KERINDUAN YANG TAK TERSAMPAIKAN
“Tiin…tiiin…tiiiin”
Bunyi klakson mobil setiap pagi di depan rumahku sebagai tanda bahwa ayah sudah siap mengantarkanku ke sekolah. “Indah, ayo berangkat!” Suara ayah memanggilku. Aku yang sedang memakai sepatu bergegas untuk segera masuk ke dalam mobil dan ibu menyusul untuk mengantarkan makanan bekalku yang tertinggal di meja makan. Itu sebuah pemandangan pagi yang betahun-tahun kami lakukan bagaikan sebuah ritual yang tak pernah terlewatkan. Kami selalu berangkat bersama, selain untuk menghemat biaya transportasi itu juga kami lakukan karena tempat kerja ayah dan sekolahku satu arah. Selama dalam perjalanan kami selalu bersenda gurau, ayahku sangat humoris, tak pernah habis kata humor yang dia lontarkan untuk membutku tertawa, bagi ayah senyum dan tawaku merupakan penyemangatnya untuk bekerja.
Hingga pada suatu ketika duniaku terserang wabah virus yang begitu menakutkan. Pemberitaan tentang virus tersebut menjadi makanan kami sehari-hari, Covid-19 julukan yang diberikan untuk virus tersebut. Penyebarannya begitu sangat cepat bagaikan sebuah angin yang berhembus kencang ke berbagai belahan dunia. Warga Indonesia yang terpapar virus ini semakin hari semakin bertambah. Semua rumah sakit yang menjadi rujukan di kota-kota besar penuh, hingga tak dapat lagi menampung korban-korban selanjutnya. Akhirnya pemerintah mengambil tindakan untuk menyulap Wisma Atlet sebagai rumah sakit rujukan Covid-19 dengan berbagai upaya diantaranya memenuhi sarana dan prasana kesehatan sesuai standar rumah sakit dan pemenuhan tenaga kesehatan termasuk tenaga dokter.
Hingga pada suatu hari sepulang ayah bekerja, ayah meminta aku dan ibu berkumpul di ruang keluarga. “kalian pasti sudah mendengarkan bahwa warga yang terpapar di negara kita semakin hari semakin bertambah, sebagai seorang dokter rasanya ayah tidak bisa berdiam diri dan egois mementingkan diri sendiri, ayah telah disumpah untuk menjadi seorang dokter dan sumpah itu bagaikan sebuah janji yang harus ayah laksanakan seumur hidup ayah.” Aku belum bisa mencerna apa yang ayah katakan dan tak bisa menebak arah pembicaraan ayah, hanya pembicaraan ini sepertinya begitu serius dan tak ada sepatah kata humor pun yang ayah lontarkan saat itu. “Lalu apa yang akan ayah lakukan?” tanyaku. “Ayah akan mengabdikan diri sebagai relawan di Wisma Atlet, apa kalian tidak keberatan?”
Sebuah jawaban yang sulit untuk mengatakan “Iya” atau “Tidak”, jika aku jawab “Ya” aku akan jauh dari ayah walau hanya sampai virus ini menghilang, jika aku jawab “Tidak” rasanya aku seorang yang egois yang mementingkan perasaan sendiri tanpa memikirkan orang-orang yang sedang berjuang melawan kematiannya. Dengan segala konsekuensinya aku dan ibu akhirnya merelakan ayah untuk berjuang sebagai pahlawan garda terdepan di Wisma Atlet, aku hanya berpesan pada ayah untuk menghubungiku diwaktu luangnya. Enam bulan berlalu, rasa rinduku kepada ayah semakin tak terbendung, aku rindu peluk hangatnya, aku rindu canda tawanya, aku rindu kejahilannya, semua tentang ayah aku rindu. Kami hanya bisa melepas rindu dengan Video Call tapi itu tak bisa mengobati rasa rindu yang terus meronta-ronta dijiwaku.
Hingga pada suatu hari aku mendapatkan kabar baik bahwa ayah akan berusaha ijin pulang dua minggu kedepan, dan ayah meminta aku untuk bersabar. “Ehmmm dua minggu lagi aku akan bertemu ayah, rasanya tak sabar memberikan kejutan besar buat ayah” Gumamku.
“Nuuuuuuttttt…..nuuuttttt”
Suara ponselku berbunyi, ternyata itu video call dari ayah, dengan semangat aku pencet tombol hijau di ponselku, saat video kami terhubung alangkah terkejutnya aku melihat ayah sedang terbaring lemas dengan peralatan pernapasan di hidungnya. “Ayah… Ayah kenapa?” Sambil tak kuasa ku teteskan air mata dan dengan spontan aku memanggil ibu. “Ibu..Ibu…Ibu dimana?” teriakku, “Kenapa Indah, kok kamu teriak-teriak” jawab ibu, “ayah bu ayah… ayah terbaring sakit bu”
Lalu aku dan ibu sama-sama melanjutkan video call tersebut, ku lihat wajah ibu begitu sangat cemas melihat keadaan ayah. Pembicaraan yang singkat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk ayah berbicara lama. Ayah hanya berpesan untuk kami selalu menjaga protokoler kesehatan, jangan melepaskan masker di dalam keramaian, sering-sering mencuci tangan, jika tidak ada kepentingan yang darurat tetaplah selalu di rumah, hindari kerumunan dan ayah juga berpesan padaku untuk aku selalu belajar, tidak meninggalkan sholat serta menjaga ibuku dengan baik.
Setelah siang tadi aku melihat kondisi ayah melalui layar ponsel membuat hidupku tak karuan. Malam itu begitu terasa panjang untukku, mataku seolah enggan untuk menutup dan pikiranku melayang-layang hanya wajah ayah yang terbayang, mondar-mandir aku keluar kamar, ada perasaan yang begitu menggangguku, rasa tak nyaman, rasa cemas dan takut yang teramat sangat.
Pagi hari yang aku tunggu pun tiba, matahari begitu cerah saat ku buka jendela kamar. Dari kamarku terdengar suara ponsel ibu terus berbunyi, lalu aku keluar kamar dan menemukan ponselnya tergeletak di meja makan. “Ibu ini ada telepon, dari tadi ponsel ibu berbunyi terus” Teriakku sambil tak tahu posisi ibu di mana, “Telepon dari siapa?” Tanya ibu keluar dari kamar mandi. “Entah lah bu tidak ada namanya”, melihat deretan panggilan tak terjawab di ponsel dengan nomor yang sama akhirnya membuat ibu penasaran untuk telepon balik ke nomor tersebut.
“Hallo… selamat pagi, maaf tadi saya tidak sempat mengangkat penggilan telepon anda, kalo boleh tau ini dengan siapa?” Tanya ibu.
“Saya Iman bu, saya rekan tenaga medis di Wisma Atlet tempat suami ibu bekerja”
“Pak Iman bagaimana kondisi suami saya? Kenapa Pak Iman yang telepon dan bukan suami saya?” Deretan pertanyaan ibu meggambarkan kecamasan yang luar biasa.
“Saya ingin menyampaikan belasungkawa atas kepergian suami ibu, semoga ibu dan keluarga bersabar menghadapi cobaan ini”
Bagaikan petir yang menyambar, berita itu sontak membuat aku dan ibu teramat sangat berduka, tidak pernah terbayangkan sedikitpun olehku bahwa ayah akan meninggalkanku begitu cepat. Ucapan belasungkawa pun mulai berdatangan, beberapa tetangga sudah tampak sibuk memasang tenda dan kursi di depan halaman rumah. Aku yang mengurung diri di kamar sejak pagi, tak sanggup rasanya menerima kenyataan ini, hanya tangis yang bisa sedikit melegakan hatiku, sampai tak terasa mataku membengkak.
Sebagai korban terpapar Covid-19, prosesi pemakaman ayahku dilaksanakan sesuai protokoler yang ditetapkan pemerintah. Menyedihkan rasanya tidak bisa melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya dan tidak bisa mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Hanya doa yang bisa aku panjatkan semoga ayah mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya, semoga pengorbanan ayah tidak dipandang sebelah mata terutama oleh mereka yang selalu melanggar protokoler kesehatan dan meremehkan keberadaan Covid-19. Aku mulai belajar mengikhlaskan kepergian ayah dan rasa rindu yang tak tersampaikan. Ini akan kusimpan dalam hati sampai suatu saat aku dan ayah bertemu di alam Mahsyar.