Keberanian Azka_Siti Aisah_SMPN 1 Cisalak

foto-aisah.jpeg

Keberanian Azka

Sepenggal kisah seorang pemuda tampan nan baik hati bernama Azka. Pemuda berusia 17 tahun itu merupakan anak kesayangan kedua orang tuanya. Membantu berjualan di pasar sudah menjadi hal wajib yang harus ia lakukan. Hidup di keluarga sederhana di tengah pandemi seperti ini, tak menyurutkan semangatnya untuk tetap membantu orang tua dan semangat dalam belajar.

Aroma harum nasi goreng tercium sampai ke kamar Azka. Di dapur, ibunya tengah menyiapkan sarapan pagi yang selalu menjadi favorit seluruh anggota keluarga.

“Azka… makan sini…,” teriak ibunya dari dapur.

Tak sampai 5 menit, Azka sudah meluncur ke meja makan.  Di sana ternyata sudah ada bapak dan kakaknya. Makanan pun disantap dalam suasana kebersamaan. Tak lupa bapak selalu mewanti-wanti, tak boleh makan sambil berbicara.

Dua puluh menit berlalu, makanan sudah tak tersisa. Ibu dengan sigap membereskan meja berbentuk persegi panjang itu dalam beberapa saat saja.

“Bang, anterin yuk,” sahut Azka kepada Yuda, sang kakak yang saat itu sedang bersandar di sofa panjang ruang tamu, dengan ponsel berwarna hitam dalam genggamannya.

“Kemana?” tanya Yuda dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Ya ke sekolah Bang, mau kemana lagi,” jawab Azka sedikit menggerutu.

“Kan bisa naik sepeda atau angkot,” sekali lagi Yuda menjawab dengan tak acuh.

“Ban sepedanya kempes Bang, kalau naik angkot sayang uangnya mending buat beli tahu bulat,” tutur Azka sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Yuda yang mengaku baik hati dan tidak sombong itu tidak ingin membuat keributan di pagi hari yang cerah ini. Ia langsung bangkit dari duduknya dan meraih kunci motor yang tergeletak di meja kamar. Lantas ia pergi ke garasi menyalakan motor scoppy merah kesayangannya, lalu tancap gas mengantarkan adiknya.

 

 

 

Tempat parkir sekolah menengah atas pagi itu ramai oleh murid-murid yang baru datang. Saat itu, Yuda menurunkan adiknya di bawah pohon mangga di luar gerbang sekolah.

“Azka, nanti anter yuk,” suara Yuda sedikit tidak terdengar karena bisingnya knalpot motor racing yang melintas melewati mereka berdua.

“Gimana Bang…?” Azka meyakinkan.

“Nanti anter,” ulang Yuda.

“Anter kemana?” tanya Azka lagi sambil meraih permen di bagasi motor kakaknya.

“Ngambil motor,” ujar Yuda.

“Wahhh, Bang Yuda beli motor baru? kok gak bilang sih. Motor apa Bang, terus nanti ngambilnya dimana?” Azka terlihat bersemangat akan hal itu.

“Di garasi rumah orang,” jawab Yuda singkat namun mampu membuat jantung Azka seketika seperti akan berpindah dari tempatnya.

“Astaghfirullah Bang, mau maling ya? istighfar Bang istighfar. Nanti dibilangin Mama abis lu,” ucap Azka dengan mata yang membulat.

Yuda yang mendengar hal itu tertawa terbahak-bahak, sampai sebagian murid yang berada di sekitarnya melihat ke arah mereka berdua.

“Ya enggaklah, masa iya Yuda yang baik hati dan tidak sombong ini mau maling motor,” ucap sang kakak sambil mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa.

“Terus mau dianter kemana dong?” Azka sedikit penasaran.

“Tadi bapak nyuruh ambil barang di rumah Pak Iwan,” jawab Yuda.

“Oh ya udah kalau gitu. Nanti pulang sekolah jemput lagi ya,” pinta Azka sembari mengedipkan matanya berulang kali.

“Emang aku Abang gojekmu apa minta dianter jemput segala,” tolak Yuda sambil menyalakan kembali motornya. Azka yang mendengarnya cemberut.

“Jangan lupa masker nya pake, nanti kalau kamu ketempelan Ceu Coro gak diizinin masuk rumah,” lanjut Yuda. Azka yang baru sadar masker nya tidak dipakai hanya tersenyum kecil memperlihatkan eye smile nya.

Tak lama kemudian Yuda meninggalkan gerbang sekolah sambil sesekali menggoda murid perempuan yang baru datang.

“Genit,” gumam Azka yang melihat kejadian itu.

“Eh pak ketos, apa kabar pak?” sapaan salah seorang temannya kala itu mengalihkan pandangan Azka yang menatap kakaknya pergi meninggalkan sekolah.

Iya, Azka itu seorang ketos (ketua OSIS) di sekolah. Bertanggung jawab terhadap segala hal yang membuatnya dipercaya menjadi seorang ketua OSIS.

“Eh bro, alhamdulillah sehat,” jawabnya. Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju kelas XI-IPA 5 di ujung bangunan kelas yang menghadap ke lapangan upacara, karena 15 menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.

***

Terik matahari yang menerpa kaca mobil pick up saat itu membuat hawa panas hari ini semakin terasa. Membuat tubuh Azka semakin mengeluarkan peluh. Ia hanya duduk manis menunggu kakaknya yang sedang mengambil kardus-kardus barang yang dipinta bapak tadi pagi. Di dalam mobil, Azka malah asik menonton MV terbarunya Rossa yang berjudul The Heart You Hurt, lagu “Hati yang Kau Sakiti” versi Korea.

“Bantuin napa nonton mulu,” ucap Yuda yang baru saja meletakan kardus di belakang bak mobil. Dari suaranya, ia terdengar sangat kelelahan. Azka yang mendengarnya hanya mendengus kesal.

“Bilangin ke bapak mau?” Yuda kali ini mengancam.

Azka yang mendengar hal itu langsung mematikan ponsel seketika, ia membuka pintu mobil dengan keras hingga Yuda yang sedang berdiri di sana hampir saja terjungkal.

“Eh, maaf Bang gak sengaja, sumpah,” ujar Azka dengan kedua jarinya diangkat membentuk huruf V.

Yuda yang kesakitan hanya menatap Azka dengan tatapan matanya yang tajam, membuat jantung Azka seakan menciut.

“Ya udah yuk Azka bant…” suara Azka saat itu terpotong oleh teriakan ibu-ibu yang berlari dari arah selatan.

“CEPOT… CEPOT… CEPOT…!!!!!” ibu itu berteriak sambil berlari kencang.

“Ada yang ngedalang di mana Bu?” tanya Azka dengan polosnya saat ibu itu semakin dekat dengan mereka, membuat wanita itu terhenti seketika.

“Eh, maksudnya copet. COPET… COPET… COPET….!!!!!” Ibu itu kembali berlari setelah membenarkan kata-katanya.

Azka yang baru sadar ibu itu dicopet langsung panik saat itu juga. Yuda yang masih kesakitan itu bukannya membantu malah langsung masuk ke dalam mobil.

Azka panik, kemudian ia melihat ke arah yang ditunjukkan perempuan bertubuh gempal itu. Ia melihat seseorang berlari ke dalam gang sempit dengan memakai jaket bertuliskan blood di punggungnya.

Dengan sigap Azka langsung mengejar orang itu. Ia bermain kucing-kucingan selama beberapa menit dan akhirnya tertangkap dengan dibantu warga yang sama-sama mengejar copet itu.

“Pake kepala dingin… jangan langsung dihakimi!!” ucap salah seorang bapak-bapak yang memakai peci dan sorban di dalam kerumunan itu.

“Gak ada es batu pak,” celetuk Azka dengan tangan memegang dompet yang dirampas si copet. Seketika suasana tegang disana berubah mencair oleh ucapan Azka.

Tak lama kemudian, copet itu diamankan oleh salah satu satpam yang berjaga di sana. Dompet yang dirampas dari tangan ibu tadi pun sudah dikembalikan kepada pemiliknya.

‘Pos Ronda Santuy’. Di sanalah copet itu diinterogasi. Didampingi beberapa orang bapak-bapak, Pak Ustadz, dan satpam. Copet itu mengaku terpaksa melakukan hal tersebut, karena ia sudah tidak tahu jalan apa yang harus ia lakukan untuk menafkahi anak istrinya di rumah. Karena pandemi yang melanda ini telah merenggut pekerjaannya sebagai tukang urut. Ingin berjualan, tetapi dana yang dibutuhkan tidak setara dengan uang yang ia miliki. Pak Ustadz yang mendengar hal itu hanya bisa memberi solusi dan memberi nasihat kepada si copet. Beberapa bapak-bapak dan satpam pun saling bergantian memberi solusi yang tepat.

“Bu, ini dompetnya,” Azka menyodorkan dompet si ibu yang tadi dirampas. Ibu itu sudah menunggu bersama Yuda tak jauh dari tempat tadi mereka mengambil barang.

“Alhamdulillah… makasih ya Tong, kagak tau lagi dah kalau gak ditolongin gimana nasib aye,” ujar ibu itu berucap syukur.

“Iya Bu sama-sama,” jawab Azka diiringi senyum manis.

Sesaat setelah itu, ibu yang tengah berdiri di hadapan Azka memeriksa isi dompetnya. Dan dilihatnya, tidak ada uang atau kartu yang hilang. Kemudian, ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru.

“Ini, buat kamu. Makasih ye,” ucap ibu itu sambil menyodorkan uang.

“Enggak Bu, jangan, saya ikhlas kok nolongnya,” kata-kata Azka saat itu mampu membuat hati seorang wanita paruh baya tersentuh.

“Kamu udah nolongin, ini gak papa, ambil aja rezeki jangan ditolak,” paksa ibu itu.

“Enggak Bu, beneran saya ikhlas kok bantuinnya. Mending uangnya buat jajan anak Ibu aja,” tolak Azka sekali lagi dengan tangan menahan uang yang disodorkan ibu itu.

Wanita itu hanya tersenyum kagum. Tak banyak pemuda seperti Azka yang menolak imbalan atas pekerjaannya.

“Hmm, ya udah kalau gitu. Sekali lagi makasih ye Tong, didoain biar kamu jadi anak  saleh, pinter, dan sukses di masa depan,” ucap ibu itu sambil menepuk pundak Azka yang lebih tinggi dari dirinya.

Azka mengaminkan lantas tersenyum manis kepada ibu itu.

“Kamu diculik saya mau gak? senyum terus saya gak kuat liatnya,” ujar ibu itu sambil tertawa. Azka yang mendengar hal itu pun ikut tertawa.

“Ibu pulangnya ke arah mana? biar sekalian bareng aja Bu, saya anterin,” Yuda yang baru mengeluarkan suara menawarkan tumpangan kepada ibu itu.

“Eh gak usah, nanti ngerepotin lagi, saya bisa pulang sendiri kok,” tolak si ibu.

“Gak papa Bu sekalian aja ayo,” Yuda memaksa.

“Ibu sih pulangnya ke arah Pasar sono,” jawab wanita itu.

“Oh, sama dong Bu kita juga mau kesana. Ya udah ayo Bu bareng aja, lumayan gratis,” seru Azka. Ibu itu hanya bisa mengangguk pasrah, tidak tega melihat Azka yang sudah memasang muka melasnya.

“Duh, pada baik banget sih, ganteng pula. Ibu culik dua-duanya aja, mau ya?” Ibu itu kembali menggoda Azka dan Yuda. Tawa renyah pun keluar dari mulut mereka berdua.

***

(Visited 30 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan