Ramadhan Yang Sama, Suasana Yang Berbeda
Oleh M. Fitra Fadhillah Alathas
SMPN 1 CIPEUNDEUY
“Sahur! Sahur!”
Sekumpulan remaja itu sibuk bersenandung, melenggang lewat rumah Reza dengan penuh semangat. Lengkap dengan bedug dan tongkat pemukulnya, mereka mengitari seluruh penjuru kompleks perumahan.
Reza menyaksikan dengan takjub. Jika ia sudah cukup besar, ia akan ikut dengan iring-iringan remaja masjid itu, membangunkan para tetangga dengan berbagai shalawat dan yel-yel ciptaannya. Namun, umurnya baru menginjak angka sembilan di tahun ini, dan Uminya tidak mau putra bungsunya itu bergaul dengan anak-anak yang jauh lebih tua.
Reza beranjak dari tempat tidur miliknya, lalu berlari keluar kamar menuju ruang makan. Ia duduk di kursi dengan bantal duduk tambahan. Posisinya berada di sebelah kiri meja makan. Dari belakang, kakaknya, Syifa, berjalan gontai menuju meja makan sembari terus menguap. Mereka berdua beradu pandang sebentar, lalu kakaknya berujar, “Perasaan kamu kayak nggak ada ngantuk-ngantuknya, deh! Semangat bener, ya?”
Adiknya itu terkekeh, lalu tersenyum jahil. “Iya, dong … harus! Memangnya Kakak, dari tadi nguap terus?”
Kakaknya mencibir, lalu kembali menguap. Tiba-tiba Umi datang dari arah dapur, membawa semangkuk besar gulai sayur di tangannya. Umi menaruh mangkuk itu di samping tumpukan lontong yang menggunung. Inilah makanan pokok sahur pertama mereka.
“Sudah pada minum belum?” Umi mengingatkan.
Saking terlalu semangatnya untuk sahur pertama, Reza sampai lupa minum air terlebih dahulu untuk menghapus rasa kering di tenggorokannya. Ia berjalan meraih sebuah gelas bergambar kartun Transformer miliknya. Ia lalu menaruhnya di dispenser sementara air meluncur memenuhi ruang gelas.. Setelahnya, Reza meminum satu gelas itu dalam dua teguk.
“Wow, bener-bener semangat empat lima ini!” Celetuk Abi sambil tertawa melihat perilaku putranya.
Reza kembali terkekeh, lalu berjalan lagi ke meja makan dan duduk di tempatnya tadi. Ia mengambil piring lalu mengambil satu centong penuh potongan lontong. Sekarang tangannya beralih ke gulai sayur buatan Umi, lalu mengambil beberapa centong, memilah daging dan sayurnya.
Umi yang melihat kelakuan Reza langsung menegur. “Eits, sama sayurnya, ayo! Kalau cuma dagingnya saja, nggak akan bisa memenuhi kebutuhan tubuh kamu dong? Apalagi sekarang puasa.”
Reza sontak cemberut, lalu dengan berat hati menyendok satu centong penuh sayur ke dalam piringnya. Umi memperhatikan itu dan senyum puas. Beberapa saat kemudian hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, namun terkadang diselingi obrolan kecil seputar kegiatan keluarga mereka. Abi yang sibuk bekerja dari rumah dan mengeluh tentang sinyal yang akhir-akhir ini buruk, Syifa yang sedang fokus mengikuti lomba mengarang puisi secara online, dan lainnya.
Beberapa menit kemudian setelah semuanya selesai makan dan minum, terdengar azan berkumandang. Reza dan Abi pergi ke masjid lengkap dengan masker dan sajadah masing-masing. Mereka berdua melangkah keluar dari rumah, diikuti tetangga lainnya yang saling menyapa saat berpapasan.
Seusai salat subuh di masjid, Reza dan Abi langsung pulang tanpa bersalaman terlebih dahulu dengan jemaat lain. Bagaimana pun, mereka harus tetap meminimalisir kemungkinan tertular virus penyebab pandemi ini, namun juga tetap harus menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Beberapa jemaat lain yang tak memakai masker sibuk mengobrol setelah salat, sama sekali tak memikirkan yang namanya corona. Bahkan Pak RT –yang beberapa waktu lalu membuat rapat untuk menerangkan apa itu corona dan dampaknya bagi seseorang jika tertular– ikut-ikutan mengobrol dengan warga tanpa memakai masker dan menjaga jarak.
Setibanya di rumah, mereka langsung meraih satu botol kecil hand sanitizer, lalu meneteskan beberapa ke tangan dan menggosoknya. Setelahnya baru mereka bersalaman dengan Umi dan Syifa yang telah selesai melaksanakan salat subuh. Mereka berkumpul di ruang salat rumah mereka, lalu mengambil al-qur’an masing-masing. Satu per satu ayat suci mengalun dari mulut mereka. Mengaji bersama adalah kebiasaan keluarga itu bahkan sebelum memasuki bulan Ramadhan ini.
Setengah jam kemudian mereka selesai dan bersiap melakukan aktivitas masing-masing. Abi langsung bergegas ke lantai atas dimana ruang kerjanya berada untuk mempersiapkan online meeting mingguan. Umi langsung berbelanja ke tukang sayur langganannya. Terakhir, Syifa dan Reza yang mulai sibuk membantu Umi menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga. Setelah selesai, Syifa langsung memasuki kamarnya dan berimajinasi untuk mengarang puisi kembali.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.59. Tak terasa waktu terlewat begitu cepat. Di hari biasanya, Reza akan main keluar rumah bersama teman-temannya. Namun, sekarang Umi membatasi waktu main Reza. Umi tidak mau putranya itu kelelahan dan akhirnya batal puasa karena minum sebab kehausan. Seperti kejadian puasa tahun kemarin. Reza tepergok minum air dingin yang ada di kulkas saat ia kira tak ada satu pun orang di rumah, padahal Kak Syifa memperhatikan dari balik pintu kamarnya.
Setelah dipikir-pikir, Reza memutuskan untuk main di rumah saja. Ia beranjak memasuki kamar dan meraih satu robot mainan, lalu mengambil satu lagi yang lain. Di sela-sela pertarungan dua robot itu, Reza sudah memikirkan apa yang akan ia lakukan di Yogyakarta bila pulang lebaran nanti. Ia akan bertemu sepupunya, Rian, lalu mereka bisa bermain sepuasnya selama berhari-hari sampai datang hari kepulangan.
Yang Reza paling sukai dari bulan Ramadhan adalah lebaran. Karena saat lebaran, ia bisa bertemu dengan keluarga jauh walau hanya beberapa hari. Istilahnya mudik. Pulang ke kampong halaman. Yah, walau sebenarnya Yogyakarta adalah kampung halaman Umi. Tapi, ia sungguh tak sabar menantikan hari lebaran.
20 hari kemudian ….
Tak terasa Reza dan keluarganya sudah hampir selesai menghadapi bulan ramadhan. Reza semakin girang, karena hari yang di tunggu-tunggu kini semakin dekat. Jika sebelumnya ia sudah semangat, sekarang semangat itu kembali bertambah. Ia lebih rajin merapikan dan membersihkan kamarnya sendiri, bahkan seluruh rumah. Matanya selalu berbinar setiap menjalani semua kegiatan yang dilakukannya.
Sampai hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Keluarga Reza siap dengan pakaian serba kremnya, berjalan menuju masjid untuk melaksanakan salat ied. Umi dan Syifa melangkah memasuki kumpulan para jemaat perempuan, sedangkan Abi dan Reza pergi ke depan, tempat di mana jemaat laki-laki berada. Semuanya dilaksanakan dengan protokol kesehatan, dengan menjaga jarak dan memakai masker. Walau beberapa tetap saja ada yang membandel dengan hanya menjaga jarak tanpa memakai masker.
Tepat ketika jam menunjukkan pukul tujuh, semua jemaat serempak berdiri, lalu melaksanakan salat ied dipimpin sang imam. Seusainya, beberapa jemaat ada yang langsung pulang, dan ada pula yang sejenak mengobrol dengan jemaat lain. Keluarga Reza termasuk yang pertama, mereka langsung pulang namun menyapa beberapa jemaat lain terlebih dahulu.
Tiba di rumah mereka langsung mencuci tangan dan mengganti baju, lalu meraih piring masing-masing. Sedari tadi, Reza terus mengembangkan senyumnya, ia berpikir setelah sarapan sekarang, mereka akan bersiap mengemasi barang-barang dan pergi mudik ke Yogyakarta.
“Mobilnya nggak di keluarin, Bi?” Tanya Reza, senyum gembira masih terlukis di wajahnya.
“Hm? Buat apa?” Abinya terlihat bingung sembari tetap menyuapkan satu per satu potongan kupat ke dalam mulutnya.
“Lho? Kita kan mau ke Yogya, ya kan?”
Abi, Umi, dan Syifa langsung bertukar pandang. Mereka lupa memberi tahu Reza. Rupanya Reza tak mengerti situasi sekarang.
“Reza … kita nggak akan mudik tahun ini. Sekarang kan masih pandemi, kita tidak diperbolehkan mudik sama pemerintah. Maaf ya, Abi sama Umi nggak ngasih tahu sebelumnya.” Ucap Abi berharap Reza mengerti.
Senyum di wajah Reza seketika luput. Bibirnya menekuk ke bawah, matanya tak lagi berbinar. Tangannya mulai berhenti mengambil potongan kupat ke mulut.
Menyadari perubahan drastis putranya itu, Abi langsung berkata, “Tapi kita masih bisa kok ketemu Rian dan keluarga lain di Yogya.”
Kening Reza mengerut. Abi tersenyum lalu mengambil ponsel yang ada di sakunya. Abi kemudian menaruh ponsel itu di atas sebuah toples kue. Kini di layar ponsel tampak semua wajah anggota keluarganya. Tiba-tiba wajah mereka tergantikan oleh orang-orang yang mereka rindukan. Kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu Reza, Rian.
“Assalamu ‘alaikum, halo. Gimana kabarnya? Mohon maaf lahir batin ya.” Ucap Om Ari, ayah Rian.
“Walaikumsalam, alhamdulillah. Mohon maaf lahir batin juga buat semua yang di sana. Maaf ya nggak bisa mudik tahun ini.” Jawab Umi Reza, ia lalu melirik putranya yang menatap layar ponsel penasaran. “Oh, iya, Rian mana Rian? Ada yang kangen nih kayaknya.”
Seorang anak laki-laki sebaya Reza kemudian muncul di layar ponsel, ia lalu melambaikan tangan.
“Masa sih? Hai! Reza! Ngomong dong.”
Senyum kembali merekah di wajah Reza. Ia tak ingat bahwa sekarang dunia sudah canggih. Walau pun tak bertemu langsung dengan saudara-saudaranya itu, setidaknya ia tetap bisa melepas rasa rindunya. Ya, Ramadhan dan lebaran kali ini memang terasa berbeda.
“Oy! Apa?” Balas Reza yang akhirnya kembali ceria.
Sontak rumah Reza dipenuhi canda dan tawa, kebahagiaan mengalir di antara mereka. Reza sudah melupakan sama sekali kesedihannya. Senyum tulus itu kembali terulas di bibirnya lengkap dengan mata berbinarnya.
*** TAMAT ***