Ana Tersenyum Kembali
Suara alarm berbunyi mengusik tidur seorang anak perempuan ramah dan cantik bernama Ana. Memenuhi seisi kamarnya yang tak begitu luas dengan buku-buku yang tersusun rapi di meja belajar. Selimut tipis bergambar doraemon masih menemani tidurnya. Namun dirinya tidak egois untuk memilih melanjutkan tidur. Ia langsung bangkit dari posisi tidurnya dan bersiap diri untuk meraih ilmu di sekolah.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.20 pagi. Ana tengah sibuk memakai sepatu di dekat pintu berwarna coklat muda itu. Ibunya, Bu Ning, sedang menyapu halaman. Sesekali ia melirik putri semata wayangnya tersebut lalu tersenyum.
“Bu… Ana berangkat dulu ya,” pamit Ana sambil meraih tangan ibunya.
“Iya, hati-hati di jalan saying,” jawab Bu Ning dengan seulas senyum di wajahnya yang mulai nampak keriput.
Ana hanya mengangguk dan tersenyum, lalu pergi meninggalkan halaman rumahnya. Menyusuri jalan setapak menuju halte bus dengan senyum manis tergambar di bibir mungilnya.
***
“Dan, peraih juara umum pertama tahun ajaran 2019-2020 kelas 8 adalah…,’’ suara Pak Satyo yang sedang memberi pengumuman terdengar menggema, memenuhi setiap sudut sekolah.
Ya, hari itu adalah pekan kedua Ana duduk di bangku kelas 9. Dan di hari Senin yang cerah itu sedang diumumkan siapa saja siswa terbaik dari setiap kelas. Semua siswa dari setiap angkatan berjajar rapi memakai pakaian serba putih di lapangan. Menyaksikan para murid teladan mendapat penghargaan atas kerja kerasnya.
Peraih juara umum akan segera diumumkan. Rasa penasaran dan gugup menyelimuti setiap batin siswa. Detak jantung mereka pun berkejaran.
“Annasya Delliana dari kelas 8F….’’ suara Pak Satyo kali ini terdengar sampai ke lorong-lorong kelas yang kosong.
Jantung Ana seakan terhenti seketika. Ia tidak menyangka hal ini terjadi lagi. Pasalnya ini sudah menjadi peringkat Ana untuk yang keempat kalinya sebagai juara umum di sekolah. Sejak pertama ia duduk di bangku kelas 7 sampai sekarang, ia masih mempertahankan prestasinya sebagai juara umum.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ana berjalan menuju ke lapangan upacara, melewati barisan murid kelas yang lain. Tepuk tangan meriah riuh, menemani sesi pemberian piagam penghargaan yang diserahkan oleh Bapak kepala sekolah saat itu.
Ana merasa sangat bangga dengan prestasi yang selama ini ia dapatkan. Itu semua berkat guru-guru yang sudah mendidiknya dan juga dukungan dari orang tua dan teman-teman dekatnya.
***
Bel pulang telah berbunyi, suaranya memecahkan konsentrasi anak-anak yang sedang fokus belajar, ingin segera meninggalkan ruangan kelasnya masing-masing. Ana berjalan meninggalkan halaman kelasnya seorang diri. Saat itu sekolah sudah sepi, hanya menyisakan anak-anak yang sedang piket dan penjaga sekolah yang masih setia menunggu di gerbang.
Saat Ana meninggalkan gerbang utama, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Tapi, saat ia menoleh dan matanya bergerak mencari memastikan hal itu, ia tidak menemukan hal yang dicurigainya.
Ana yang merasa tidak nyaman itu berjalan agak cepat. Dan ternyata benar, ada orang yang mengikutinya semenjak ia keluar dari halaman sekolah. Ia tahu saat ia tak sengaja melihat 3 orang anak perempuan yang mengendap-endap di belakangnya dari pantulan kaca spion motor yang terparkir di depan sebuah toko buah yang sudah tutup. Ana berjalan setengah berlari menghindar dari ketiga orang itu. Namun usahanya tidak berhasil. Ana diseret oleh ketiganya ke dalam gang yang gelap dan sempit.
“Oh, jadi ini, anak teladan itu ya?” ucap Audrey dengan nada sinis.
Audrey ditemani Siska dan Amel. Tiga siswa perempuan yang sering membuat onar di sekolah. Dari ucapannya yang tidak bisa dijaga, kerap menuai teguran dari para guru maupun teman-teman di sekitarnya.
Audrey berasal dari keluarga yang sangat mapan dalam hal ekonomi. Ia selalu berbuat semena-mena kepada teman-temannya. Sebetulnya ia adalah seorang murid yang cukup pintar, nyaris seperti Ana. Ia sudah bersaing dengan Ana sejak awal masuk sekolah. Ana yang merasa terintimidasi hanya menunduk sambil menahan tangis. Ia dicaci maki oleh Audrey, ia dibully. Namun Ana tidak melawannya.
Hal itu kerap terjadi setiap hari kepada Ana. Ia selalu dibully setelah pulang sekolah oleh mereka. Namun Ana tidak pernah melaporkan hal itu kepada guru atau ibunya, karena ia takut semakin dibully oleh Audrey.
Sudah seminggu penuh Ana mendapat kata-kata yang tidak pantas dari Audrey. Di ruang kelasnya Ana tidak bisa belajar dengan fokus karena selalu teringat perkataan Audrey saat itu.
“Kalau kamu belajar dengan giat dan mendapat nilai tinggi di kelas, Lihat saja, aku akan membuatmu tidak betah di sekolah,” ucapan Audrey kala itu terus terngiang-ngiang di telinga Ana sehingga ia tidak konsentrasi saat belajar. Tak ayal, nilai-nilainya yang selalu bagus, kini semakin menurun.
***
Langit gelap malam kian memudar kala mentari di ufuk timur mulai menampakkan wujudnya. Sinarnya yang benderang membuat burung-burung keluar dari sarangnya, dan terbang bebas menjelajahi langit.
Di pagi yang seindah itu, tak terlihat sedikitpun semangat yang terpancar dalam diri Ana. Sudah 3 hari ia tidak masuk sekolah, tanpa keterangan. Itu menjadi hal buruk pertama bagi Ana selama ia bersekolah.
Seperti hari ini, Ana tidak masuk sekolah lagi. Ia hanya terdiam di kamarnya yang bernuansa biru muda sembari menatap keluar jendela. Empat jam telah berlalu. Ana masih tidak merubah posisinya yang menghadap ke luar jendela dengan tatapan mata yang kosong. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia bergeming saat sang ibu memanggil.
“Anaa… makan dulu yuk, udah siang kamu belum makan nak,” suara Bu Ning sampai di telinga Ana. Namun Ana tidak menjawab.
Bu Ning yang menyadari pintu kamar putrinya tidak dikunci langsung membukanya secara perlahan. Ana pun masih dengan posisi kedua tangan memeluk lutut dengan tatapan mata kosong ke luar jendela. Bu Ning hanya menghela napas panjang lalu menghampiri sang putri dan duduk di sampingnya.
“Ana sayang, kenapa?” tanya Bu Ning sesaat setelah ia duduk di samping Ana. Tangannya mengelus rambut halus putrinya yang beraroma sampo buah stroberi. Ana hanya terdiam. Beberapa saat kemudian, ia mengalihkan pandangannya kepada sang ibu.
“Ana kenapa? Akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu seperti ada masalah,” Bu Ning kembali mengulang pertanyaannya. Dan sekali lagi Ana tidak menjawab, ia masih ragu untuk berbagi cerita kepada ibunya.
“Ana ayo cerita ke ibu, jangan dipendam sendiri kaya gini,” Bu Ning kembali bersuara. Ana hanya bisa menunduk menahan tangisnya. Ia kemudian menatap kembali mata ibunya lamat-lamat. Ia sangat ingin menceritakan hal yang ia alami.
Dengan sedikit keraguan, Ana akhirnya membuka suara dan menceritakan semua yang terjadi padanya. Selama 30 menit ia bercerita, Bu Ning yang mendengarnya hanya bisa menghela napas. Ia tak menyangka hal seperti itu terjadi kepada anaknya.
“Udah ya, Ana jangan sedih lagi. Apapun yang terjadi, harus dihadapi bukan malah menghindar bahkan sampai gak semangat belajar kaya gini. Ana harusnya buktikan kepada teman-teman Ana, kalau Ana itu bisa,” ujar sang ibu, ”Ana gak salah apa-apa. Anak Ibu gak boleh patah semangat dong, masih ada cita-citamu yang harus digapai, kan? Ayo, senyum lagi.”
Perlahan, senyum manis Ana kembali terukir di bibirnya meski dengan mata memerah karena berurai air mata. Ia sesekali mengangguk, mengiyakan nasihat ibunya. Bu Ning pun tak henti mengelus kepala anak kesayangannya.
Bu Ning tak tinggal diam. Ia membicarakan hal ini kepada pihak sekolah. Hal itu sempat dicegah oleh Ana, tetapi ibunya merasa ia harus tetap membicarakan hal penting ini kepada gurunya. Audrey pun dipanggil ke ruang guru. Hanya is seorang yang datang, karena saat itu kedua temannya -Siska dan Amel- tidak masuk sekolah.
Audrey dimintai penjelasan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ia mengaku salah. Ia hanya tidak ingin ayahnya terus memarahi dirinya karena tak kunjung mendapat juara umum. Ia selalu mendapat teguran dari sang ayah. Audrey yang sudah muak dengan semua itu, akhirnya ia melakukan hal ini kepada Ana.
“Audrey… jika kita ingin mencapai apa yang kita inginkan, seharusnya kamu tidak berbuat seperti ini. Terus belajar, jangan patah semangat. Jika kita belajar dengan sungguh- sungguh, apapun yang kita inginkan pasti akan tercapai.”
Audrey yang mendengar nasihat guru BK itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, ia tak henti menangis menyadari kesalahannya.
Kini, trauma yang dirasakan Ana atas kejadian itu perlahan pudar. Ia bisa kembali bersekolah. Menampakkan senyum manis di hadapan teman-temannya, secerah mentari pagi. Ia juga sudah memaafkan kesalahan Audrey. Kini Audrey dan Ana berteman baik, mereka pun selalu belajar bersama. Mereka bersaing secara sehat dalam meraih apa yang dicita-citakan.
***
Isinya sudah bagus, jalan ceritanya pun runtut. Sukses ya say …