Rintangan dan Impian
“Alena, berikan formulir pendaftaranmu!” Dengan berat hati, Alena pun menyerahkan kertas itu. Kejadian tadi malam membuat Alena merenung di balkonnya. Dalam hati Alena bergumam “Emang harus ya masa depan ditentuin sama orang tua? Kita minat ke B kok dipaksa ke A?” Ibu Alena mengetuk pintu dan berkata. “Alena, jangan lupa belajar IPA! Mommy malu kalo kamu gak jadi Dokter, inget itu!” Perkataan Ibunya membuat Alena mendengus. Alena menelan ludahnya, hal itu menimbulkan luka yang sangat mendalam di lubuk hatinya. Dalam hati, Alena berkata “Lena bakalan tetep pada pendirian Lena!” Amanda merupakan nama dari Ibunya Alena, ia memaksa Alena untuk berprofesi sebagai Dokter di masa depannya, sedangkan Alena tetap teguh pada pendiriannya yaitu ingin menjadi pengacara.
Pagi ini Alena akan memulai pembelajaran di SMA, Alena menggeram kesal menahan amarahnya. “Alena, cepat sarapan!” Amanda berteriak dari bawah, suara batuk Alden Sang Ayah, membuat Alena ingin memulai bicaranya. “Daddy ngebebasin kamu dalam hal pendidikan, kamu mau ngambil jurusan apapun, Daddy akan dukung.” Suara sendok yang dibanting dari tangan Sang Ibu membuat Alena pasrah dan menghela nafasnya. Dengan ekspresi marah, Amanda berkata “Mommy mau kamu masuk IPA karena apa? Kamu harus jadi dokter Lena! Mommy malu ya kalo kamu ga jadi dokter, mau taro di mana muka mommy Lena?” Alena pun membalas dengan hentakan sendok di tangannya. “Ini hidup Alena mom, Alena tetap ingin menjadi pengacara apapun alasannya.” Raut wajah Amanda berubah, menahan amarahnya.
Pagar tinggi rumahnya kini terpampang di hadapan Alena, di dalam Mobil Alden menggenggam erat tangan putrinya itu. “Untuk sementara, ikuti dulu kemauan mommymu untuk masuk kelas IPA ya nak!” Alena tak bisa berkata-kata lagi, ia hanya mengencangkan rahangnya. “Daddy kan tau anak yang terlalu di kekang bakalan berontak. contohnya aja bang Alvin, dia malah milih kuliah di luar negeri kan karena terlalu mommy kekang, mungkin nasib Alena akan sama kayak bang Alvin kalo mommy akan terus-terusan kayak gini, Daddy tau Lena benci kayak gini!” Alena melontarkan kekesalannya, karena ia tak ingin diatur seperti Alvin yang merupakan kakaknya. Karena kesal, Alena pun keluar dari mobil lalu membanting pintu tersebut. “Daddy akan dukung cita-citamu nak, apapun caranya.” Ucap Alden dalam hati.
Tiga tahun pun berlalu, kini Alena tengah melaksanan kegiatan graduation di sekolahnya. “Bang Alvin pasti dateng.” lirih Alena. Amanda yang mendengar itu mendelik malas, “kamu ngapain sih Al ngarepin kakakmu itu? ga bakalan dateng dia.” Alena benci kata-kata yang dilontarkan Amanda, gadis itu menghentakan pelan lengan Amanda yang ada di bahunya, lalu duduk agak menjauh. Tak lama Sang Ibu menghampiri bersama dengan perempuan paruh baya di sampingnya. “Alena, ini Ibu Adeeva, oh ya bu ini Alena anak gadis saya.” Sambil berbisik, Bu Adeeva bertanya “Kuliah nanti Alena ambil jurusan apa Bu?” Basa-basi Bu Adeeva, seketika Amanda langsung menyahut cepat. “Oh jelas kedokteran dong Bu, masa mommynya cerdas anaknya ngambil yang lain? Harus dokter dong!”. Alena menahan amarahnya di depan teman Sang Ibu tersebut, lalu Alena membalas “Saya bakalan ambil jurusan hukum Bu, apapun resikonya. Saya permisi dulu!.” Alena berdiri lalu segera lari meninggalkan dua orang yang tengah menatapnya.
Sesampai di rumah Alena berkeluh pada Ayahnya “Daddy, Alena tetap mau kuliah di jurusan hukum!” Alden kembali menghela nafas pelan dan berkata “Kamu ikuti mommymu dulu lah!”. Alden berusaha untuk membujuk anak bungsunya itu. Sambil menahan tangis Alena berkata, “Sampai kapan dad, sampai kapan? Dari awal Lena hidup, Lena terus di kekang. Apa yang mommy mau harus diturutin, emang pernah mommy turutin apa yang Lena mau?” Alden tak bisa membalas apa yang dikatakan Alena, ia mengakui bahwa putrinya memang tak ingin kalah jika sudah ada tekad.
Gadis yang baru lulus SMA itu duduk dengan hentakan untuk menyita perhatian Sang Ibu, “Apa-apaan kamu Lena? Wanita berkelas kok duduknya seperti itu? ucap Amanda. ”Benar-benar muak, sampai kapan si gila materi?” kesal Alena, Amanda melotot tak percaya “Materi apa maksud kamu? Sudah deh bawa kesini formulir pendaftaran kuliahmu biar mommy yang isi, cepat!” Alena membanting remot TV ke meja di hadapannya. “Mau mommy apa si, maksa Lena buat jadi dokter? Kalo Lena ga jadi dokter mommy malu? Mom kesuksesan orang beda-beda bukan kita yang ngatur, kalo yang di atas mentakdirkan Lena jadi pengacara mommy bisa apa? Kalo yang di atas berucap Kun Fayakun maka terjadilah, mommy ga bisa paksa Lena.” Amanda tercekat di tempatnya, Alena berlari untuk segera ke kamarnya.
Alden menghampiri dan duduk di sebelah Amanda, “Mau sampai kapan kamu gila materi hingga mengekang anak-anak? Kamu gila materi atau gila hormat? Kita sebagai orang tua harusnya mendukung apa yang Alena mau.” Alden pun menghampiri Alena yang sedang menatap diri di cermin. “Alena!” Alena menghela nafas lelah mendengar sahutan Sang Ayah, “Lena butuh waktu Dad!” Alden menyemangati Alena “Daddy akan mendukungmu!”. Alena pun tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa sedikit tenang karena masih ada yang mau mendukung impiannya.
Amanda bergegas datang kerumah Ibunya untuk meminta nasihat, ia sangat ingin bercerita tentang dua anaknya yang berontak karena sikapnya. Sesampai di sana, Amanda memeluk Ibunya dengan rasa haru, “Ayo masuk.” seru Wilda yang merupakan Ibu dari Amanda. Wilda menggiring Amanda ke dalam rumahnya. “Onok opo ndok? koyok e onok masalah?” tanya Wilda, Amanda menghela nafas tak enak “Manda kesini mau cerita sama Ibu.” jawab Amanda. Wilda mendekat lalu menggenggam jari-jemari anaknya itu. “Ndak Popo Cerito mbek aku.” Ucap Wilda sambil tersenyum, Amanda menggigit bibirnya ragu. “Manda cuman mau anak-anak jad…” ucapan Amanda terpotong ketika tiba-tiba melihat anak gadisnya berdiri di hadapannya. “Nek…” sahut Alena, namun Alena tampak mundur ketika melihat Amanda di sana. “Hey, sini kumpul mbek mbokmu koyok e punya masalah seng sama Yo?” tanya Wilda. Alena menggeleng, gadis itu ingin pergi namun tertahan karena ucapan Amanda, “Kita selesaikan masalah kita disini!”.
Alena diam mematung, gadis itu menelan salivanya pelan lalu menengok ke arah Amanda. “Mommy kesini ngemis pembelaan kan?” Alena memberikan senyum sinis pada Amanda. “Mending Lena pulang, Assalamualaikum Nek.” Saat ingin pergi, kakek Alena sudah berdiri gagah di hadapannya dengan tangan terlipat di dada, ia menatap Alena. “Kek permisi, mau pulang!” seru Alena, “Mari kita selesaikan nak!” Suara sang kakek membuat hati Alena mencelus.“I..iya Kek”. Mereka pun masuk ke dalam rumah untuk menyelesaikan masalah diantara Ibu dan Anak itu. “Ada masalah apa? Coba cerita sama Kakek!” seru Ardhian. Tak ada yang bicara hingga Wilda datang membawa nampan yang di atasnya terdapat empat gelas berisi teh hangat, “Iki ngombe ndisek, ojok kaku-kaku ngono gadis-gadis ku!” ucap Wilda. Setelah meminum teh, Alena pun membuka suara. “Alena pengen jadi pengacara, lalu kenapa mommy maksa buat jadi dokter? Setiap beradu argumen sama Lena, mommy bilang kalo mommy malu jika Lena ga jadi dokter! Padahal Lena yang harusnya malu punya mommy yang sama sekali ga mendukung apa yang Lena mau. Emang cita-cita pengacara itu negatif?” ketus Alena.
Seketika suasana hening beberapa saat, lalu Ardhian berpendapat “Mungkin mommy–mu mengekang karena kamu gak pernah dengerin apa yang mommymu bilang.”, ”Nah kan, pasti disini yang dipojokkan Alena. Kakek bilang Alena ga pernah ikutin kata mommy? Dari SMP Mommy maksa Lena buat suka pelajaran IPA, maksa Lena buat masuk jurusan IPA saat SMA dan sekarang maksa Lena buat jadi dokter!” balas Alena, “Mommy salah Al” lirih Amanda membuat Alena mendelik malas. “Kalo ga salah Alvin dulu pengen jadi fotografer bukan? Sekarang malah menjadi dok…” Ucapan Wilda terpotong Alena “Iya nek, semua itu karena Mommy” sambil berteriak. “Bayangin sama Nenek dan Kakek, bang Alvin yang hampir menggapai cita-citanya tiba-tiba di hancurkan sampai-sampai bang Alvin kabur karena tertekan.” lanjut Alena, Amanda menahan untuk tidak meneteskan air mata. “Telfon Alvin sekarang Amanda, kamu sudah keterlaluan!” sahut Ardhian, “Ga akan dijawab kalo mommy yang telfon, udah ga mau banget dia diganggu mommy biar Lena aja yang telfon!” lalu suara Alvian terdengar, dengan segera Alena menekan tombol speaker.
Alena: “Assalamualaikum bang Alvin?”
Alvin: “Waalaikumsalam Alena, kenapa?”
Alena: “Bang Alvin baik-baik aja kan?”
Alvin: “Loh kenapa dek?”
Ardhian: “Ini Kakek, kapan datang kesini? Ada yang harus kita selesaikan!”
Sambungan terputus membuat Alena menatap Ardhian. Namun beberapa menit kemudian lelaki berpostur tinggi menghadap ke arah mereka dengan wajah datar. Tak disangka lelaki itu adalah Alvin. Dengan wajah terkejut, semua terdiam hingga bentakan yang keluar dari mulut Ardhian membuat Amanda berbicara, “Mommy minta maaf sama kalian, mulai sekarang mommy akan membebaskan profesi kalian, mommy ga akan memaksa kalian lagi untuk jadi dokter, maafkan mommy udah buat kalian tertekan maafkan mommy!”, isak tangis terdengar membuat Alvin dan Alena sedikit panik. Percakapan tersebut diakhiri dengan pelukan hangat dari kedua anaknya pada Amanda, dan tak lama Alden pun datang untuk menjemput istri dan kedua anaknya. Selain Amanda yang sudah menyadari kesalahannya, Alena dan Alvin pun meminta maaf pada Amanda karena telah melontarkan kata-kata yang tidak seharusnya Amanda dengar. Setelah itu, mereka mulai untuk saling menghargai satu sama lain.