Sebuah Pertemuan_Siska Jamilatullatifah_SMPN 1 Cisalak

Foto-siska.jpeg

Sebuah Pertemuan

Hari Senin yang cerah. Seorang anak perempuan akan berangkat menuju sekolah lebih pagi, seperti biasa. Hal itu karena ia harus berangkat dengan berjalan kaki. Dia bernama Jihan, setiap hari berangkat ke sekolah lebih awal, karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar ongkos kendaraan umum.

“Nek, Jihan berangkat ya!” pamit Jihan pada neneknya.

“Iya Jihan, ini bekalnya,” ucap sang nenek, Mak Siti. Sambil memberikan uang senilai delapan ribu rupiah.

Jihan menerimanya, ia sudah terbiasa membawa uang sejumlah itu ke sekolah. Kadang-kadang, ia juga membawa bekal lima ribu, bahkan tiga ribu rupiah jika neneknya memang sedang tidak punya uang.

Ia tinggal bersama neneknya. Kakeknya meninggal dua tahun yang lalu karena sakit keras. Lalu kemana Ayah dan Ibunya? Entahlah, mereka sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Sejak Jihan baru berumur dua tahun, kedua orang tua Jihan sudah bercerai, dan Ibunya menitipkan dirinya kepada sang nenek karena tidak mau kerepotan mengurusnya. Ayahnya sampai kini tinggal bersama istri barunya, mereka punya anak yang berumur tak jauh darinya.

Jihan pun berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Untung sekolahnya tidak terlalu jauh. Ia sekarang duduk di kelas tiga SMA. Di sekolahnya, Jihan memiliki banyak teman. Seringkali ia ditraktir makan oleh teman-temannya. Jihan selalu bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik di sekolahnya. Teman-teman yang sangat tulus berteman dengannya.

Jihan tidak begitu istimewa dalam bidang akademik, namun ia pandai sekali memasak. Jihan terpaksa masuk ke SMA karena SMK membutuhkan banyak biaya, sehingga Jihan tidak yakin mampu untuk membayarnya.

Tak berapa lama, ia sudah sampai di sekolahnya. Ia pun berjalan menuju kelasnya. Saat tiba di kelas, ternyata sudah banyak teman-temannya yang datang, Jihan pun menyapa teman-temannya lalu duduk di bangkunya. Tidak lama kemudian, waktu upacara pun tiba. Semua murid menuju lapangan untuk berupacara.

***

Bel pulang berbunyi. Guru yang sedang mengajar menghentikan aktivitasnya, lalu mempersilahkan murid-muridnya untuk pula. Jihan berjalan kaki meninggalkan area sekolah, tetapi tiba-tiba saat di gerbang, ada seseorang yang mengendarai sepeda motor menyapanya. Dia ternyata Rara, salah seorang temannya.

“Hai Jihan, pulang bareng yu,” ajak Rara setelah membuka kaca helmnya.

“Gak papa Ra, aku sendiri aja jalan kaki,” jawab Jihan.

“Jangan, ayo bareng aku aja naik motor. Daripada jalan kaki, capek,” ajak Rara lagi.

Jihan sudah sering pulang bareng Rara, karena Rara sering memaksa. Namun Jihan tetap saja sungkan, merasa merepotkan.

“Ya udah, makasih ya udah mau ngajak aku,” ucap Jihan. Dia lalu menaiki motor Rara. Kebetulan rumah mereka searah.

Setelah sampai di rumah Jihan, dia pun mengajak Rara untuk mampir terlebih dahulu. Namun Rara menolaknya karena memang sudah hampir sore. Setelah berterimakasih kepada Rara, ia pun masuk ke dalam rumah.

Setelah mengucapkan salam Jihan pun menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Jihan lantas berpamitan kepada neneknya untuk pergi ke rumah tetangganya. Ia pergi ke sana untuk mencuci pakaian atau menyetrika pakaian. Ia dibayar tiga puluh ribu jika hanya mencuci pakaian, dan tujuh puluh ribu jika ditambah dengan menyetrika pakaian. Uangnya itu dipakai untuk membeli buku ataupun untuk makan sehari-hari. Jihan bekerja seperti ini untuk membantu neneknya.

Mak Siti memiliki sepetak sawah peninggalan Kakek Jihan, uang hasil menjual beras pun tak banyak, selalu tersisa sedikit karena dipakai untuk membayar orang lain yang membantu mengurus sawah dan juga kebutuhan sawahnya.

***

Hari demi hari Jihan lewati dengan segala perjuangan dan kepedihan. Tidak terasa, kini Jihan akan menghadapi Ujian Nasional, tentunya ia harus melunasi beberapa tunggakan ke sekolah.

Rencananya, ia akan pergi ke rumah ayahnya untuk meminta uang. Sebenarnya ia tidak mau meminta uang kepada ayahnya, tapi sekarang ia terpaksa dan juga neneknyalah yang memaksanya untuk meminta uang kepada ayahnya.

Beberapa hari ini, tidak ada yang menyuruhnya untuk mencuci atau menyetrika pakaian. Sehingga Jihan kini sudah tidak memiliki uang sepeser pun. Sawah Mak Siti pun belum menguning.

Jihan pun bergegas menuju rumah Ayahnya dengan naik angkot. Sudah beberapa tahun ia tidak bertemu dengan ayahnya. Jarak rumah neneknya dengan ayahnya memang tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Tapi ayahnya tidak pernah mengunjunginya.

Saat tiba di rumah yang dituju, ia pun mengetuk pintunya. Tak lama kemudian ada yang membukakan pintu.

“Siapa?,” ucap wanita yang ia duga sebagai istri ayahnya.

“Jihan,” ucap Jihan seadanya.

“Oh, anaknya mas Aji ternyata.” ujar wanita itu dengan nada sinisnya.

“Ayahnya ada?” ucap Jihan.

“Mau apa kamu, minta uang?” jawab wanita itu lagi.

“Emang ayahnya kemana?” tanya Jihan.

“Gak tau, ayahmu itu emang sering keluyuran gak jelas.” ujarnya.

Jihan kecewa, ia harus pulang ke rumah dengan tidak membawa hasil apapun.

“Yaudah deh, Jihan pamit ya Bu,” ucap Jihan.

Wanta itu hanya mengangguk lalu menutup pintunya. Ia pun pulang dengan tangan kosong.

Saat tiba di rumah, ia melihat ada sendal orang lain. Ia pun masuk ke dalam rumah, lalu melihat neneknya sedang berbincang dengan Bu Sri, tetangganya yang sering menyuruhnya mencuci pakaian itu. Jihan pun memasuki rumah dengan mengucap salam.

“Jihan kamu udah pulang, gimana?” tanya neneknya.

“Ayahnya juga gak ada di rumah,” ucap Jihan dengan nada lesu.

“Yaudah nih, kebetulan Bu Sri katanya lagi butuh kamu,” ujar Nenek Jihan.

“Iya Jihan, sekalian ya masakin. Kata nenek kamu, katanya kamu pinter masak,” ucap Bu Sri.

Jihan pun hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu ia pun berterimakasih kepada Bu Sri.

***

Sekarang, Jihan masih di rumah Bu Sri. Perempuan berjilbab itu dan anak-anaknya sangat menyukai masakan Jihan. Bu Sri memberi uang lebih kepadanya, katanya bonus. Ia sangat bersyukur, karena ia bisa membayar keperluan sekolahnya.

Tak terasa UN dan Ujian lainnya telah usai. Hari ini adalah hari kelulusan Jihan, di hari spesial ini ia mencoba berdandan. Bu Sri yang membantunya berdandan, Bu Sri meminjaminya sebuah baju kebaya milik anak perempuannya. Jihan kini sangat terlihat cantik dan anggun, teman-temannya sampai pangling dibuatnya. Sebagai kenang-kenangan, mereka berfoto-foto. Setelah selesai, Rara memulai pembicaraan.

“Kalian mau dilanjutin kuliah atau gimana?” tanya Rara kepada teman-temannya.

“Aku kuliah, disuruh Ayah,” ucap salah satu temannya.

“Aku juga sama,” ujar yang lain.

“Kalo aku sih mau kuliah di Jogja, kalo kamu Jihan?,” ucap salah satu teman Jihan, bernama Fahira dengan nada mengejek, Fahira sudah tahu jika Jihan tidak akan mampu untuk berkuliah. Fahira adalah salah satu teman Jihan yang sedari dulu memang tidak menyukainya.

“Hehe, kayak yang kalian tau, aku gak mampu buat bayar kuliah. Beasiswa pun aku gak dapet, boro-boro beasiswa, lulus aja ini masih untung.” ucap Jihan sambil tersenyum hambar.

“Ya udah Jihan, jangan putus asa, Tuhan tau yang terbaik buat kamu,” ucap Rara menenangkan.

“Iya Ra, makasih ya.” ujar Jihan.

Fahira yang melihat itu memutar bola matanya.

“Oh iya, kita jangan sampe lost contact ya, jangan ganti-ganti nomer telpon juga supaya mudah ngabarin.” ucap Rara.

“Dan kamu Jihan, simpen nomer telpon aku ya, biar nanti pas kamu udah punya handphone hubungin aku aja.” Sambung Rara.

“Iya Ra, ngomong-ngomong makasih ya buat kalian semua selalu ada buat aku,” ucap Jihan.

Sekolah sudah sepi, tinggal mereka berlima yang tersisa. Mereka pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

***

“Jihan, kamu mau dilanjutin kuliah kemana?” ucap neneknya.

“Nggak deh Nek, aku mau cari kerja aja,” ucap Jihan.

“Gak boleh gitu, kamu gak boleh mengubur mimpi kamu, gimana kalo kamu kursus masak aja?” tawar neneknya

“Uang dari mana Nek, udahlah gak usah.” ucap Jihan. Ia tidak mau membebani neneknya.

“Kamu harus nurut sama nenek ya, nenek percaya kamu pasti bisa, soal biaya biar nenek jual aja sawah,” ucap neneknya, “katanya mau punya restoran, masa kamu putus asa begini?”

“Iya nek. Tapi Jihan udah terlalu banyak nyusahin Nenek.”

“Nggak sayang, nenek yakin kamu pasti bisa meraih mimpimu.”

“Yaudah nek, Jihan janji bakal bahagiain nenek. Semoga nenek sehat terus ya,”

Mak Siti pun memeluk cucu kesayangannya itu.

***

Waktu mengalir begitu cepat, tak terasa sudah 2 tahun ia lulus SMA. Rara kini sedang libur Kuliah. Rencananya, ia dan teman-temannya akan ketemuan di salah satu cafe yang sedang viral dengan menu yang sedang hits di kalangan anak muda. Namun ada yang kurang, Jihan. Jihan tidak ada menghubunginya sedari dulu. Dan rumah yang Jihan tempati dulu kosong, Rara sudah bingung mau mencari Jihan kemana lagi.

Ia kini sudah berada di cafe tersebut. Teman-temannya juga sudah datang. Ada Raisa, Nayla, Fahira. Mereka pun memesan makanan dan juga minuman. Tidak lama kemudian pelayan pun membawakan makanan dan minuman yang mereka pesan.

Namun, tiba-tiba salah satu pelayan yang sedang membawa minuman tersandung sehingga minumannya tumpah ke rok yang dikenakan Fahira.

“Gimana sih, yang bener dong kalo kerja, ini rok gue jadi basah nih,” ucap Fahira dengan nada tinggi. Kejadian itu menjadi pusat perhatian, banyak juga pelayan-pelayan lain yang melihatnya.

“Saya minta maaf Mbak,” ucap pelayan itu dengan nada menyesal.

“Astaghfirullah, ini kenapa? Mbak mohon maaf atas kecerobohan karyawan saya, saya bersedia mengganti rugi.” ucap seorang wanita dengan menunduk. Sepertinya dia adalah pemilik cafe ini. Namun postur tubuhnya dan juga suaranya, Rara merasa kenal. Tapi Rara belum bisa melihat wajahnya.

“Sekali lagi saya minta maaf Mbak,” ucap wanita itu.

“Jihan?!” Pekik Rara dan ketiga temannya bersamaan.

***

 

 

 

 

(Visited 30 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan