Tiara Ardian_Mereka yang Paling Berjasa_SMPN 3 Subang

Tiara.jpeg

Mereka yang Paling Berjasa

Senja, seperti yang sekarang sedang dipandangi Sheza dibalik kaca jendela kamarnya. Ia melamun seraya memikirkan masalahnya, bagaimana jadinya dunia ini nanti, masa depan bangsa ini yang sudah menjadi negara terdampak virus tidak jelas. Kemudian dia duduk di depan meja kerja miliknya dekat dengan jendela tadi, hal yang dilakukan Sheza pun tak jauh berbeda.

Sudah 10 menit berlalu, selesai menutup gorden jendela kamarnya, Sheza merebahkan dirinya di atas kasur lalu membuka ponselnya. Terdapat tiga pesan masuk dan satu panggilan tak terjawab dari Fitria yang merupakan teman kerja sekaligus sahabatnya waktu sekolah dulu. Dalam isi pesannya Fitria meminta Sheza untuk datang ke rumah sakit karena ada rapat mendadak para petugas kesehatan. Tidak biasanya seperti ini, padahal Sheza baru pulang dari tempat kerjanya siang tadi. Sheza bergegas untuk mengganti pakaiannya, mengambil kunci mobil yang dia gantungkan diatas cermin, lalu turun tangga kebawah menuju parkiran apartemen. Saat ini lift apartemennya sedang rusak, dan dia tinggal dilantai atas, cukup lelah baginya yang harus menuruni banyak anak tangga selama lift sedang dalam masa perbaikan.

Sampailah ia berdiri di depan mobil miliknya, dengan segera dia menyalakan mobilnya lalu membuka pintunya. Sheza mengendarai mobil tersebut dengan kecepatan sedang sambil terburu-buru karna waktu. Tidak terasa sudah sampai ditujuan, Sheza memarkirkan lalu turun dan mengunci mobilnya. Kemudian dia berjalan melewati koridor-koridor rumah sakit. Di jalan menuju ruang para karyawan, dia mendapati orang-orang yang ada di rumah sakit dan pasien yang menyapa dirinya, dokter muda itu menjawab dengan senyuman dan anggukan kecil.

Saat masuk ke ruangan, terlihat olehnya para petugas yang sudah memulai rapat. Sheza duduk disalah satu bangku kosong, menatap orang yang sedang berbicara. Dimulailah rapat tersebut dengan baik.

“Kita harus bisa gerak cepat, virus baru yang datang ke Indonesia ini berbahaya. Tidak hanya memakan satu korban, tapi pasien akibat corona ini terus bertambah setiap harinya.” ujar dokter Annisa kerabat kerja Sheza.

“Virus akan lebih cepat menular jika orang yang positif Covid-19 tidak segera ditangani. Bekerja harus lebih ditingkatkan dan mungkin akan lebih lama dari biasanya. Siap tidak siap harus siap.” lanjut dokter Annisa lagi. Semua orang yang ada di sana menatap dokter Annisa dan mengangguk, paham akan apa yang dibicarakan olehnya.

Tiga jam sudah rapat dilaksanakanan. Sheza keluar dari ruangan setelah mengobrol kecil dengan teman kerjanya. Dia berjalan keluar rumah sakit untuk membeli makan, karena dia belum makan hari ini dari pagi tadi. Di depan gerbang rumah sakit ada penjual pecel lele, dokter itu berjalan menghampiri gerobak pecel lele. “Bang, pecel lele pake nasi satu ya!” ucap Sheza pada penjual pecel tersebut. “Siap bu dokter” jawab penjualnya, Dokter itu membalas dengan tawaan.

Setelah membeli makanan, Sheza berjalan menuju ruangan pribadinya. Dibukalah pintu ruangannya tersebut, kemudian dia duduk bersandar pada kursi kerjanya. Menselonjorkan kaki dan mengusapnya pelan dari atas ke bawah. Dia mungkin kelelahan, sama saja dia bekerja 24 jam penuh hari ini. Kemudian Sheza membuka makanan yang dia beli tadi pada tempat makannya sendiri, bangun dari kursi kemudian berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ia kembali duduk lalu memakan makanannya dengan nikmat. Ting…tingg…tinggg, panggilan masuk dari Inggit, salah satu perawat di rumah sakit itu.

“Halo dok, apa dokter masih ada di rumah sakit? Maaf, bisa ke luar sekarang? rumah sakit kita kedatangan pasien Covid-19. Cepat sedikit ya dok” ujar perawat itu dengan nada panik.

Setelah mendengar apa yang dikatakan Inggit, pikiran dan hati sang dokter tidak tenang, jantungnya seperti berdetak kencang. Dengan keadaan seperti tadi, dokter itu menjawab “Baiklah saya segera turun ke bawah”, dia bergegas berlari menuju lift lalu menekan tombol untuk turun ke lantai paling bawah. Dipandangnya para tenaga medis yang sudah rapat memakai Alat Pelindung Diri (APD) yang terlihat seperti pakaian astronot. Sheza terus berlari untuk menuju kamar penyimpanan APD. Sampai di ruangan dia melihat seluruh pakaian dan alat itu dengan mata berkaca, tidak menyangka akan menggunakan alat ini untuk pertama kali. Tanpa menunggu lama, dia segera memakai semua itu mulai dari celana hingga ke alat yang paling akhir digunakan. Rasa takut menyelimuti dirinya, tetapi dia bertanggung jawab melakukan itu semua sesuai dengan profesinya.

Dirasa sudah sesuai dengan persyaratan dan sedikit tidak bisa bernafas, dia segera keluar dari ruangan tersebut, kemudian membawa sang pasien positif Covid-19 dibantu oleh para perawat yang mendorong keranjang ke ruang isolasi untuk ditangani. Sampai di ruangan yang dituju, dokter itu menangani pasien dengan lemah lembut, senyumannya tidak pernah memudar. Dia mengajak pasien berbicara, menguatkannya, mengajaknya tertawa seakan pasien lupa dengan kondisinya saat ini. Sheza menyarankan untuk tidak terlalu panik, bersikap tenang dan meyakinkan pasien bahwa dirinya tidak apa-apa. Waktu menunjukkan jam 2 malam, hari sudah berganti hari. Sheza memutuskan untuk tetap di rumah sakit sampai besok pagi. Sheza bahkan hanya tidur 1 jam, dia terus menangani para pasien dan sedari tadi dia tidak melepaskan baju APD karena jumlahnya yang terbatas. Pasien positif Covid-19 masuk malam tadi sekitar 4 orang, 2 diantaranya adalah sepasang suami istri.

Fajar telah memancarkan sinar kemerahannya yang tampak dilangit sebelah timur. Sheza saat ini sedang berbincang dengan para dokter diruang karyawan. Mengetahui hari sudah pagi, Sheza segera masuk ke ruangannya dengan keadaan tubuh yang sedikit lemas. Sheza terakhir menangani pasien sekitar jam 3 pagi. Setelah selesai menyiapkan diri, Sheza berjalan keluar rumah sakit untuk pulang, menyapa para pasien dan orang-orang yang dia temui di rumah sakit. Sampai didepan mobilnya dia segera membuka pintunya, menyalakan kemudian menginjak pedal gas mobil tersebut dengan kecepatan sedang.

Dalam perjalanan dia memutar lagu agar tidak merasa ngantuk, tetapi tetap saja rasa lelah di tambah dia terus memikirkan kondisi di rumah sakit sampai membuatnya hampir menabrak mobil lain pada saat lampu merah. Dengan rasa terkejut dia berusaha mengerem mobilnya sampai keningnya terbentur setir mobil “ini gara gara kurang fokus, jadi ga bener gini haduh” ucap Sheza menghela nafas sambil mengusap keningnya. Dia meminta maaf kepada orang yang disekitarnya karena telah mengganggu keselamatan. Kemudian dia kembali menjalankan mobil itu dengan hati-hati.

Sampai di parkiran apartemen, ia memarkirkan dan mengunci mobilnya seperti biasa. Sudah dikatakan, dia mampu menaiki banyak anak tangga, melewati beberapa lantai untuk sampai ke kamar apartemen miliknya. Baginya sudah cukup untuk tinggal di apartemen seperti sekarang ini. Apartemennya pun cukup luas untuk Sheza yang hanya seorang diri. Entah kenapa ia tidak berkeinginan membeli rumah sendiri, padahal kerja sebagai seorang dokter penghasilannya pun tidak mungkin sedkit.

Jarum jam menunjukan pukul 8 pagi, dia saat ini sedang membuat makanan untuk dirinya sekarang dan untuk bekal kerja nanti. Setelah selesai memasak, Sheza menaruh makanannya pada meja makan, menghiasnya agar terlihat lebih sedap untuk disantap. Dimakanlah makanan tersebut ditemani dengan suara televisi. Setelah makan dia membersihkan kamarnya terlebih dulu, lalu menyiapkan baju dan perlengkapan  lainnya untuk dia berangkat kerja. Jadwal sekarang lebih lama, bahkan sering kali pada situasi seperti ini dia bekerja diluar jadwalnya sendiri untuk membantu tenaga medis yang lain.

Sheza keluar dari kamar mandi dan bergegas masuk ke kamarnya. Sekarang pukul 10.50 WIB memang masih lama untuk pergi ke rumah sakit, tapi seperti biasanya dia berangkat satu setengah jam lebih awal karena jarak dari apartemennya ke rumah sakit cukup jauh dan butuh waktu yang cukup lama. Dia bekerja dengan para tenaga medis lainnya tanpa henti. Dari pagi sampai pagi lagi, sulit untuk pulang ke kampung halaman dan bertemu keluarga demi mencegah penularan. Perjuangan para tenaga medis dalam melawan Covid-19 belum berakhir.

Mereka lah pahlawan kehidupan, mereka yang berada di garda terdepan rela mengorbankan pikiran, waktu, tenaga dan nyawa demi menyelamatkan ribuan pasien berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pemantauan (ODP) hingga pasien positif Covid-19. Dibalik semangat yang mereka tunjukkan, tersimpan kekhawatiran besar karena takut tertular. Rasa saling membantu menjadi keharuan tersendiri di tengah kecemasan dan ketidakpastian ini.

(Visited 27 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan