KEHANGATAN DUNIA LITERASI
Oleh M. Fitra Fadhillah Alathas
SMPN 1 Cipeundeuy, Subang
Tiara melangkah di tengah hujan gerimis sore itu. Belum ada angkot yang ia lihat sedari tadi. Ia mempercepat langkahnya ketika dirasakan hujan itu semakin deras di atas naungan payung merah mudanya. Matanya melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 14.57.
Tak terasa ternyata ia habiskan waktu hampir satu jam di Gramedia. Sebenarnya itu rekor baru baginya. Satu jam adalah waktu paling singkat yang ia habiskan di toko buku itu. Jika tak sedang buru-buru karena hujan ini, ia bisa dua sampai tiga jam menghabiskan waktu mengelilingi setiap rak buku di sana.
Satu klakson terdengar di belakang, lalu disusul sebuah mobil hijau yang merapatkan badannya ke tempat Tiara berada. Akhirnya Tiara masuk ke dalam, melipat payungnya, lalu duduk di pojok kursi penumpang. Angkot itu terbilang sepi, hanya ia dan seorang wanita paruh baya yang ada di dalamnya.
“Habis dari mana Neng, sore-sore gini?” Tanya si ibu.
“Eh, tadi habis dari toko buku, Bu.” Jawab Tiara jujur.
“Oh… masih ada ya zaman sekarang yang suka baca,” lawan bicaranya masih melanjutkan, “jarang-jarang loh remaja sekarang suka baca kayak Neng. Anak saya juga gitu, gak ada minat sama sekali sama yang namanya baca.”
Tiara hanya tersenyum. Ia tak mau berlama-lama terjebak dalam obrolan itu, karena sebentar lagi ia harus turun. Tiara menyiapkan payungnya lagi, lalu berkata, “Kiri, kiri. Bu, saya duluan ya.”
Ibu itu melemparkan senyum hangat kepadanya. “Mangga[1], Neng.”
Tiara mengembangkan payung kemudian melangkah memasuki gerbang rumahnya. Tangannya gesit memutar daun pintu.
“Assalamualaikum.” Ia mengambil botol hand sanitizer di atas bufet lalu menggosoknya ke tangan.
Samar-samar terdengar jawaban dari arah dapur. Tiara menghampiri suara itu, ia lihat Mamanya sedang asyik mengobrol dengan Mbok Warni, asisten rumah tangga yang sibuk mencuci piring. Tiara menghampiri, lalu mengulurkan tangan meminta salam.
“Lapar nggak? Tadi Mbok Warni sudah bikin sayur lodeh, tempe kecap, sama tahu bumbu kari.” Mama menerima uluran tangan Tiara lalu menyentuhkannya ke dahi putrinya itu.
“Mmm, nanti saja deh. Masih kenyang tadi habis makan roti di Bread Talk. Mama mau? Tiara beli empat bungkus tadi, yang beef.” Ia meraih ke dalam tas selempangnya, lalu mengeluarkan empat roti yang aromanya segera menggoda hidung. Mama mengambil dua. Memberikan satu pada pembantunya lalu memakan satu bungkus yang lain.
“Aku ke kamar dulu ya, Ma.” Tiara berjalan kembali ke ruang tamu, kemudian menaiki satu persatu tangga menuju kamarnya. Ia langsung mengeluarkan buku-buku yang tadi ia beli dari tasnya.
Ia hanya membeli tiga buku, karena harga dua buku diantaranya cukup mahal. Ia membeli buku ‘Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982’ karya penulis Korea; Cho Nam Joo, sebuah novel tentang diskriminasi gender di negeri ginseng sana. Lalu ada buku ‘Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar’ karya Richard Carlson; sebuah buku pengembangan diri, dan terakhir novel thriller ‘The Girl On The Train’ karya Paula Hawkins. Semua buku itu akhirnya tercoret dari daftar wishlist book milik Tiara. Sebenarnya topik dalam tiga buku itu cukup berat untuk anak berumur 14 tahun, tapi justru itulah yang membuat Tiara tertarik.
Tiara mengambil ponsel genggam yang berada di saku jaketnya, lalu membuka Instagram. Akunnya berisi berbagai review pribadinya atas buku yang telah ia baca. Tak banyak yang tahu istilah Bookstagram. Sebuah kegiatan dimana para pecinta buku memamerkan buku-buku yang mereka baca, memberikan ulasan bagi buku yang telah dibacanya itu, atau bahkan mengikuti challenge dari akun sesama Bookstragrammer—sebutan untuk orang yang melakukan kegiatan Bookstagram. Tiara membeli buku ‘Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982’ karena ingin mengikuti challenge ‘baca bareng’ yang diadakan oleh salah satu teman Bookstagram-nya. Program baca bareng adalah program dimana satu orang mengusulkan membaca suatu buku, lalu mengajak yang lain untuk membaca buku tersebut agar bisa didiskusikan bersama.
Tiba-tiba ia teringat masa sekolah normal sebelum pandemi seperti sekarang. Ia sangat merindukan dimana ia dan teman-teman pecinta bukunya berjalan-jalan di perpustakaan sekolah, lalu mengambil tiga buku sekaligus untuk dipinjam dalam waktu satu minggu. Perpustakaan adalah tempat di mana ia tak perlu mengeluarkan kocek untuk membaca buku. Dulu ia tak sesering sekarang membeli buku ke Gramedia, paling sering hanya dua atau tiga minggu sekali. Namun, sejak pandemi dan sekolah mulai daring, ia bisa satu minggu sekali pergi ke toko buku karena tak bisa lagi meminjam buku.
Di sisi lain terkadang ia sebal dengan pertanyaan yang dilontarkan temannya ketika ia sedang asyik membaca buku di kelas. “Apa sih serunya baca buku? Cuma liatin tulisan gitu.” Atau “Kok bacaannya cerita fiksi semua? Kan percuma. Kalau baca buku pelajaran baru dapet ilmu.” Dulu, Tiara belum terlalu suka buku non-fiksi seperti buku pengembangan diri yang ia punya sekarang. Dulu, ia hanya tertarik pada novel, dan buku-buku fiksi sejenisnya.
Apakah mereka tak tahu serunya membaca dan mengimajinasikan setiap kata dalam suatu buku? Apakah mereka tak tahu, semua cerita fiksi memiliki hikmah dan ilmu di baliknya? Tiara terkadang berpikir; tak ayal jika posisi negaranya termasuk paling rendah dalam hal minat baca, karena memang dasarnya sebagian besar pemuda Indonesia tak memiliki minat terhadap hal tersebut. Tiara terkadang miris dengan pola pikir teman-temannya. Namun, mereka punya hak masing-masing dan Tiara tidak berhak memaksa agar mereka mau membaca. Tak ada yang berjalan mulus jika itu berasal dari paksaan.
Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketukan di pintu. Tiara menghampiri pintu kamar lalu membukanya. Mama telah berdiri di depan sembari tersenyum simpul. “Mama mau ngomong sebentar.” Mama memasuki kamar Tiara, lalu duduk di ranjang anaknya.
“Ada apa, Ma?” tanya Tiara.
“Jadi gini, kamu tahu kan Panti Asuhan Kasih Ibu di ujung jalan kompleks kita? Yang waktu itu kita pernah bikin pentas seni untuk penggalangan dana bagi mereka.”
“Iya, Ma, tahu.” Tiara ingat betul saat itu. Senyum semua anak yatim piatu dan penonton lain di sana merekah begitu cerah ketika mereka melihat penampilan Tiara dan teman-temannya di atas panggung.
“Mama dapat kabar dari tetangga kalau panti mereka kebakaran. Katanya ada konsleting listrik.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” Tiara mengelus dadanya. “Anak pantinya nggak apa-apa kan, Ma?”
“Alhamdulillah nggak ada yang terluka. Maksud Mama ngomong ini semua, kamu mau nggak ikut Mama bantu mereka?” Senyum simpul kembali mengembang di wajah Mama.
“Mau dong, Ma. Tapi kan sekarang lagi pandemi, gak mungkin kan kita bikin pentas seni kayak dulu. Bakal buat kerumunan.”
“Memang, ide Mama bukan itu lagi. Mama kepikiran untuk ngasih mereka baju bekas kamu dan Mama yang sudah kekecilan. Sama … buku-buku kamu waktu kecil. Boleh?” Mama mengatakannya dengan super hati-hati.
Tiara tampak kebingungan, ia sebenarnya enggan melepas buku-buku masa kecilnya, buku-buku itu menjadi kenangan baginya dalam mengawali hobi bacanya. Di sisi lain, terdapat pikiran yang mendukung niat tersebut. Dan niat tersebut lah yang menang. “Hmm, boleh deh, Ma. Bagaimana pun, cita-cita Tiara kan memperluas minat baca di Indonesia.”
Mama tersenyum puas sembari mengelus kepala putrinya. “Cita-cita anak Mama memang hebat!”
Setelahnya mereka mempersiapkan baju dan buku yang akan disumbangkan, kemudian langsung berangkat ke gor olahraga tempat para penghuni panti mengungsi. Sesampainya di sana mereka disambut senyuman bahagia para anak yatim piatu dan pengurus panti. Mereka semua ingat Tiara dan Mama, salah satu yang paling berjasa atas terbangunnya panti tersebut.
Sementara Mama memberi sekotak besar baju bekas miliknya dan putrinya pada tiga wanita paruh baya pengurus panti, Tiara berjalan ke arah kelompok anak-anak yang berada di sudut bangunan besar itu. Ia lalu memberikan dua kardus berukuran cukup besar pada mereka. “Ini buku bacaan buat kalian. Semua buku ini dulu buku masa kecilku, ada juga yang cocok buat kalian yang seumuranku, aku suka banget sama semuanya. Kalian juga pasti suka.”
“Makasih Kak Tiara!” Seru seluruh anak panti. Mereka yang masih kecil berbondong-bondong menghampiri kardus itu, lalu mengambil masing-masing buku. Mereka yang lebih tua berjalan ke arah Tiara, menjabat tangannya, dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Tiara memandang pemandangan itu, terharu. Senyum anak panti begitu meluluhkan hatinya, hatinya begitu hangat. Setetes air mata lolos dari matanya. Ia benar-benar sudah ikhlas memberikan semuanya sekarang.
*** TAMAT ***
[1] Silakan (B. Sunda)
PENULIS :

Mantap Literasinya Dek💪💪