Yakin Bisa dan Buktikan
Isakan tangis terdengar di pojok kamar Syafira selepas pulang dari sekolahnya. Ia menumpahkan segala rasa sakitnya malam itu, sambil menggenggam kertas ujian yang telah lusuh dan entah ke berapa kali Syafira meneteskan air matanya. Dia tidak ingin seseorang mengetahui keadaannya seperti sekarang, dia ingin hanya dia saja yang tahu hasil ujian sekolahnya tahun ini. Syafira sesekali merobek kertas ujiannya dan melemparkannya ke seluruh sisi kamar. Detik berikutnya, dia memejamkan mata lalu menyandarkan punggungnya pada dinding kamar yang terasa dingin. Dia tidak berhenti memikirkan hasil ujian sekolahnya, masa depan, dan “Gimana kalau bunda tahu?” Ya hal itu yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Syafira menghela nafas panjang kemudian menyembunyikan wajahnya pada bantal berwarna putih miliknya.
Srettt suara pintu terdengar yang menandakan ada seseorang masuk, orang itu berjalan menghampiri sang gadis yang kini tengah terungkup di pojok kamar. “Bangun” suara keras yang sedikit serak menginterupsi suasana hening malam itu. Syafira menengadahkan wajahnya dan menatap seseorang berparas tampan, bertubuh tinggi yang berdiri tepat di depannya. Elzan berusaha membuat Syafira bangun seraya mengulurkan tangannya. “Bangun aja si jangan di sini kaya hantu aja mojok, di kasur kan bisa nangisnya.” Ucap Elzan sembari tertawa kecil. Syafira mendengus “Apa sih” sambil berusaha berdiri tanpa menerima bantuan uluran tangan kakaknya, kemudian berjalan menuju ranjang tidurnya dengan tubuh sempoyongan.
Sementara Elzan hanya mengikuti langkah adiknya dan sesekali memungut kertas yang berserakan di seluruh ruangan kamar. Dengan tangan yang penuh kertas sisa tadi, Elzan menyamakan serpihan kertas yang tersisa, kembali menjadi satu sehingga terlihat apa yang ada pada kertas tersebut. Terdapat angka 40,8 pada kertas ujian milik Syafira. Syafira sedari tadi berusaha merebut kertas yang digenggam oleh Elzan, namun sayangnya dia tidak bisa melakukan. Elzan melirik Syafira sebentar kemudian kembali membersihkan serpihan kertas tersebut dan menyimpannya di atas nakas. Lalu Elzan kembali duduk di ranjang milik adiknya. “Udah gapapa, jangan takut” Ujar Elzan menenangkan. Syafira hanya tersenyum tipis dan menjawabnya dengan anggukan kecil, kata kata yang diucapkan oleh kakaknya tadi hanya sekedar untuk menenangkan, dia belum tahu apa yang akan terjadi besok.
Sang surya telah memulai tugasnya di ufuk timur, menyapa bumi dengan cahaya kemerahannya. Tik tok suara jarum jam membangunkan Syafira yang kini masih membaringkan tubuhnya di ranjang, membuka matanya perlahan, bangun dari alam bawah sadarnya. Kemudian dilihatlah jam dinding yang berada diatas jendela kamarnya, saat melihat angka pada jam tersebut, Syafira beranjak dari ranjang tidurnya dan segera keluar dari kamar. Setelah menutup pintu kamarnya, Syafira memberhentikan langkah kakinya paksa dengan dipandangnya sosok yang sangat dia kenali. Wanita dengan tubuh sedikit tinggi, berambut lurus, pendek, kecoklatan yang kini tengah tersenyum sambil menatap anaknya. “Selamat pagi si cantik bunda” Ucap bunda Syafira sambil tersenyum. Syafira menghela nafas pelan “Pagi juga Bun” jawabnya dengan tersenyum tipis.
Firda yang kini tengah dipandang Syafira tidak memudarkan senyumannya, memang tugasnya sebagai orang tua untuk menyayangi anaknya, namun ia sedikit menuntut kepada anak-anaknya untuk harus bisa melakukan ini itu tanpa memikirkan kemampuan mereka. Ya, tidak mungkin sedikit orang tua yang bersikap seperti itu. “Eh iya, kamu bukannya udah selesai ujian ya? Gimana hasilnya nak?” tanya bunda. Syafira menatap anaknya dengan penuh rasa penasaran “Coba bunda liat” Lanjutnya. “A, ada bun di atas nakas” tercetak jelas rasa takut pada wajah Syafira dengan kata kata yang sedikit gagu barusan. Tanpa tunggu lama, bunda Syafira segera masuk ke dalam kamarnya mendahului Syafira yang masih berdiri kaku di depan pintu kamar, lalu menuju nakas yang terletak didekat ranjang milik anaknya.
Terlihat kertas ujian yang tidak utuh lagi, semuanya sudah habis yang tersisa hanyalah serpihannya. “Kok dirobek nak?” Ucap bundanya. Syafira membalikan badannya kemudian menatap kertas ujian yang digenggam oleh bundanya. “Eee..a..aku dapat nilai jelek lagi bun..” yang menjawab masih tidak berpindah dari tempatnya tadi, sekarang tangan Syafira bergetar tidak bisa berhenti. Setelah mendengar apa yang dikatakan anaknya, Firda mendekati Syafira dan langsung menatapnya serius “Kata bunda juga apa, makanya belajar! Punya banyak waktu tapi ga bisa digunakan dengan baik, sekarang liat? kamu juga yang nyesel nantinya!” Jelas Firda dengan keras kepada anaknya. “I…iya bunda, maaf..” Jawab Syafira dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Firda hanya menatap anaknya sebal “Pokoknya ga ada waktu buat kamu main, bunda mau kamu dapat nilai yang bagus besok!” Syafira sedari tadi hanya menunduk dan sesekali mengangguk.
Sudah tiga jam berlalu, tidak terasa Syafira telah menyelesaikan semua latihan pada setiap buku yang dia baca. Setelah selesai membereskan tempat belajarnya dan menutup kembali semua buku bukunya, Syafira membuka ponselnya sebentar hanya untuk melihat pesan, namun seseorang merebut ponsel yang digenggam Syafira sambil berkata “Jangan main handphone mulu, lanjutin belajarnya” ya, itu bunda Syafira yang berbicara sambil mengusap lembut rambut anaknya. Syafira mendengus “Bun…kan aku udah lama belajarnya, habis baca pesan dari handphone, aku mau lanjut lagi”. Apa boleh buat, Firda tidak akan mengijinkan anaknya membuka handphone terlebih dulu “Engga, ini bisa nanti ya.. sekarang kamu lanjutin dulu belajarnya” Titah Firda kepada anaknya. “Nanti bunda kasi kamu lagi kok handphone-nya” lanjutnya lagi yang masih menggenggam ponsel milik Syafira. Syafira melipat bibirnya tidak menjawab apapun, kemudian kembali membuka buku bacaannya.
Waktu menunjukan pukul 16.30 WIB, Syafira masih duduk di meja belajarnya sembari menyelesaikan satu soal terakhir matematika, “Bentar lagi beres” Ucapnya senang. Syafira mengerjakan soal matematikanya pada kertas satu lembar yang sudah dipenuhi coretan angka-angka. Selesai dia merumuskan dan memilih jawaban yang tepat, Syafira membersihkan kembali meja belajarnya kemudian berjalan untuk keluar kamar. Harum masakan tercium bahkan sebelum Syafira keluar dari kamarnya, perutnya sudah meminta makan dari siang tadi. Segeralah ia membuka pintu kamarnya dan didapati olehnya bunda Syafira yang sudah siap memasak makanan dan menatanya rapi di atas meja. Setelah melihat Syafira keluar dari kamar, bundanya langsung menghampiri seraya menggandeng tangan anaknya menuntun ke meja makan. Mereka mulai menyantap makanan tersebut dengan nikmat, sesekali mengobrol kecil ala-ala keluarga sederhana.
Langit sudah menunjukkan corak warna yang semakin gelap, ditaburi dengan indahnya bintang-bintang. Setelah selesai makan bersama tadi sore dan mandi lima menit yang lalu, Syafira kembali membaca bukunya agar materi yang dipelajari tadi masih melekat jelas di otaknya. Ia bolak-balik membaca bukunya dan menghafalnya, memahami kembali pelajaran matematika dan lain sebagainya. Syafira sudah siap untuk melaksanakan ujian minggu kedua besok, banyak harapan tersimpan dalam dirinya hari ini sampai nanti.
Angin berhembus dengan lembut, di jalan setelah pulang sekolah, Syafira tersenyum sendiri berharap orang tuanya bangga melihat hasil ujiannya hari ini. Memang belum sempurna tapi setidaknya Syafira telah berusaha untuk mendapatkan nilai di atas rata-rata seperti sekarang. Sampai di rumah, ia segera mencari bundanya untuk memberitahu hasil ujiannya. Kemudian Syafira menaiki tangga rumahnya dan mendapati sang bunda yang tengah duduk santai di atas balkon, lalu menghampirinya. “Bunda! liat hasil ujian Fira hari ini!” Seru Syafira kegirangan sambil duduk didekat bundanya. “Mana sini coba bunda liat sayang” Ucap bunda seraya mengambil kertas yang diberikan anaknya. Firda tersenyum sambil membuka lembaran ujian Syafira saat itu. Nilai dari ujian yang dilihatnya sekarang pun jauh lebih baik dari sebelumnya. Firda menyadari sikapnya yang selalu menuntut sang anak agar bisa mendapat nilai yang bagus, menduduki rangking dikelasnya, dan meminta mereka belajar tanpa henti.
Detik berikutnya, Firda melirik Syafira di sampingnya yang kini masih cengar-cengir akan kebanggaannya sendiri. Kemudian memeluknya. “Maafin bunda ya sayang, bunda selama ini selalu nuntut kamu. Sekarang bunda janji, bunda ga akan bersikap kaya gitu lagi. Sekarang, lakukan hal apa saja yang bisa buat kamu senang, maaf dulu bunda terlalu jahat sama kamu.” Rintih bunda Syafira sambil meneteskan air mata perlahan. “Bun, justru aku berterima kasih sama bunda. Karena, bunda bisa buat aku semakin semangat belajar, walau kadang aku ngerasa capek.. udah bun jangan kaya gini, aku juga udah maafin bunda” ucap Syafira mengeratkan pelukannya. Sepasang mata menatap langit yang sama, sang ibu dan anaknya menghabiskan waktu kala itu di atas balkon rumahnya. Bisakah terus seperti ini? momen yang jarang tak akan pernah bisa dilupakan.