Riska si Lansia
Namanya Riska, sebagian teman-temannya memanggilnya -Lansia- terlebih ketika sifat pelupanya kumat. Tidak hanya di antara pertemanan anak lelaki, ternyata diantara pertemanan anak perempuan pun ada kecenderungan mengubah nama satu sama lain. Anehnya, ketika berkunjung ke rumah dan bertemu orang tua Riska, tak segan mereka memanggilnya dengan sebutan ‘lansia’.
“Lansianya ada , Tante?” tanya salah satu dari mereka.
“Ada tuh di dalem.” ujar ibunya Riska seolah mengamini bahwa anaknya adalah seorang nenek tua lanjut usia yang sudah pikun.
Riska adalah seorang gadis yang ketika seseorang berpapasan dengannya, ia tidak akan pernah ingat sempat berpapasan dengannya. Dia adalah orang yang biasa saja. Berbaur dengan keramaian dan menyatu dengan oksigen. Ia juga merupakan anak dari keluarga yang sederhana. Dibesarkan menjadi anak mandiri, membuat Riska tak selalu bergantung pada orang tuanya. Menyisihkan uang jajan juga sudah menjadi kesehariannya yang tak pernah terlewatkan.
Berjualan online menjadi keseharian seorang gadis yang berumur 17 tahun tersebut. Ia harus mencukupi uang jajannya dengan cara demikian.
“Riska bangun…!” Teriak ibunya Riska dari luar kamar, “gadis zaman sekarang kalau gak dibangunin, kayaknya gak bakal bangun deh,” omelnya sembari berjalan menuju dapur.
Sepuluh menit terlewat, ia habiskan untuk mandi. Dengan ponsel di tangannya, ia bergegas ke meja makan untuk menyantap sarapannya.
Hanya ada tahu dan tempe dengan sepiring nasi putih yang menghiasi meja makan. Walau Riska dari keluarga sederhana, biasanya selalu ada lauk lain yang menemani selain kedua makanan tersebut.
“Tumben sarapannya tahu tempe,” ucap Riska seraya menarik kursi yang akan ia duduki.
“Adanya cuma itu,” jawab ibunya singkat sambil menyodorkan piring kosong.
Lima belas menit sudah keluarganya menyantap sarapan dalam suasana hening. Riska lantas bergegas membereskan meja makan lalu mencucinya di westafel.
Waktu menunjukan pukul 07.00 pagi. Riska menyiapkan buku-buku, lalu memakai sepatu.
“Pak, ayo berangkat…!” Teriak Riska dari luar rumah dengan lantang.
“Hari ini kamu berangkat naik angkot aja, ya. Bapak gak bisa nganter kamu, soalnya Bapak lagi sibuk,” ujar ibu Riska sembari menyelendangkan tas ke pundaknya.
“Sibuk ngapain sampe ga bisa nganterin Riska?” tanya Riska yang saat itu sedang merapikan seragamnya.
“Nyari kerja. Kemarin lusa kan bapak kamu di PHK dari kerjaannya. Ya, perusahaan tempat bapakmu kerja, lagi kekurangan dana buat menggaji sebagian karyawannya. Makanya bapak di PHK. Dan sekarang sedang berusaha buat nyari kerja lagi,” jawab ibunya Riska.
“Yah jadi Bapak gak… ”
“Udah jangan banyak omong, sekarang cepet berangkat. Nanti telat baru tahu rasa” potong ibunya Riska.
“Yaudah iya, dadah Momsku. Assalamualaikum….” ujar Riska sembari berlalu dengan setengah berlari melintasi halaman rumah.
Di tengah pandemi seperti ini, ternyata ada yang lebih sulit daripada mematuhi protokol kesehatan. Mencari pekerjaan di saat ekonomi seperti ini, juga sangat sulit daripada yang pernah dibayangkan. Maka dari itu Riska berusaha mencukupi uang jajannya dengan berjualan online.
Berhenti di persimpangan, membuat Riska harus berjalan sekitar seratus meter dari jalan raya untuk sampai menuju sekolah menengah pertamanya. Setelah sampai, gerbang sekolah ia lalui dengan disambut sapaan dari penjaga sekolah.
“Hai Rin,” sapa Riska pada Rini teman sebangkunya. Yang kala itu sedang membaca buku.
“Halo, eh gimana masker duckbill gue? Udah ada?” Ujar Rini semasa Riska baru saja sampai di kelasnya.
“Paling besok nyampenya,” jawab Riska singkat, “eh by the way, mau gak nganter gue ke Jalancagak? Ada barang yang harus aku anter nih,” pinta Riska pada teman sebangkunya.
“Tumben minta anter, biasanya juga minta anter sama bapak Lu kan?” ucap Rini yang sedang duduk di kursi yang mulai rapuh itu, tanpa mengalihkan pandangan dari buku bacaan di hadapannya.
“Gak bisa, Bapak lagi sibuk sekarang. Sebagai ongkosnya gue janji deh bakal beliin bakso pengkolan. Gimana? Mau ya?” ujar Riska dengan wajah memelas.
“Hmm… boleh dipertimbangkan,” ujar Rini tersenyum dengan alis yang ia naik-turunkan berkali-kali.
***
Waktu menunjukan pukul 12.30 siang. Di luar gerbang sekolah, Riska berdiri di bawah rimbunnya pohon kersen yang berguguran. Terik matahari di siang itu, membuat Riska kepanasan.
“Nungguin siapa tuh?” tanya Rini yang baru saja keluar gerbang dan melihat Riska yang seperti sedang menunggu sesorang.
“Biasalah,” jawab Riska singkat.
“Nungguin bapak Lo jemput?” tanya Rini
“Iya, kenapa emang?”
“Tuh kan, udah deh kumat tuh pelupa Lo. Katanya bapak Lo lagi sibuk, nah ini malah nungguin orang sibuk,” ujar Rini keheranan.
“Lah iya ya, kan Bapak gak bisa jemput. Kalo gitu, gue nebeng ya,” pinta Riska sembari menunjukan senyum manisnya.
“Traktirannya jadi sama es kelapa mudanya ya,” tutur Rini.
“Terserah Lo deh,” ujar Riska pasrah.
Mereka lantas bergegas mengambil motor yang Rini simpan di parkiran yang berada di samping sekolah.
Saat tiba di rumah, seperti biasa, Riska menjajakan dagangan di status akun sosial medianya. Ia mainkan jari-jemarinya, menciptakan tulisan menarik untuk memikat konsumen agar tertarik untuk membelinya. Menjadi sebuah keasyikan tersendiri bagi seorang Riska menciptakan kalimat-kalimat menarik. Selain itu melayani konsumen dengan baik juga memilih barang yang berkualitas dengan harga terjangkau, menjadi prinsip Riska dalam berjualan.
Sesaat setelah itu terdengar suara lantang Rini dari luar rumah mengagetkan Riska yang tengah merebahkan diri sembari melayani beberapa pelanggan.
“Eh, belum siap Lu?” tanya Rini menggerutu.
“Emang mau kemana?” tanya Riska balik.
“Beuh lansia…, lansia. Kan Lu yang ngajak gua buat jadi akang kurir Lu,” ujar Rini seraya meledek.
“Ya ampun iya, gue lupa. Tunggu dulu ya bentar kok. Gue siap-siap dulu,” ujar Riska dengan polosnya.
Memang tak perlu waktu lama untuk menunggu Riska bersiap. Riska pun mengeluarkan motor beat sporty kesayangan milik Bapaknya untuk dipakai Rini, yang akan mengantarnya. Setelah itu Rini mencoba memanaskan motor yang akhir-akhir ini jarang dipakai. Bersamaan dengan itu, Riska sedang membereskan orderan yang hari itu akan ia antar. Dengan teliti ia periksa barangnya satu per satu, khawatir akan ada yang ketinggalan.
“Yu berangkat!” Ucap Riska seraya menutup pintu tanpa berpamitan pada orang tuanya.
Lantas Rini yang sedari tadi duduk di motor langsung menancapkan gas tanpa menoleh ke arah Riska.
Sandyakala di ufuk barat sangat tajam. Untung saja helm bogo yang Riska pakai menghalangi sinarnya. Pemandangan kebun teh membuat matanya terpana melihatnya. Kesejukan pun melengkapi suasana di sekitar perkebunan.
“Eh tunggu deh!” rem dadakan Rini membuyarkan lamunan Riska.
“Ada apa?”
“Liat ada razia polisi,” ujar Rini.
“Kenapa takut? Kita kan pake helm,”
“Kayaknya buka razia helm,” ujar Rini seraya memicingkan matanya, membaca poster dari kejauhan.
“Owalah, razia masker toh rupanya,” tuturnya kaget.
“Lah iya kenapa panik, kita kan pake mas…” Riska kaget, ternyata sedari tadi dirinya tidak memakasi masker.
“Kenapa Ris? Jangan bilang Lo lupa pake masker!” Ujarnya seraya menoleh ke belakang.
“Iya Rin”
“Hadeuh Riska, bukan saatnya Lu lupa sekarang!” Tuturnya mengerutu.
“Ya maaf.”
“Gimana dong sekarang?”
“Mau puter balik aja, ngambil masker dulu?” ujar Riska
“Hadeuuuuh… cape kalo bulak-balik.”
“Oh atau beli masker dulu di sekitar warung sini?”
“Di kebun teh mana ada tukang masker, Lansia!” Bentak Rini panik.
Setelah beberapa saat berdebat mencari solusi. Namun hanya pertengkaran yang terjadi saat itu. Beberapa notifikasi pesan dari pembeli yang menanti kedatangannya membuat Riska semakin panik.
“Sebenernya ada sih masker tapi…”
“Nah tuh ada kenapa gak dipake dari tadi, Lansia.”
“Iya, tapi itu masker orderan mana mungkin gue pake.”
Melihat pertengkaran antara Riska dan Rini. Di seberang sana terlihat salah satu Polisi memperhatikan mereka. Merasa diperhatikan, kini Rini dann Riska bingung apa yang harus mereka lakukan. Panik setengah mati, membuat mereka berdua tidak bisa berpikir jernih.
“Selamat sore, Adek-Adek,” sapa Pak Polisi.
“Hmm… selamat sore Pak” jawab Rini dan Riska dengan gugup.
“Tenang, Pak. SIM dan STNK lengkap, helm juga ada,” ujar Rini sambil tersenyum menyeringai.
“Ok. Tapi, Adek yang satu ini kemana maskernya?” tanya Pak Polisi dengan tegas.
“Hehe iya Pak lupa pake. Tapi ini ada kok,” ujar Riska sembari merobek barang orderan si pembeli. Sontak Rini kaget dengan apa yang dilakukan Riska, hal itu tentun akan membuat kerugian untuk usaha online-nya.
“Ya sudah, lain kali masker itu dipakai bukan dibungkus kaya gitu. Ya silahkan, hati-hati dijalan ya,” ujar Pak Polisi seraya berlalu meninggalkan Rini dan Riska.
Rasa panik kini menerpa Riska. Entah apa yang harus ia bicarakan pada pembelinya. Kendala yang terjadi barusan, tak membuat para pembeli mengerti. Apalagi yang terjadi karena keteledoran Riska sang penjual.
“Mohon maaf atas keterlambatannya Mbak. Saat diper….” tutur Riska sesampainya di tempat tujuan.
“Udah deh, gak usah dijelasin. Sini barang saya” ujar si pembeli seraya mengambil barangnya di tangan Riska.
“Loh… Loh…. Kok gini sih. Udah nunggu lama, packing nya gak bener, barangnya kurang. Niat jualan gak sih Mbak nya?” bentak si pembeli mengagetkan Riska dan Rini.
“Baru saja saya mau jelaskan kalo…”
“Udah ya Mbak, gak usah buang waktu saya lagi. Pokoknya saya mau cancel aja. Kalo emang gak niat jualan, gak usah jualan deh. Ya udah sana pergi, buang-buang waktu aja nungguin reseller ga amanah!” teriak si pembeli yang menarik perhatian tetangga di samping rumahnya.
” Makanya kalo soal pake masker itu penting. Sepelupanya Lo, kalo soal masker jangan sampe lupa. Selain berdampak ke keseharian, sekarang berdampaknya malah ke usaha lo,” nasihat Rini pada Riska.
“Ya namanya juga lupa,” ucap Riska dengan muka cemberutnya.
“Iyain aja udah biar cepet, sekatang yuk pulang deh, udah sore ni. Sebagai tanda turut berduka cita gue, biarin deh traktiran bakso pengkolan sama es kelapa mudanya dibatalin aja. Gue ikhlas kok,” tutur Rini seraya memeluk Riska yang kini sedang berurai air mata.
***