VIRUS PENGHANCUR HIDUP
“Lu yang salah, duit kita udah nipis, sedangkan lu pengangguran.” Bentak Mirna.
“Gua gaada kerja karna Corona.” Balas Ari yang tak kalah tinggi badan bicaranya.
“Corona lu jadiin alesan kerjanya cuman nongkrong di warung minum kopi, penghasilan pas-pasan, gua malu sama temen temen gua, mereka kaya, semua punya mobil, makan enak.” Ucap Mirna dengan nada yang semakin meninggi.
“Lu juga kerjaannya main terus sama temen-temen lu, jarang ada dirumah.”
Vino yang sendari tadi risih melihat kedua orang tuanya selalu bertengkar. “Stop! Kalian berdua sama aja, sama-sama egois kalian ga mikir apa gimana Rani, masih kecil udah liat orang tuanya ribut mulu tiap hari.”
Vino tidak tahan lagi karena melihat orang tuanya yang tidak memedulikan anak anaknya terutama Rani, adik Vino, yang masih berumur setahun. Vino membawa Rani ke taman, karena tidak mau masa kecil Rani harus menyaksikan orang tuanya yang bertengkar, “Rani main sama Abang dulu ya disini, kita belajar jalan.” Ucap Vino dengan penuh kasih sayang dan mulai menuntun Rani dengan lengannya, tidak lama kemudian hp Vino berdering lalu Vino mengangkat telponnya “Vino mana tugas kamu, sudah tiga bulan tidak ada tugas yang masuk dari kamu.” ternyata Gurunya yang menelpon, Vino segera memutuskan telponnya dan kembali membantu adiknya belajar berjalan.
“Assalamualaikum.” Vino masuk ke rumah dan melihat ke sekeliling tidak terdapat Ayah ataupun Ibunya, Vino tidak heran karna sudah pasti Ayahnya sedang ada di warung bersantai minum kopi sedangkan Ibunya pergi bersama teman-temannya, Vino segera menidurkan Rani.
Matahari mulai terbit, Vino yang sedang menyuapi Rani mendengar suara, karena penasaran Vino mencari sumber suara, “Rani bentar dulu ya Abang mau liat suaranya.” Vino segera melihat apa yang terjadi ternyata Ibu dan Ayahnya sedang bertengkar lagi dan Ayahnya membanting gelas kaca.
“Pokoknya gua mau mobil, gua malu sama temen temen gua.” ucapan Mirna dengan nada tinggi, “lu gak liat apa hah?! Keadaan kaya gini semua serba dibatasi, nyari kerja susah lu gampang tinggal ngomong mau ini itu.” nada bicara Ari tidak kalah tinggi, “nyari kerja lu bilang? Lu juga kaga usaha, ngandelin kartu doang mana bisa kaya.” Ayahnya memang tidak punya pekerjaan dan mencari uang dengan cara menjudi.
Vino tidak bisa berbuat apa apa, dia menyibukkan diri dengan mengurus Rani, walaupun hatinya merasa sakit karna setiap hari harus mendengar orang tuanya bertengkar, Ari akhirnya pergi entah kemana, dan Mirna sibuk dengan hpnya dan masih dalam keadaan emosi, “bilang cari kerja sana sini, kerjaannya cuman di warung nongkrong bawa pulang duit pas-pasan.” Mirna masih kesal pada Ari, “Ibu jagain dulu Rani, Vino mau beli sampo”, Ibunya masih saja sibuk dengan hpnya, Vino bergegas membeli sampo ke warung sebelah yang ternyata tutup Vino ke warung yang lumayan jauh dari rumahnya.
“Ibu kok disini? Vino kan nitip Rani, Rani sama siapa dikamar mandi?” Vino panik karna Rani sendiri dikamar mandi, Vino segera berlari ke kamar mandi, “Astaghfirullah Rani!” Vino melihat Rani yang berada di dalam bak mandi yang sama dengan tinggi Rani, berwajah pucat, padahal sebelum ia tinggalkan Rani masih berendam di bak mandi bayinya.
“Vino kenapa?”, tanya Mirna keheranan, “kenapa ibu tinggalin Rani sendirian di kamar mandi?” tanya Vino dengan rasa kesal, “ya ampun Rani, ayo kita ke Rumah sakit Vin.” ajak Mirna.
“Dok adik saya gimana?” tanya Vino pada Dokter yang baru memeriksa Rani, “Maaf kami tidak bisa menyelamatkan adik anda.” Vino tidak percaya dan segera masuk ke ruangan, terdapat disebuah belangkar yang tertutup kain putih, “Rani, kenapa ninggalin Abang?” Walaupun Vino seorang laki-laki yang kuat tapi ia tidak bisa menahan kesedihannya.
Sejak saat itu Ayah dan Ibunya sadar egois dan mementingkan diri sendiri, sekarang Ari mendapatkan pekerjaan sebagai supir angkot dan Mirna sebagai pegawai laundry dan tidak mementingkan lagi apa kata teman-temannya, dan Vino dirumah karna harus menjaga warung.
“Ibu sama ayah berangkat dulu ya? Yang bener jaga warungnya, inget harga-harganya kan Vin?” Mirna dan Ari pamit, “ga pake masker?” Tanya Vino, “gausahlah ribet” jawab Ayahnya, setelah keberangkatan kedua orangtuanya, Vino masuk kedalam ke warung, kebahagiaan ini tidak bisa diartikan dengan kata-kata, akhirnya keluarganya kembali seperti dulu sebelum virus itu datang, disisi lain Vino merasa sedih karna meninggalnya Rani, kini tidak ada lagi pertengkaran diantara mereka.
Hari telah berlalu Mirna dan Ari pulang, kini mereka sekeluarga sedang bersanta sambil menonton TV dan mengobrol “Katanya ada tes swab gratis?” tanya Ari, “Iya yah, ada katanya sih besok di balai musyawarah, kita tes juga?” tanya balik Vino, “Kalo gitu besok kita kesana, ayah bisa kan siang nariknya? Kalo ibu lagi libur” tanya Mirna dan Ari menjawab dengan anggukan kepala.
Malam pun berlalu kini pagi sudah datang, setelah bersiap siap mereka menuju balai musyawarah, dan kedua orangtuanya dinyatakan positif terpapar virus corona, dan harus di isolasi di Rumah Sakit.
Kini tinggal Vino sendiri di rumah berusaha bertahan hidup sendiri tanpa ayah dan Ibunya, mengurus diri dan rumahnya sendiri, pada saat Vino sedang mencuci baju, hpnya berdering dan Vino mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum” sapa Vino.
“Waalaikumsalam, mana tugas kamu? baru sebulan kamu setor tugas, mau ibu kosongkan nilai rapot kamu? Bisa-bisa kamu tidak akan ibu naikan kelas.” Ancam guru-nya disebrang telpon.
“Nanti secepatnya saya kerjakan” jawab Vino dan segera memutuskan telponnya.
Hpnya berdering lagi dan Vino segera mengeceknya dan ternyata Ibunya yang menelpon, “Assalamualaikum ibu, gimana udah mendingan? Kapan pulang?” tanya Vino, “Do’ain aja ya Vin, kamu gimana bisa ngurus rumah sendirian? Awas aja nanti Ibu pulang rumah berantakan.” ucap Mirna, “Yaelah Bu, santuy aja Vino bisa jaga diri kok.” jawab Vino, “pinter anak Ayah.” ucap ayahnya, “Bagus, udah dulu ya Ibu mau ada pemeriksaan, wassalamu’alaikum.” pamit Mirna, “waalaikumsalam” balas Vino.
Tak terasa dua minggu Vino seorang diri di rumahnya mengurus dirinya dan rumahnya sendiri, Vino mulai merasakan kesepian tapi apa boleh buat Vino hanya menjalaninya dengan ikhlas dan sabar, tidak lama kemudian ada suara mengetuk pintu dan Vino membuka pintu lalu terlihat Jeffan temannya yang membawakan martabak.
“Eh ada apa Jef, tumben lu kesini?” tanya Vino, “Lu gak ajak gua masuk apa? Tamu adalah raja”, ucap Jeffan, “Eh iya lupa, sini masuk” akhirnya Vino mengajak Jeffan masuk, “Nih gua bawain martabak, mau kaga?” Jeffan menyerahkan bingkisan yang berisi martabak, “Nah gitu dong kalo main kesini bawa makanan.” ucap Vino sambil membuka bingkisan yang diberikan.
Martabak manis bertoping keju kesukaan Vino, “Eh Vin sekarang pengunguman naik kelas atau ngga, secara online”, ucap Jeffan, “Sialan gua lupa lagi”, ucap Vino, akhirnya mereka mengeluarkan hpnya yang berada di sakunya, mereka terkejut karna melihat list nama Vino berada di daftar nama siswa yang tidak naik kelas, “Vin lu gapapa?”, tanya Jeffan, “Mungkin ini udah takdir Jeff, ya gua juga gabisa ngelawan”, ucap Vino berusaha untuk ikhlas.
setelah menenangkan Vino, Jeffan pamit pulang, rumah terasa kembali sepi, hp Vino berdering dan Vino segera mengangkatnya dan ternyata telpon dari rumah sakit.
“Halo dengan saudara Vino?” tanya pegawai Rumah sakit disebrang telpon.
“iya saya sendiri, ada apa ya?” jawab Vino.
“Apa benar Mirna dan Ari orang tua anda?” tanya pegawai Rumah sakit tersebut.
“Iya benar.” jawab Vino.
“Turut berduka cita, Orang tua anda telah meninggal akibat Covid-19 dan dimakamkan di TPU khusus Covid-19, keluarga dilarang untuk melihat jenazah, dikarenakan meninggal karna kasus Covid-19.” Ucap pegawai tersebut.
Vino sangat tertekan atas semua ujian yang diberikan Maha Kuasa, “Gua udah gak punya siapa-siapa lagi,” pikiran Vino kacau dan tidak sengaja ia melihat tali tambang yang tergeletak, akhirnya Vino memutuskan untuk bunuh diri dengan cara menggantung diri, “Percuma gua hidup sedangkan keluarga gua udah pada gak ada, mungkin ini jalan satu satunya buat ngilangin stress gua biar gak banyak pikiran lagi, kali gua meninggal gak ada lagi beban pikiran.” ucap Vino sambil mengikat tali tersebut ke atas dan memasukkan ke leher, kursi yang dipakai untuk naik kini ditendang kaki Vino, akhirnya Vino dinyatakan meninggal.