Pupusnya Harapan
Matahari belum muncul sepenuhnya pagi itu. Cahayanya pun masih hangat, belum sepanas biasanya. Pagi itu kicauan burung menyambut seorang anak laki-laki yang terlihat sedang memakai sepatu berwarna hitam yang sudah lusuh.
“Ibu, Adit pergi dulu ya? Mau nyari barang bekas buat dijual ke Pak Haji nanti sore. Ibu sarapan duluan aja sama Adek,” teriak Adit. Anak yang baru saja menginjak usia 15 tahun itu terlihat sudah siap untuk pergi dengan sebuah karung di pundaknya. Tak lupa tongkat pengait yang biasa ia gunakan untuk mengambil barang ada di tangannya.
“Apa gak sebaiknya kamu perginya nanti siangan aja, Nak? Lagi pula ini masih jam 6, masih sepi juga di luar, mending kamu sarapan dulu yuk!” bujuk sang Ibu, sembari menghampiri anaknya yang sudah siap pergi.
“Justru itu, Bu. Mumpung masih pagi dan sepi makanya aku berangkat sekarang. Kalo aku berangkatnya siang, nanti udah pada diambil orang duluan, aku denger juga lapangan depan abis dipake acara hajatan, aku mau ke sana dulu sebelum pergi ke komplek depan.”
“Udah Ibu mending sana sarapan terus susuin Adek, tuh liat dia udah lapar,” ucap Adit sebelum Ibunya mengomel lebih panjang. Adit menunjuk sang adik yang berada di gendongan Ibunya yang tampak sudah lapar itu.
“Yaudah, tapi nanti siang kamu pulang dulu ya? makan siang di rumah,” bujuk Ibunya, tahu dia tidak akan bisa menang melawan sifat keras kepala anaknya itu.
Setelah bayangan sang anak tak terlihat dari jangkauan matanya, sang ibu kembali masuk ke dalam.
Sementara itu, Adit berjalan sambil memegangi perutnya, tongkat pengait yang semula dipegangnya sudah dia masukan ke dalam karung yang dia letakkan di pundak.
Menahan lapar di pagi hari seperti ini sudah menjadi kebiasaan bagi Adit. Saat di rumah tidak ada makanan atau hanya cukup untuk satu orang, Adit harus rela mengalah dan melewatkan sarapan seperti sekarang.
Keadaan mereka saat ini tentunya bukan keinginan Adit. Bukan inginnya sang ayah harus meregang nyawa karena insiden tabrak lari, bukan harapannya juga sang Ibu memiliki penyakit asma yang membuatnya tidak bisa bekerja.
Tak pernah ada dibayangannya sebelumnya dia harus menjadi seorang tulang punggung keluarga saat usianya baru menginjak 15 tahun. Saat anak seusianya hanya memikirkan tentang sekolah dan bermain, dia harus memikirkan bagaimana caranya supaya hutang ayahnya bisa terlunasi dan makan keluarganya sehari-hari.
—–
Setelah selesai mengumpulkan barang bekas di lapangan, Adit beranjak pergi menuju komplek yang terletak di pusat Kota Subang. Adit rutin pergi ke komplek itu setiap minggunya untuk mengumpulkan barang bekas yang biasa dia jual ke Pengepul.
“Weh tumben kau baru datang Dit, biasanya jam 7 juga udah datang.”
“Eh Nak Adit udah dateng, sini mampir dulu, ada sedikit makanan buat ngeganjel perut nih.”
“Siang amat Dek datangnya, biasanya juga jam 7 udah dateng.”
“Dek sini! Ini ada barang bekas nih lumayan, tadi Abang abis beres-beres kamar nemu ini.”
Sapaan seperti itu rutin Adit dapatkan saat datang ke komplek yang dia datangi tiap hampir tiap pagi.
Hampir semua penghuni komplek ini mengenal Adit, dari anak-anak sampai orang dewasa. Sikapnya yang selalu ramah dan sopan, candaannya yang selalu berhasil membuat orang-orang tertawa dan juga pengetahuannya yang luas untuk ukuran anak seusianya selalu membuat orang dewasa terkagum kagum, dengan semua itu, dia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengakrabkan diri dengan para penghuni komplek.
Tak jarang juga para penghuni komplek dengan baik hati memberinya makanan. Bahkan beberapa orang sering kali memberikan uang jajan untuknya. Walaupun sudah menolak karena merasa tak enak, nyatanya Adit tetap dipaksa menerima uang itu.
Kepalang butuh juga, Adit pun menerimanya dengan berat hati. Bukan karena Adit ingin dikasihani, tapi dia pun menerimanya terpaksa karena harus bertahan hidup dari hari ke hari.
—–
Matahari sudah berada tepat di atas kepala saat Adit pulang ke rumahnya. Berkat makanan yang diberikan Bu Siti, salah satu penghuni komplek yang dia datangi tadi pagi, Adit bisa makan siang bersama dengan ibu dan adiknya. Setelah melaksanakan sholat dzuhur Adit beranjak pergi lagi. Hendak mengumpulkan barang bekas kembali karena karung yang tadi dia gunakan sudah penuh. Adit membawa karung yang masih kosong sebagai tempat untuk barang bekas yang akan dikumpulkannya nanti.
Tempat yang akan dia datangi kali ini adalah trotoar dan alun-alun kota. Jika bukan karena virus Covid – 19 harusnya tujuan Adit saat ini adalah Pasar di Pusat Kota Subang. Akan tetapi demi menghindari kerumunan, Adit memutuskan untuk pergi ke tempat yang lumayan sepi. Berbeda dengan pasar, Alun-Alun Kota dan trotoar akan lebih sepi dan jarang ada kerumunan.
Saat akan berpindah tempat dari trotoar menuju Alun–Alun Kota, Adit melewati sebuah bangunan sekolah yang kosong. Dia berhenti sejenak, menatap bangunan itu. Bangunan itu adalah tempat bersekolahnya dulu, sebelum covid – 19 masuk ke Indonesia dan membuat seluruh pembelajaran tatap muka dihentikan.
Setelah pembelajaran dilakukan secara online, Adit tidak bisa bersekolah lagi. Kemungkinan besar, sekarang dia sudah dikeluarkan oleh pihak sekolah karena belum pernah ikut belajar online seperti teman-temannya yang lain.
Di Rumahnya tidak ada handphone atau internet yang bisa digunakan. Tetangganya yang rata-rata berprofesi sebagai pemulung pun juga tidak ada yang bisa dipinjami. Membuat Adit harus menelan kenyataan pahit tidak bisa bersekolah serta mengubur cita-citanya yang ingin menjadi seorang Masinis dalam-dalam.
Sadar dirinya hanya membuang buang waktu, Adit lekas melanjutkan kembali perjalanannya menuju Alun–Alun Kota.
—–
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Adit sekarang sedang menuju rumahnya untuk mengambil karung yang berisi barang bekas yang sudah dia isi tadi pagi. Adit berniat akan membawa dua karung penuh barang bekas itu dengan menggunakan gerobak yang dia pinjam dari tetangga, lalu menjual hasil mulungnya ke Pak Haji yang merupakan Pengepul terdekat di daerah rumahnya.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk Adit sampai di tempat dia biasa menjual hasil mulungnya.
“Dapet berapa Dit hari ini?” tanya seorang laki-laki yang terlihat sudah agak berumur. Itu adalah Pak Haji, Pengepul terdekat dengan rumahnya.
“Lumayan Pak, dapet 2 karung,” jawab Adit sambil menurunkan karung yang ada di gerobaknya untuk ditimbang terlebih dahulu.
“Gibran mana Pak? tumben gak keliatan,” tanya Adit saat menyadari anak Pak Haji yang biasanya terlihat bermain di sana kini tak terlihat.
“Lagi ngerjain tugas sekolah dia.”
“Eh iya, tumben kamu Dit datengnya sore, hari senin kan biasanya kamu datang malem. Gak sekolah online emangnya?” tanya Pak Haji.
“Enggak Pak. Saya gak punya hp sama internet,” jawab Adit sedih.
Adit lalu melanjutkan, “saya buat makan sehari-hari aja susah Pak. Gimana bisa beli hp sama internet buat belajar online. Hutang Bapak juga masih banyak,” jelas Adit dengan hati yang berat.
Kendati merasa iba, Pak Haji tidak bisa melakukan apa-apa. Karena sejujurnya, ekonomi keluarganya saat ini juga sedang tidak baik. Covid – 19 menyebabkan pemasukanny berkurang, belum lagi kebutuhan yang tetap harus dipenuhi. Mulai dari membeli alat kebersihan, masker serta kebutuhan belajar online ketiga anaknya.
Para Pemulung pun mulai berkurang karena banyak dari mereka positif covid – 19. Pak Haji juga harus melakukan penyemprotan disenfektan setiap harinya untuk mencegah penyebaran virus, hal itu tentunya juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
“Pak Haji! Ini karung punya si Adit udah selesai ditimbang,” teriak salah seorang anak buah Pak Haji.
“Ini Nak,” sodor Pak Haji memberikan beberapa lembar uang yang langsung diterima Adit dengan penuh rasa syukur.
Setelah mendapat bayaran dan berpamitan pada Pak Haji, Adit beranjak pulang. Dia mengembalikan gerobak kemudian pergi ke warung nasi dan toko kelontong. Membeli satu liter beras serta kecap dan kerupuk untuk makan malam dia dan ibunya.
Adit pun pulang dengan satu kresek bahan makanan untuk makan malam dan sarapan besok pagi. Sembari menyabarkan hati, bahwa harapannya untuk kembali bersekolah sudah tak ada. Covid-19 telah membuatnya kehilangan masa depan serta cita-citanya.