Kota Kelahiranku_Nadya Maulida Nur Rachmah_SMPN 1 SUBANG

WhatsApp-Image-2021-04-17-at-17.23.49.jpeg

Suasana damai di sebuah rumah sederhana yang hanya dihuni oleh satu orang anak kuliahan.

“Hah, pagi yang cerah. Semoga perjalanan hari ini lancar,” aku keluar rumah dan memasukan mobil yang sudah kusiapkan untuk perjalanan hari ini yang akan memakan cukup banyak waktu. Kulajukan mobilku memulai perjalanan ke tempat tujuan. Sebelumnya perkenalkan namaku Nadhifa biasa dipanggil Nadhi, hari ini perjalananku menuju sebuah kota yang sangat aku rindukan karena sudah cukup lama aku tidak mengunjunginya.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, di sinilah aku berada. Di sebuah kota kecil, tempat aku lahir dan tumbuh menjadi seorang gadis remaja sampai usia 15 tahun. Kota itu adalah kota Subang, kota 1000 kenangan bagiku sekarang.

Setelah sampai, aku sempatkan diriku untuk berkeliling kota menggunakan mobil sebentar. Ternyata kota ini sudah cukup maju dan banyak perubahan yang terjadi di sini dari sebelumnya. Tentu saja sudah hampir sebelas tahun aku tidak berkeliling kota ini membuat kota ini memiliki banyak kemajuan. Sepertinya kota ini sudah memiliki mall yang berada di tengah kota, padahal rencana pembangunan sudah ada sejak aku SMP tetapi baru dibangun beberapa tahun ke belakang.

Selesai berkeliling, aku putuskan untuk ke hotel yang sudah kupesan untuk menyimpan barang-barang yang kubawa sekaligus beristirahat.

“Kota ini sudah banyak berubah ya, walau terlihat modern masih ada alam yang terjaga di sini.” Saat ini aku sedang berada di alun-alun kota Subang yang menurutku memiliki perubahan yang banyak. Seperti taman kecil yang berada di pinggir alun-alun, dipenuhi oleh anak-anak remaja yang berfoto-foto. Masjid agung yang berada tepat di depan alun-alun pun semakin bagus dan megah. Sekarang sudah tersedia tempat parkir yang cukup luas sehingga jalanan tidak lagi macet karena kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Ribuan kenangan lewat begitu saja di dalam pikiranku. Perasaan senang, sedih, sudah pernah aku rasakan di kota ini. Alun-alun ini adalah tempat aku berolahraga atau saat aku ingin bermain dengan lingkungan terbuka. Ketika sekolah dulu, masjid agung tempat aku beribadah saat lebaran dulu. Tanpa aku sadari, air mataku menetes mengingat kenangan di sini. Cukup lama aku duduk di alun-alun hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat.

Sudah lama sekali ya tidak melihat rumah ini. Ya, ini rumah masa kecilku dulu, tempat aku tinggal ketika aku kecil sampai remaja. Bisa dibilang rumah ini membesarkanku. Di rumah ini sudah banyak sekali tawa dan tangisan yang pernah terjadi namun menjadi kenangan saat ini. Aku cukup senang melihat rumah ini lagi walau sudah banyak sekali yang berubah dari terakhir kali aku pergi meninggalkan rumah ini.

—-

“Eh, Eneng Nadhi?” kudengar seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku pun menoleh dan melihat seorang ibu-ibu yang cukup aku kenal. Namanya ibu Rahma, dulu beliau yang selalu membantu keluargaku di sini saat ayahku yang menjadi tulang punggung keluarga sudah tidak ada.

“Ibu?” aku terkejut melihatnya hingga tanpa sadar aku memeluknya. Aku sungguh merindukannya dan aku sangat ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang dia berikan dulu.

Masya Allah kamu sudah besar nak. Terakhir ibu lihat kamu masih umur 14 atau 15 tahun?” Beliau melepas pelukannya dan melihat penampilanku sekarang. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya.

“Iya bu, umur Nadhi sudah 26 tahun bu,” aku cukup merindukan sosoknya, ia sudah sering membantuku dalam kesulitan.

“Udah lama ya nak, mampir dulu yuk ke rumah ibu!” Aku hanya mengangguk sebagai balasan ajakannya, ia terlihat antuas ketika aku mengiyakan ajakannya.

Ketika sudah sampai rumahnya yang tidak jauh dari rumah lamaku, aku melihat sekeliling. ‘Tidak ada yang berubah’, itu hal pertama yang ada di dalam benakku melihat rumah ini yang masih sama seperti 11 tahun yang lalu.

“Duduk dulu Neng! Ibu ambilkan minum sebentar,” ia pergi ke dalam untuk mengambilkanku minum. Tak lama bu Rahma kembali dengan segelas air teh dan makanan ringan di tangannya.

“Ini Neng minum dulu airnya!”

“Iya Bu, terima kasih,” aku meminum air teh yang sudah disediakan. Sungguh aku sangat merindukan suasana di sini. Suasana yang damai ketika hari biasa dan akan ramai saat mendekati hari raya atau hari-hari libur panjang.

“Tidak ada yang berubah ya, Bu.” Aku masih melihat-lihat isi rumah itu, karena bagai sebuah mimpi aku kembali ke rumah itu.

“Iya nak, ibu tidak merubah banyak di sini. Walau di kota sudah sangat modern dan maju, ibu tetap mempertahankan rumah ibu seperti awal. Hitung-hitung buat menjaga kenangan masa lalu juga. Rumah eneng sudah pernah dihancurkan lalu dibangun ulang, makanya sangat berubah.” Penjelasan bu Rahma memang benar, tetapi medengar kalau rumah lamaku pernah dihancurkan dan dibangun ulang membuat hatiku sedikit sedih. Bagaimana pun aku merindukan bentuk rumah lamaku yang perlahan-lahan sudah luntur diingatanku. Aku dan bu Rahma melanjutkan perbincangan kami, hingga hari mulai sore aku memutuskan untuk pamit dan kembali ke hotel.

Malam ini cukup dingin. Aku keluar menuju balkon yang berada di kamar. Melihat keindahan bulan dan bintang di kota kelahiran memang beda ya. Lebih indah dari pemandangan malam mana pun. Dulu biasanya ketika malam hari aku selalu melihat langit malam dari jendela kamarku. Walau sudah sangat lama aku masih mengingat beberapa kenanganku di sini. Malam semakin larut dan angin malam pun semakin dingin, aku memutuskan masuk dan tidur untuk mempersiapkan hari esok.

—–

Keesokan harinya, hari ini cuaca cukup cerah yang bisa berarti baik untuk hari ini. Hari ini aku berencana ke dua tempat terakhir sebelum aku kembali untuk pulang.

Tempat pertama ada di sebuah pemakaman umum. Aku berjalan menelusuri jalan, melihat satu persatu batu nisan, mencari sebuah nama yang aku rindukan.

“Ayah, aku dating.” Aku tersenyum melihat yang kucari. Sudah hampir 3 tahun aku tidak mengunjungi makam ayahku. Aku ke sini hanya saat lebaran itu pun sudah 3 tahun yang lalu. Saat ibuku sakit, aku sudah tidak pernah ke sini lagi karena fokus merawat ibu.

“ Yah, eneng datang. Eneng sangat rindu, pasti di sana ayah sudah bertemu dengan ibu. Bilang pada ibu eneng juga sangat merindukannya. Sekarang eneng udah sukses dengan kerja sambil kuliah dan keinginan ayah pun terwujud karena kota ini semakin maju. Kemarin eneng juga sempat pergi ke kebun teh, dulu ayah selalu mengeluh karena banyak sampah di sekitar perkebunan teh dan sekarang sampah itu sudah tidak ada karena pemerintah rajin melakukan pembersihan. Eneng juga dengar kalau jalanan sudah tidak banjir lagi kalau hujan besar, trotoar juga sudah semakin bagus. Kota Subang sudah benar-benar maju, Yah.” Aku bercerita dengan asik, air mata pun sudah tidak tertahan karena kerinduan yang tak terbendung.

“Maaf eneng baru bisa ke sini sekarang. Eneng selalu mendoakan ayah dan ibu dari jauh.” Setelah berdoa aku pun pergi karena waktu sudah semakin siang. Sekarang tujuan terakhir sebelum pulang.

Perjalanan ke tempat terakhir cukup jauh untuk ditempuh, namun ketika sudah sampai rasa lelah di perjalanan terbayarkan sudah. Di sinilah aku berdiri menikmati hembusan angin yang cukup kencang, terdengar suara desiran arus ombak yang tidak terlalu besar ditambah suasana yang damai dan tenang menjadikan tempat ini sebagai tempat yang cocok untuk me refleksikan diri.

Sekarang aku sedang berada di salah satu pantai di kota Subang. Terakhir aku ke sini cukup menyenangkan, namun terlalu banyak sampah pada saat itu hingga membuatku kurang nyaman. Tetapi semua itu berubah, sekarang tidak ada lagi sampah yang terbawa ombak ke pinggir pantai. Pasir pantai yang bersih tanpa sampah sedikit pun. Keadaan lingkungan yang asri pun sangat terasa seperti menyatu kembali dengan alam. Di kota tempat aku tinggal tidak ada yang seperti ini, sepertinya keputusanku untuk mengunjungi pantai adalah pilihan yang bagus. Sekarang aku merasa sangat tenang dan rileks. Walau sekarang waktu sudah menunjukan tengah hari dan matahari pun sudah berada di atas kepala itu tidak menghilangkan rasa semangatku untuk menjelajahi bibir pantai.

Pasir sudah terasa semakin panas. Aku memutuskan untuk berteduh di salah satu warung di pinggir pantai untuk beristirahat. Melihat ke arah laut yang luas tanpa ujung, membuat kusadar bahwa dunia ini sangat luas hingga tak cukup waktu satu hari menjelajahinya. Banyak hal di luar sana yang belum di pelajari dan tidak cukup satu kali untuk mempelajarinya. Jadi jangan merasa puas mempelajari sesuatu dengan waktu singkat, karena semua butuh proses untuk dipelajari dan dikuasai. Nikmati setiap proses di hidup kita, karena itu bisa menjadi pelajaran untuk hidup kita.

Seperti kota Subang, yang awalnya kota kecil kurang maju menjadi kota yang cukup maju sekarang. Kota Subang mempunyai banyak kelebihan dan kekurangan, tetapi pemerintah berhasil mengatasi kekurangannya dan menjaga kelebihannya. Aku salut karena kota kelahiranku berhasil berkembang. Dengan banyaknya sampah di pantai, jalanan selalu banjir karena selokan yang tidak terawat, trotoar yang rusak, dan seringnya korupsi dari pemerintah tidak membuat kota ini menjadi kota yang tidak bisa berkembang. Perlu proses dari berkembangnya suatu daerah dan itu yang terjadi dengan kota Subang.

Sekarang aku tidak perlu khawatir dengan kota ini karena sudah berkembang dengan sangat baik. Aku bisa meninggalkan kota ini sekarang.

“Kemana pun aku melangkah,

kota Subang tetaplah kota kelahiranku.

Selamat tinggal dan sampai jumpa lagi nanti.”

(Visited 23 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan