Ruang yang Remang_Keysha Chika Anindira_SMPN 1 Subang

WhatsApp-Image-2021-04-23-at-01.45.58.jpeg

Rintik yang jatuh dari atas awan putih membasuh adimarga yang kering tak bergeming. Kini, para insan yang tahu akan kehadiran rintik putih suci dari langit turun harus meneduh untuk meluruh. “Huft, hujan lagi.” Gadis berambut sebahu itu bergumam pelan didekat halte bus. Merutuki dirinya sendiri karena tak membawa payung, padahal bundanya sudah memperingatkan.

“Nih payung.” Suara asing yang melintas singkat di pendengarannya membuatnya menoleh, menatap ke arah pandang pemuda bertubuh mungil tapi bukan kerdil yang tengah menatap dirinya lamat lamat sambil memberikan benda yang akan melindungi dirinya dari rintik hujan yang turun.

“Eh? Gapapa, kamu aja yang pakai, Andy.” Ujarnya menolak, pemuda yang dipanggil Andy tadi menggeleng, lantas dengan sengaja memberikan payung tersebut ke genggaman tangan sang gadis.

“Sampai ketemu lagi, Melody.” Punggung pemuda taruna itu perlahan menjauh. Menyisakan Melody yang diam tak bergeming. “Sudah lama, ya. Tidak bertemu.” Ia membatin, berjalan sambil menenteng payung berwarna hitam kecoklatan. Mengingat masalalunya dulu, membuatnya campur aduk. Dengan wajah kirana, bilah merah muda yang selalu mencetak kurva, ia menyapa sang bunda yang tengah duduk melamun di teras rumahnya sendirian. Bundanya suka hujan, berbeda dengan dirinya.

“Bunda kenapa di luar? Nanti sakit, yuk masuk.” Katanya sambil sedikit menunduk, menaruh payung dan mengajak bundanya untuk masuk. Namun hanya gelengan yang ia dapatkan, pertanda bundanya masih ingin untuk berada disana. “Jangan terlalu lama ya, bun. Melody mau ganti baju dulu. Nanti dibuatkan teh hangat.” Tanpa menunggu jawaban, gadis yang sudah sukses sebagai penulis tersebut masuk. Untuk sekedar menghangatkan tubuh dari dinginnya hujan diluar. Memakai baju sweater dan celana panjang. Tak lupa juga membuat teh untuk bundanya tersayang.

Setelah selesai dengan urusannya, Melody keluar membawa nampan yang sudah berada sekitar empat warsa dirumahnya, bergambar dua anak manusia yang tengah melahap apel. Berisikan dua cangkir teh hangat dan juga beberapa camilan.

“Itu payung siapa? Kok bunda kayak ga pernah liat?” Tanya sang bunda sambil menunjuk payung yang putri semata wayangnya letakkan di sudut teras. Melody mengangguk pelan, “Payungnya Andy. Bunda inget, kan? Yang dulu sering bantu aku untuk pergi latihan.” Balasnya sambil menatap langit yang menurunkan tetes demi tetes rintik hujan. Bundanya mengangguk sambil meneguk secangkir teh tersebut, berbeda dengan gadis yang berada disebelahnya yang tengah bernostalgia dengan masalalunya.

—-

Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Nangka Karangnongko. Tahun dua ribu delapan.

Digit menunjukkan pukul setengah tiga sore. Hujan turun mengguyur kota itu dengan sejuta kenangannya. Membuat seorang gadis dengan menenteng satu tas berisi semua buku pelajarannya harus meneduh ke tepi. Netranya berhasil menangkap figuran yang tengah mengarahkan motor vespa lama miliknya ke arah tempat yang ia pijak saat ini. Melody kontan memfokuskan indra pengelihatannya yang samar karena rintik yang turun ke kacamata miliknya.

“Mau aku antar?” Decitan sebab motor vespa yang menepi memicu pendengaran. Lantas Melody menggeleng, membuat sang figur yang ada didepannya bertanya kenapa. “Nanti merepotkan.” Ujarnya, memperhatikan taruna itu yang tengah turun dari motornya. Mengenakan celana denim dan kaos putih berbalut jaket membuatnya terlihat makin tampan dari sebelumnya. “Engga, ayo naik. Kebetulan aku lewat sini, gaada kegiatan lain.” Melody cukup tahu, jika pemuda itu baru saja selesai bermain basket. Terbukti dengan keringat yang masih ada di dagunya. “Ke tempat les-ku, engga kejauhan, kan?” Andy menggeleng, lalu menaiki motor jadulnya lagi, melaju dengan kecepatan sedang sambil berbincang sedikit. “Kamu, kenapa setiap hari selalu kesana? Ga main sama yang lain?” Tanya Andy sambil melirik ke arah spion kanannya, menampilkan wajah Melody yang samar terlihat karena helmnya.

Melody menunjukan kurva lengkung, “Aku ingin bunda bangga dengan prestasiku sendiri,” Jawabnya santai. Membuat Andy yang mematung di tempatnya. Setelah perjalanan yang memakan waktu sepuluh menit dari awal menuju tempat yang dituju, Andy dan Melody sampai juga. Melody turun, mengucapkan terimakasih dan melangkah pergi meninggalkan Andy yang hanya menjawab dengan anggukan, memperhatikan dirinya dari kejauhan. “Begitu, ya?” Gumamnya sendiri.

Suara pintu yang dibuka membuat bundanya yang tengah bersandar di ruang tengah tersebut menoleh. Memperhatikan putrinya yang tengah sibuk membuka sepatunya. “Darimana, nak?” Pertanyaan yang diajukan sang bunda membuatnya  sedikit tersentak. “Baru selesai les tadi,” Katanya sambil tersenyum. “Kamu udah besar ya, jadi ingat masa kamu kecil.” Ujarnya diiringi kekehan. Melody mendekat, duduk disamping sang bunda dan bertanya kembali. “Memangnya kenapa?” Tanya Melody. “Dulu kamu waktu bunda ajak main sama teman-temanmu selalu gamau, setiap hari pasti baca buku. Nanya setiap kosa kata baru yang kamu ga tau. Rasanya baru kemarin.” Jawab bundanya sambil memejamkan netra. Melody hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa.

Siang harinya, saat matahari sedang bersinar terik. Gadis akasha yang selalu berkutat dengan buku-bukunya itu berjalan mengitari koridor kelas. Rencananya akan pergi ke perpustakaan untuk sekedar membaca apa yang ia inginkan nanti. Dia selalu menghabiskan banyak waktu nya di perpustakaan ini membaca buku buku sastra dan puisi atau buku lainnya sampai sore sesudah jam pelajaran usai. Di kepalanya selalu terngiang nasihat bundanya. “Nak, anak pintar nanti akan terkalahkan dengan anak yang rajin dan tekun. Karena ketekunan itu akan membawa anak itu ke kesuksesan. Dan anak rajin dia akan mencari dan menggali apa yang dia tidak mengerti, menjadi lebih paham dengan segala persoalan yang tidak diketahuinya.”

Sejak saat itulah, di usianya yang baru menginjak empat tahun, ia selalu bercita-cita untuk membanggakan kedua orangtuanya. Dimulai dari kemampuan tulisan tangan yang begitu indah mengantarkannya menjadi juara pertama menulis aksara sunda. Lalu melangkah ke arah lain, ia mulai belajar dalam hal akademik, seperti pelajaran di kelasnya. Yang menjadikan ia sebagai juara kelas setiap tahun.

Tidak disangka juga, Melody fasih dalam bermain gitar seperti Ayahnya. Di usianya yang menginjak sekolah dasar, kelas enam. Ia sudah lancar bermain berbagai lagu. Tak jarang juga mengikuti lomba bermain musik di sekolahnya. Dan tahap terakhir, ia juga belajar dalam hal menulis cerita pendek dan juga novel novel kecil. Menjadi pekerjaan sampingannya di umur yang masih menginjak enam belas tahun tersebut.

Dulu, ia bercita-cita sebagai penulis. Dan seperti ucapan sang Ayah yang berkata. “Kejar apa yang kamu mau, asal bukan milik orang lain, kejar saja. Tak apa.” Ucapan orang tuanya selalu menjadi motivasi bagi Melody untuk selalu berprestasi di sekolahnya. Terbukti, di umurnya yang masih menginjak usia muda. Ia sudah sikses sebagai gadis yang pintar dan juga penulis terkenal, menulis berbagai novel membuat pengetahuannya semakin luas. Uang hasil penjualan novelnya, selalu ia sisihkan untuk kedua orang tuanya. Tak jarang juga, ia sisihkan terhadap panti asuhan untuk membantu anak anak yang lebih membutuhkan.

Lamunannya harus buyar ketika suara klakson motor yang berbunyi dari luar, membuatnya mengedar pandang ke arah tokoh pemuda figuran yang tengah tersenyum dan melambai padanya. “Nanti malam keliling Jogja, aku jemput!” Teriaknya dari depan. Lalu kembali melajukan motornya. Membuat sang gadis menunjukan kurva lengkung. “Itu, Andy?” Tanya bunda sambil menoleh ke arahnya. “Iya, bunda.”

Terakhir, bukan berarti dirinya tidak pernah gagal. Namun bundanya selalu berkata, “Kita belajar dari kegagalan, bukan dari kesuksesan. Karena itu, kegagalan adalah guru terbaik. Barang siapa bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan kesuksesan. Karena masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, jangan lupa dibantu dengan doa, semangat terus, nak.”

(Visited 210 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan