDUAN

Pagi ini, ku pejamkan mata untuk melihat embun di dedaunan halam rumahku. Embun yang terlalu cepat untuk menghilang. Seperti kisahku dan dia yang sama seperti embun yang sekejap ada, tapi pasti akan kembali.

Rumahku dekat sekali dengan sekolah. Jadi aku tak perlu diantar ayah untuk pergi ke sekolah. Aku selalu berangkat sekolah bersama temanku.

Aku memiliki sahabat baik yang selalu ada untukku, baik dikala suka maupun duka. Setiap hari aku selalu menghabiskan waktu bersamanya, baik di sekolah maupun di rumah. Dia adalah Fitria.

Aku dan Fitria selain satu kampung satu sekolah juga. Aku dan dia memiliki kesamaan, salahsatunya yaitu sama-sama malas belajar. Ketika ada tugas kami jarang mengerjakannya, sekalipun mengerjakan tugas mereka mengerjkannya sambil berjalan.
Kami memang anak pemalas untuk mengerjakan PR. Tapi kami tidak pernah membolos saat pelajaran pak Deden, guru Bahasa Inggrisku yang tegas dan juga galak.

Sepulang sekolah, aku dan Fitria sering menghabiskan waktu bersama. Rumahku dekat dengan lapangan alun-alun Cisalak, lapangan itu yang sering aku gunakan untuk bermain sepeda bersama Fitria. Karena di alun-alun cocok untuk kami bermain, selain tempatnya besar suasananya juga asri dikelilingi pepohonan rindang. Fasilitas yang ada di alun-alun diantaranya ada lapang voly, futsal, basket, dan tempat duduk santai di sore hari untuk menyaksikan senja.

“Gedeblug…” aku dan Fitria terjatuh dari sepeda yang kami naiki. “Haha…haha” kami tertawa terbahak-bahak mengalami kejadian ini. Bukanya menangis, kami malah tertawa.
Hari-hariku begitu ceria dengan adanya sahabat baikku. Kami terlalu senang bersama, sampai lupa akan perpisahan. Kami tidak terlalu cemas karena kami merencanakan akan bersekolah ke sekolah yang sama setelah lulus SD nanti.

Masa kecilku dengan Fitria sudah sangat lama sekali. Pertemuan pertama kalinya dengan Fitria yaitu ketika terdengar suara tangisan kecil, aku melihat anak kecil seumuran ku yang meminta untuk naik odong-odong keliling. Tapi ibunya tidak mengizinkan anak itu naik karena lupa membawa dompet. Aku menghampiri anak yang sedang menangis itu. “Hey kita naik odong-odong keliling yuk, aku punya uang Rp. 2.000.00,- kita bisa naik itu seharian.” Ajakku pada anak sepantaran denganku. Anak itu langsung mengusap matanya yang sudah basah, membuat bedak bayi anak itu luntur. Bedak yang dipakaikan oleh ibunya, secara tak merata.

“Bun… Putri gak mau masuk pesantren pokoknya gak mau, kalau nanti disana Putri gak ada temen gimana? Putri pengen sekolah bareng Fitria aja bun,” rengekku kepada bunda. “Kamu sebentar lagi SMP kak harus cepet-cepet nentuin sekolah,” papar bundaku.
Aku datang ke rumah Fitria dengan maksud ingin bermain, sekaligus mengajak Fitria untuk melanjutkan sekolah bersama sambil pesantren. Tapi apa yang terjadi setelah aku memanggil-manggil nama Fitria di depan halaman rumahnya tak ada respon dari rumah itu. Aku hanya mendengar orang yang sedang berdebat, ternyata itu adalah perdebatan Fitria dengna ibunya. Aku mendengar dia dilarang ibunya sekolah sambil pesantren, karena harus membantu ibunya, ibunya setiap hari suka berjualan keliling. Fitria pun kecewa dengan keputusan ibunya. Sampai aku mendengar tangisan kecil darinya.

“Putri …” ucap seseorang di belakangku. “Fitria, kamu kenapa?” Tanyaku pada dia. “Nggak, main yuk ke sawah mang Maman.” Ajak dia padaku. Sambil menghapus butir-butir air yang ada di wajahnya. “Kamu bener gapapa?” Tanyaku untuk meyakinkan. “Iya gapapa kok Put, aku pengen udara seger aja di sawah.” Jawab Fitria, sambil tersenyum.
Sambil menatap langit di bale-bale sawah. Dia mengungkapkan keinginannya untuk mondok bersama Putri. Karena aku gak mau persahabatan kita seperti embun yang sekejap berlalu.

Tidak ada percakapan lagi diantara kami. Aku yang bersender di punggung Fitria dan Fitria yang bersender di punggungku. Sambil menatap langit dan juga mengingat masa-masa indah bersama. Karena mengingat sesuatu yang baik akan membuat kita merasa bahagia dan merasa hidup.

“Gedebluss…” Fitria dan aku terjatuh pada sawah yang masih berlumpur. “Haha…” kami tertawa bersama. Karena wajah kami berlumuran lumpur. Disaat aku terjatuh Fitria pun ikut terjatuh karena aku memboncengnya dengan sepeda. Di rumah aku dimarahi oleh bunda, karena sudah mengotori baju. Begitupun Fitria dimarahi oleh ibunya.

“Astagfirulloh kak, kamu darimana? Itu badan udah kaya kebo di sawah tahu gak? Bunda capek-capek nyuci, kamu malah enak-enakan ngotoriin baju!” papar bundaku. Dengan nada membentak. “Maafin kakak bun, habisnya tadi kaka jatuh di sawah.” Ucapku menggerutu.

“Bla…bla…bla” marah bundaku sambil mengiris-ngiris bawang bombay. Aku tak mau mendengar omelan itu. Sebaiknya aku main lagi ah sama Fitria daripada mendengar omelan bunda. Ideku sambil bicara dalam hati.

Oh, sangat indah untuk di kenang, tak lama lagi aku akan pergi ke pondok dan Fitria juga sudah mendaftar di MTsN 2 Subang. Sebenarnya sekolahku dengan sekolah Fitria dekat jadi lebih mudah untuk berkomunikasi. Hanya saja aku mondok.

“Fit, aku berangkat ya ke pondok, nanti kalo aku pulang kita main bareng lagi. Aku gak terlalu sedih sih sebenarnya,” ucapku dengan tersenyum. “Hati-hati ya Put,” ucap dia sambil tersenyum lebar.

Kami bersekolah di tempat yang berbeda, aku sibuk dengan urusanku di sekolah dan Fitria pun sibuk dengan urusannya di sekolah. Kami tak sempat untuk sekedar berbincang.

“xixixi…xixi” aku mendengar suara tertawa renyah, yang berada di seberang jalan. Aku melihat ada Fitria di sana, Fitria dengan teman barunya.
Entah mengapa aku tak suka pemandangan itu, aku ingin bersekolah di tempat yang sama dengan Fitria, tapi keinginan orang tuaku berbeda. Aku ingin angkat bicara tapi lidahku susah untuk mengucap, aku berfikir untuk menjauh darinya.

“Fit, boleh minta tolong ga?” Tanyaku kepada Fitria yang berpapasan di jalan raya dekat sekolah, perkataanku nyaris tak terdengar olehnya. “Hah? Apa Put? Tar dulu ya, aku disuruh cepat-cepat sama bu guru, dahh!” jawab sambil terburu-buru. “Cekk” aku berdecak karena kesal, aku tidak mau lagi bertemu dengan Fitria. Seolah-olah pertemanan kami dilupakan olehnya begitu saja.

Dari kejadian tadi, aku semakin malas untuk mengobrol ataupun hanya sekedar bertegur sapa. Satu minggu berlalu Fitria baru menanyakan kepada Putri perihal pertanyaan yang disampaikan waktu itu. Dengan alasan dia sibuk. Baru kali ini kami ngobrol setelah sekian lama jarang komunikasi. Tapi aku tidak menggubris petanyaan dia, aku malah meninggalkan Fitria yang masih mematung kebingungan.

Aku mesa kesal dan jengkel pada Fitria. Fitria lebih sibuk dengan teman-teman barunya. Seperti anak kecil yang cemburu dengan temannya. Kami jarang komunikasi satu sama lain. Pertemuan aku dengan fitria semakin renggang tidak ada rasa benci diantara kami. Hanya saja kita sibuk dengan urusan masing-masing. Sekolah kami juga berbeda, jadi kami jarang bertemu.

Pada akhirnya, Fitria memutuskan untuk meminta maaf duluan dan mengakhiri kesalah pahaman antara kami. Memang diantara kami Fitria lah yang lebih dewasa untuk permasalahan kecil ataupun besar.

Semenjak itu, kami berdua menjadi lebih akrab seperti dulu. Walaupun sekolah kami berbeda namun kami berdua saling menyempatkan diri dikala waktu luang untuk bertemu.

TAMAT

(Visited 10 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan