DELIA ADELA_MERAIH MIMPI_SMPN 3 PUSAKANAGARA

DELIA-2.jpg

MERAIH MIMPI

Delia Adela

 

Mia, gadis berusia enam belas tahun itu hanya bisa menghela napas saja. Ya, bagaimana tidak? Di tangannya ada sebuah undangan pertunangan dari teman satu angkatanya bernama Andien.

 

Mia beranjak berdiri, dia ingin menemui temannya. Jarak rumah Mia ke rumah temannya lumayan jauh.

 

Dengan perasaan sakit hati Mia datang. Mereka berdua pernah berjanji untuk sukses bersama, namun apa? Andien menyerah?

 

“Asalamualaikum, Dien? Andien?” Mia terus mengetuk pintu rumah temannya itu ketika sampai.

 

Seseorang berdiri di belakang pintu, membuka kunci pintu dari dalam. Terlihatlah sosok Andien yang membingungkan Mia. Andien tersenyum lalu mengajak Mia masuk terlebih dahulu. Pada saat itu udara malam ini sangat dingin.

 

“Kamu yakin dengan keputusan ini? Sudah dipertimbangkan? Coba deh dipikirkan lagi.” ucap Mia.

 

“Aku udah capek dengan semua ini. Aku udah memikirkannya dengan matang keputusan yang kuambil. Aku pikir ini adalah keputusan yang terbaik. Setidaknya ketika aku berhenti sekolah aku bisa sedikit meringankan beban keluarga,” sahut Andien sambil menahan air mata. “Aku juga ingin bersekolah meraih cita-cita dan membahagiakan kedua orang tua. Aku ingin menjadi dokter. Tapi kamu tahu kan kenyataanya?” lanjut Andien sambil terbata-bata.

 

Kemudian mereka saling berpelukan dan meneteskan air mata.

 

___✧

 

Andien memutuskan mengajak pacarnya untuk menikah hanya karena bosan dengan daring dan lelah dengan semua tugas sekolah. Dia juga tak suka jika belajar jarak jauh dan menggunakan handphone. Padahal sebenarnya Mia juga merasakan kondisi yang sama. Tugas yang selalu diberikan setiap hari rasanya terlalu berat dan munumpuk. Apalagi mereka hanya bermodal aplikasi WhastApp Group dalam proses pembelajarannya. Sementara ketika Bapak dan Ibu guru menjelaskan di depan kelas saja kadang tidak bisa menangkap apa yang disampaikan apalagi ini melalui daring.

 

Mia menghela napas. Dia tak mau melawan lagi, mungkin memang begitu takdir temannya yang harus menikah muda. “Terserahlah! Berarti kamu menyerah kalau begitu,” ucap Mia memelankan kalimat terakhirnya. “Kamu dulu bilang mau ngobatin orang-orang sakit, termasuk Ibu kamu. Semoga kamu tidak menyesal melepaskan semua mimpi yang indah itu.” lanjut Mia lagi.

 

Sejenak Andien diam membisu seribu bahasa. Kemudian ia kembali bersuara, “Mia mending kamu pulang saja.” ucapnya sedih.

 

Mia menatap serius mata Andien. “Aku tanya sekali lagi Andien, apakah kamu yakin? Aku tahu kamu tipe orang yang tidak gampang menyerah seperti ini, aku tahu kamu, coba pikirkan lagi.”

 

Andien berdiri, dan terpaksa mendorong tubuh temannya itu untuk keluar. Dia merasa bersalah jika terus mendengarkan ocehan Mia. Begitupun Mia, dia merasa gagal jika Andien menikah di saat umurnya yang masih muda.

 

Sembari menghela napas Andine berkata, “Hati-hati, jangan ngebut.” Setelah itu Andien masuk dan mengunci pintu. Membiarkan sahabatnya itu pulang dan berlalu.

 

___✧

 

Malam yang sama sekali tidak Mia harapkan pun akhirnya datang, malam di mana temannya akan melangsungkan acara pertunangan. Mia datang ke acara tersebut dengan hati yang kalut, bagaimana tidak teman seperjuanganya yang selama ini berjuang bersama mengambil keputusan yang berbeda. Ia sangat tak percaya melihat teman seperjuangannya akan melepas masa lajang dalam beberapa waktu dekat ini. Mia juga sedikit tak terima, bukan karena masalah apapun. Ini masih menyangkut masa depan temannya itu, karena menjadi seorang istri bukanlah pilihan yang tepat di usianya yang masih muda. Masa depan masih membentang luas, banyak angan dan cita-cita yang perlu diwujudkan.

 

Mia menatap sendu, melihat dua insan yang saling menautkan cincin di jarinya masing-masing.

 

Acara itu selesai ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, Mia memutuskan untuk pulang. Namun, niatnya untuk pulang ke rumah terurungkan oleh sesuatu. Mia teringat bahwa ia memasukkan satu buku ke dalam tasnya ketika akan berangkat tadi. Kemudian ia mampir ke sebuah taman yang hanya ada beberapa orang saja sedang berkumpul.

 

Dengan perlahan Mia membuka lembar demi lembar dalam buku itu yang mengingatkan banyak sekali kenangan. Banyak kata-kata mutiara yang dibuat Mia dan Andien. Ya, buku itu ialah buku keluh kesah mereka berdua. Dimulai dari Andien, seorang gadis berumur enam belas tahun yang ingin menjadi dokter, dengan banyak rintangannya. Kemudian tentang mimpi Mia, yang ingin menjadi seorang chef profesional.

 

Mia memejamkan matanya, menikmati angin di taman itu sendirian dan mengenang masa-masa di saat berjuang bersama temannya, Andien.

 

___✧

 

Mia sedikit berlari, bunyi nyaring dari telepon genggamnya membuat dirinya harus kembali ke dalam kelas.  “Halo, Andien?” sapa Mia setelah mengangkat telepon dari Andien.

 

Di sana Andien menangis tesedu-sedu. Mia sudah tahu, ini pasti Ibunya yang tidak baik-baik saja. “Ibumu kenapa, Andien?” tanya Mia dengan nada khawatir di balik telepon. Andien terus menangis tersedu-sedu.

 

Andien menarik napasnya, lalu bersuara lagi. “Ibuku dibawa kerumah sakit, Mia.” jawab Andien dengan isak tangisnya.

 

Mia tahu, di sana Andien menangis bahkan tersedu-sedu. Dia harus menenangkan temannya itu. “Rumah sakit mana? Aku akan segera kesana, Andien.” tanya Mia.

 

Di balik panggilan, Andien mengangguk dan berkata, “Iya. Di rumah sakit Fatmawati.”

 

Dengan cepat Mia mengambil kunci motornya, lalu meluncur pergi dengan kendaraan roda dua yang Ayahnya belikan. Membelah jalanan yang pada saat itu sepi, meluncur jauh dengan kecepatan yang maksimal.

 

Waktu berlalu, Mia sudah sampai di rumah sakit.

 

Mia langsung berjalan dengan berlari. Bertanya pada bagian administrasi. Mia langsung beranjak lari menuju ruangan yang telah diberitahukan dan bertemulah dengan Andien.

 

Mia menemukan Andien yang tengah menunduk sembari menangis di depan ruang rawat, lalu menarik tangan Andien agar tubuhnya bisa ia peluk dengan hangat. Mia sesekali mengusap-usap punggung Andien dengan lembut.

 

“Kamu yang sabar ya, insyaallah semua baik-baik saja.” ucap Mia menenangkan.

 

Ibunda Andien memang sakit-sakitan sejak dulu, Andien jarang membawa Ibunya ke rumah sakit. Andien beralasan karena tidak ada biaya untuk membayar obatnya. Rumah sakit sebesar ini akan lebih mahal biayanya. Dan inilah yang menjadi salah satu hal sederhana yang membuat Andien ingin menjadi dokter. Dia bertujuan jika suatu hari nanti dirinya menjadi dokter, dia ingin menyembuhkan Ibunya dan orang-orang di sekitarnya.

 

___✧

 

Mia membuka matanya, ketika sudah puas mengingat bagaimana awal mimpi temannya itu terjadi. Mia mengecek jam yang ada di tangannya, ternyata jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 22.00 WIB. Dinginnya malam sudah menusuk ke dalam tubuh kecilnya.

 

___✧

 

Tok… Tok…

 

Mia membuka mata, ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Itu pasti Ibunda. Mia bangkit, membuka kunci kamarnya dan benar saja ada seseorang di balik pintu itu.

 

“Bangun, ada temanmu di bawah,” Mia mengangguk. “Ayo cepat bangun!” lanjut Ibunya.

 

Sebelum menemui orang yang diberitahukan Ibunya itu, Mia mencuci mukanya terlebih dahulu. Setelah itu, berjalan menuruni anak tangga dengan lemas.

 

Mia duduk, lalu menatap orang itu. “Loh, Andien?” sapa Mia dengan wajah penuh keheranan.

 

Andien datang sepagi ini ke rumah Mia pastinya mempunyai tujuan tertentu. Kemudian Andien mengangkat kepalanya, lalu dia bangkit dan ….

 

GREP

 

Andien memeluk tubuh temannya itu. Lalu menangis dengan kencangnya. Mia terkejut tentunya, dia tak berani menanyakan kenapa gerangan ini bisa terjadi? Setelah isakan tangisnya selesai, barulah Mia bersuara, “Kenapa, Dien?”

 

Andien melepas pelukannya, dan duduk di sebelah Mia. “Kata-kata kamu malam itu membuat aku sadar, Mia. Setelah aku bertunangan, aku sempat memikirkan kata-kata kamu itu. Kemudian esok harinya aku memutuskan untuk membatalkan rencana ke jenjang berikutnya yaitu pernikahan. Aku mau mengejar impianku, Mia. Aku mau jadi dokter, mau nyembuhin Ibuku juga.” ucap Andien sambil menangis.

 

Mia cukup terkejut dengan perkataan temannya itu. “Tapi kamu sudah tunangan loh, Andien.” ucap Mia yang masih sedikit tak percaya.

 

Andien mengangguk. “Sebenarnya banyak yang kecewa ketika aku membatalkan pertunangan ini. Tapi aku melihat Ibuku rasanya lebih kecewa kalo aku gak berhasil meraih impianku, Mia.”

 

Mia kemudian mengangguk dan berkata, “Kamu sudah bilang sama Ibu kamu kalau kamu mau jadi dokter?” tanya Mia.

 

Andien mengangguk lagi seraya berkata, “Ibuku setuju seratus persen, dan aku gak mau mengecewakannya.”

 

Mia mengangguk dan tersenyum tipis, lalu mengelus pundak temannya itu. Lega sekali rasanya. Akhirnya semua mimpi temannya itu tak terbuang percuma hanya karena menikah di usia muda.

 

___✧

(Visited 23 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan