Mataku masih terjaga pada malam dingin yang tenggelam dalam sunyi. Aku tergelatak di ranjang rumah sakit ini dengan pikiran yang melayang. Aku tak mempedulikan rambut panjang yang berantakan ini atau wajah lesu yang dulu langganan klinik kecantikan. Selang infus menjalar untuk mengantar air kehidupan ke tanganku dengan ditemani ventilator yang satu jam lalu dicabut dari hidungku oleh petugas yang mengenakan APD lengkap seperti seorang astronot di bulan.
Jiwaku bergetar, terbesit kala pikiran redup perlahan. Akankah aku masih merasakan hari esokku? Akankah Tuhan akan memberi keajaibannya?. Aku terlarut dalam pertanyaan, kucari satu demi satu jawaban, hanya sesaat aku terbangun dalam lamunan dan mendapati diriku yang membeku dalam kesedihan dan ketidakberdayaan. Dengan jawaban yang sama, mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa … berdoa. Tetapi ada dinding yang selalu menghalangi hati, dinding ini tidak lain dari rasa malu diri ini untuk merasa tak pantas meminta pada Yang Kuasa karena merasa akulah pendosa yang selalu menghindariMu. Aku terlena, terbuai akan dunia fana ini, sampai-sampai melupakan tempat abadi yang siap memanggil kapanpun dalam detik yang tak pasti dan tidak ada satupun makhluk yang tahu kecuali Sang Kholik.
Titik pencarian jati diri berawal dari lima hari yang lalu saat berkas rekam medis keluar, hasilnya aku dinyatakan positif Covid-19. Aku kaget dan sekujur tubuh yang bergetar hingga deraian air mata tak dapat tertahan. Kemudian hari-hari kulalui dalam perawatan rumah sakit seakan meminjam waktu dari kematian.
***
“Mel, saat pandemi ini kamu jangan terlalu sering keluar rumah bila tidak ada hal yang mendesak. Terus ibu perhatikan kok kamu keluar gak pake masker sih”. Waktu itu kata-kata ibu dengan segala omelannya tak sedikitpun aku dengar. Pandemi ini tidak menghalangi hobiku untuk nongkrong bersama teman-temanku di sebuah cafe. Tentunya teman-teman yang sefrekwensi dengan pemikiranku yang abai terhadap aturan. Bila ingin melihatku saat itu bisa terlihat dari dengan siapa aku berteman. Saat itu aku kurang pintar memilih teman yang baik.
“Bu, Amel sudah gede, jadi ibu jangan memperlakukan aku kaya anak kecil gitu dong”. Bantahan dan kata-kata menyakitkan sering terlontar untuk ibuku. Dan bodohnya aku saat itu, kesombonganku menutup pikiran jernihku. Terbukti dulu saat aku hendak masuk di sebuah Toserba. “Maaf de, bisa dipakai maskernya.” Tiba-tiba security Toserba menahan aku untuk masuk gara-gara saat itu aku tidak memakai masker. “Bapak jangan kurang ajar sama saya, saya sehat pa dan saya mau belanja. Jadi ijinkan saya masuk,” bentak aku saat itu. Akhirnya perdebatan yang terjadi, alhasil karena egois yang tinggi daripada menuruti perintah security aku meninggalkan toserba itu sambil mencak-mencak.
Kemarin hari-hariku sangat melelahkan oleh hal yang dibuat oleh keburukan perangai diriku sendiri.
“Jaga kesehatan! Ikuti protokol kesehatan dengan menerapkan 3M. Memakai Masker, menjaga jarak aman dan mencuci tangan memakai sabun dengan air yang mengalir.” Tandas peringatan reporter salah satu stasiun televisi swasta ketika aku sedang duduk di depan televisi.
“Corona … Corona … takut amat sih dengan si Corona. Semua orang pada parno. Kenapa akhir-akhir ini orang-orang menjadi pada lebay. Apalagi jika harus tetap di rumah serba online sangat tidak seru ” Bantahku sambil bicara dalam hati penuh emosi.
***
Malam itu jarum jam menunjukkan pukul 00.30 dan mataku tidak bisa terpenjam. Aku menatap langit-langit rumah sakit yang bernuansa putih itu. Diantara redup lampu ruangan ini, pikiranku terus berputar seolah terpatri pada pusaran porosnya. Napasku semakin berat, memang beberapa hari ini aku merasakan sesak yang begitu dalam seperti bernafas di dalam air. Nyeri di dada masih melekat seolah ditumpu benda berat. Hari itu adalah malam pertama aku dirawat di ruangan isolasi pasien COVID-19 sebuah rumah sakit di kota kecilku.
Aku langsung mendapat perawatan begitu hasil tes Polymerase Chain Reaction-nya (PCR) menunjukkan hasil positif COVID-19 pada siang harinya. BRAAKK!
Sesuatu terjatuh mengagetkanku yang sedang asyik menatap layar ponselnya. “Apa itu?” tanya teman sekamar yang tidur di sebelahku terbangun. Aku melonjak dan langsung menyibak tirai di depan kasurku. Rupanya Kegaduhan itu seorang pasien berusia 25-an tahun di deretan kasur seberang terjatuh dari kasurnya. Kita berdua panik, langsung memijit bel darurat untuk panggil perawat. Di ruangan itu ada lima pasien COVID-19 yang dirawat. Dua pasien lain di ruangan yang sama masih tertidur pulas karena pengaruh obat.
Dua orang perawat perempuan baru datang beberapa menit kemudian. Dan pasien itu langsung diangkat mereka untuk dibaringkan kembali diranjang pasien itu. Begitu sang pasien sudah dibaringkan, seorang perawat meminta aku dan rekan sekamarku kembali tidur. Salah satu dari mereka menutup tirai bilik. Sayup-sayup terdengar suara dua perawat itu menangani pasien yang kepayahan tadi. Aku terus membayangkan apa yang sedang terjadi pada pasien itu.
Selang satu jam, kedua perawat keluar dari ruangan. Tak lama kemudian, aku yang belum bisa memejamkan mata, beranjak ke kamar kecil. Toilet kebetulan terletak persis di sebelah kasur perempuan yang terjatuh tadi. Sebelum masuk ke kamar kecil, aku melirik lewat celah kecil di antara tirai ke arah pasien perempuan itu.
Deg. Jantungku berdegup. Aku terkesiap menyaksikan tubuh yang ditutupi selimut dari kepala hingga kaki. Kakiku mendadak lemas setelah sadar pasien tadi sudah mengembuskan napas terakhir. Beberapa jam kemudian, dia mendengar beberapa orang masuk ke kamar. Dari celah tirai tampak petugas mengafani jenazah yang baru meninggal itu. Mereka langsung membawanya keluar.
Sementara satu petugas lagi membersihkan barang-barang pasien. Ia menumpuknya di pojok ruangan yang bersebelahan dengan toilet. Aku tidak menyangka pasien COVID-19 bisa menurun kondisinya secepat itu. Padahal perempuan itu sore harinya masih bisa bercengkrama dengan kami disini. Kejam sekali virus ini dan tidak bisa disepelekan jerit batinku saat itu.
***
Cara Tuhan memberikan hidayah pada makhluknya sangat beraneka-ragam cerita, hal itu terjadi pada diriku. Seorang Amel yang sombong dan selalu menyepelekan virus Corona umpat penyesalanku setiap aku berpikir masa laluku. Aku terus tertikam oleh penyesalan hati, terperangkap oleh pilu yang membuatku cemas. Aku tidak tahu hari esok, aku akan keluar dari rumah sakit ini dalam keadaan hidup atau mati. Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari mesjid yang berada sekitar Rumah Sakit. Suaranya menembus dinding dan masuk menggetarkan hatiku, seolah mencambik lamunan kacauku. Merdu, itu yang kupikirkan. Tanpa sadar aku menarik garis senyum, wajahku yang semula suram kini tenang seiring lantunan ayat-ayatNya.
Jarum jam menunjuk pukul 03.11. Hari ini rupanya Sang Kuasa masih memberiku waktu. kuganti posisi terbaring menjadi duduk. Aku merenung sebentar untuk meyakinkan diri ini tentang kuasaNya. “Kalau aku terus seperti ini. Terus menyesali semua yang telah terjadi, aku hanya akan melewatkan kesempatan waktu yang Tuhan berikan. Walau sedalam apapun penyesalan, itu semua tidak ada artinya. Aku harus memulai hidayah ini, ” tekad di hatiku berbicara.
Sepuluh menit menit terlewat untuk menenangkan pikiran dan menyadarkan diri sendiri. Kulihat lagi jam di dekat pintu masuk, jarum jam sudah mengarahkan pukul 03.21.Segera kutarik mukena yang menggantung dekat tiang infus, berniat untuk sholat tahajud. Aku termenung melihat mukenaku yang sudah jarang kupakai lalu meletakannya di sampingku.
Badanku masih tidak bertenaga. Bahkan untuk bergerak sedikit masih terasa lemas, aku berniat untuk tayamum sebagai pengganti wudhu dan sholat tahajud sebari duduk. Dan kebetulan arah ranjang ini menghadap ke arah kiblat.
“nawaitut tayammuma lisstibaahatish shalaati fardlol lillaahi ta’aalaa.”
Mulut ini membacakan niat tayamum, lalu kedua tangan ini menyapu debu yang bersih pada tembok bercat putih yang tak jauh dari samping kanan ranjang ini lalu ku usapkan pada wajah dan tangan. Setelah selesai tayamum, aku melaksanakan sholat Tahajud yang di tutup sholat witir.
Aku terhanyut dan terbawa dalam nikmatnya sholat tahajud ini. Rasa tentram menjalari hati. Ada rasa syukur yang menjalar di batinku akan nikmatnya shalat sepertiga malam, nikmat melantunkan Al-Qur’an.
Kring….
Tiba-tiba ponselku berbunyi, kulihat panggilan dari ibuku. Wajar hal yang wajar jika ibu meneleponku, karena ibuku sudah terbiasa bangun untuk menunaikan sholat tahajud di sepertiga malam untuk hatiku bergumam. “Nak, gimana keadaanmu?. Bagaimana kondisi kamu?”tanya ibuku. “Doakan ya bu … maafkan Amel selama ini. In Syaa Allah semoga Allah beri waktu untuk Amel bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan Amel selama ini.”. Aku menjawab sambil terisak menangis.
“Amel sayang, kamu harus semangat ya nak. Apapun yang terjadi jangan berhenti untuk bersyukur karena semua pasti ada hikmahnya. Ibu doakan kamu cepat sembuh.” Tutur ibu yang selalu menyemangatiku. “Iya bu .. banyak hikmah. Dan…bu Corona itu … memang … ada, ” jawabku dsambil terbata-bata. Komunikasi dengan ibuku hanya sebatas layar virtual di ponselku.
Tidak terpikirkan sekalipun di tempat isolasi yang mencekam inilah aku memulai kehidupan untuk lebih baik. Di sini aku menjadi saksi sosok berjasa yang tak pernah lelah sebagai garda terdepan di era pandemi. Dimana mereka terus bersemangat untuk bekerja memberikan pelayanan dan pengobatan kepada para pasien, tenaga medis dengan mengenakan APD hampir sepuluh jam.
“Bagaimana kalau lapar, haus dan lainnya?” Pertanyaan itu sering muncul dibenakku.. Semoga pandemi cepat berlalu.
FATHIN AZ-ZAHRA, 2021