Tangan-tangan mungilnya sesekali memainkan kotak-kotak putih tembus pandang tempat donat yang ia jual tadi di sekolahnya, sambil tersenyum menatap burung yang hinggap dari satu batang kemudian hinggap lagi ke batang lainnya, begitu seterusnya. Rupanya gadis belasan tahun dengan jilbab putih itu sedang berbahagia karena donat-donat yang dia jual di sekolahnya habis.
Setelah melewati jalan raya, dia pun menyusuri gang sempit yang hanya masuk satu motor. Di persimpangan gang dia membelok ke arah kanan. Kini langkahnya sampai pada sebuah rumah. Rumah itu begitu sederhana, dengan dinding tembok setengah bilik bambu bercat putih dan lantai plester sederhana tanpa keramik. Namun rumah itu sangat bersih dan apik, menunjukan penghuninya paham akan kebersihan.
“Assalamualaikum…Mak, Aini sudah pulang.” Teriak gadis cantik itu. Rupaya gadis itu bernama Aini. Aini seraya melepas sepatu dan menyimpan pada rak sederhana dari kayu. Lalu dia langsung mencium tangan perempuan yang dia sebut Emak.
“Walaikumsalam. Mandi nak… jangan lupa shalat Asar . Nanti kamu makan, Emak sudah masak sayur asam kesukaanmu.”
“Baik mak..Oh iya, Lia mana mak?” tanya gadis itu.
“Dia sedang mengerjakan tugas sekolah di kamar.” Balas Emaknya tanpa mengalihkan pandangan dari adonan bakwan yang sedang diaduknya di depan kompor minyak. Setelah mandi dan menunaikan shalat Asar, Aini duduk disamping emak yang sedang mengatur helaian daun pisang tuk bungkus kue basah. “Bagaimana sekolahmu Aini?” Tanya Emak. “Alhamdulillah mak. Doakan mak.. bulan depan Aini menjadi perwakilan sekolah Lomba karya ilmiah tingkat pelajar SMU ke ajang Nasional.” Ujar Aini menatap Emak. Emak langsung menoleh ke arah Aini. “Alhamdulillah…benarkah?…. Berarti mulai sekarang kamu fokus dulu ke belajar. Jangan dulu bantu mak.” tandas emak sambil matanya berkaca-kaca menatap anak sulungnya. Mungkin dalam hati Emak ada keharuan anaknya yang dia besarkan serba kekurangan bisa mengukir prestasi.
Aini dan Lia adalah seorang anak yatim, ayahnya meninggal sejak Aini kelas 2 SD dan Lia berumur 4 tahun. Dan perempuan itulah yang kerja keras membiayai sekolah anaknya dengan berjualan kue. “Emak jangan khawatir..In Syaa Allah Aini akan mengatur waktu belajar tanpa lupa bantu emak berjualan.” Balas Aini dengan mata berbinar meyakinkan Emak.“Iya ka…biar Lia saja yang bantuin emak”. Celetuk gadis perempuan dua belas tahun muncul dari kamar ikut nimbrung obrolan itu.“Tidak adikku yang cantik. Justru kamu harus fokus belajar.” Tolak Aini sambil tangannya memijit kecil hidung Lia sambil tertawa.“Wah kaka hebat yaa… ikut ajang nasional. Lia bangga punya kaka seperti kak Aini. Lia do’akan semoga cita-cita kaka menjadi Dokter bisa terkabul”. Tambah Lia penuh pengharapan.“Aamiiin Yaa Robbal Alamin” jawab Aini diikuti Emak. Dan mereka bertigapun saling berpelukan.
“Oia … tadi pagi ketika Aini ngantar kue ke kantin Rumah Sakit Nusantara, Aini menemukan dompet di parkiran, ternyata tanda pengenalnya adalah Farhana Yasmin.” Papar Aini bercerita sambil tangannya dengan cekatan merapihkan piring-piring untuk dimasukan ke rak.“Oh…Dokter Yasmin? Dokter yang cantik itu ya… walaupun masih muda dirumahnya banyak anak yatim piatu tinggal bersamanya, kamu sudah mengembalikan dompetnya?” Tanya Emak penasaran.“Aini sudah menitipkannya ke bagian Administrasi namanya Ibu Wulan. In Syaa Allah Ibu Wulan amanah,”jawab aini cepat.“Kenapa tidak langsung dikasih ke Dokter Yasmin ? Siapa tau dapet imbalan, lumayan buat jajan Lia… .”Cetus lia dengan polos dan tertawa manja. “Justru itu dek, kakak gak mau kalau sampai Dokter Yasmin balas budi seolah nanti kakak tidak ikhlas.”“Betul nak, teruslah berbuat kebaikan tanpa mengharap kembali sesuatu dari orang itu. Karena imbalan yang terbesar datang dari Allah Swt.” Kata Emak menasihati kedua anaknya.
Rumah sederhana dan kehidupan yang serba kekurangan bukan sebuah halangan untuk mereka bahagia, karena bagi mereka bahagia itu sederhana. Suasana penuh kehangatan dan saling memberikan semangat merupakan hal bahagiaterbesar mengalahkan apapun.
‘****
Suara kokok ayam yang saling bersahutan seperti nyanyian pagi membangunkan para insan di dunia yang masih terlelap dalam tidurnya. Terlihat di sebuah kamar kecil, seorang gadis duduk di sajadahnya pada sepertiga malam. Begitu khu’su dia berdoa, kedua tangannya di tengadahkan sejajar dengan bibir mungilnya sambil tak jarang dia menyeka butir-butir air yang jatuh dari pelupuk matanya. Gadis itu rupanya Aini. Aini sudah terbiasa dari kecil untuk mengawali hari-harinya dengan melaksanakan shalat malam. Aini berdoa suatu hari nanti kehidupannya berubah, dia dan adiknya bisa membahagiakan ibunya supaya tidak banting tulang untuk membiayai keluarga seorang diri.
Mata Aini berkaca-kaca. Aini teringat kata-kata adiknya kemarin. Semoga cita-cita kakak menjadi Dokter bisa terkabul. Kalimat itu selalu terngiang di telinganya…Dokter…Dokter…seorang Aini menjadi dokter, dalam hatinya bertanya…
Jujur dokter memang merupakan cita-cita Aini tapi dia merasa dia harus tau diri. Dia pikir tidak boleh egois dengan dirinya sendiri, Aini bertekad tamat dari SMU akan kerja keras membantu emak dan membiayai Lia sekolah. Cita-cita terbesar Aini adalah menjadikan Lia seorang Dokter. Mungkin Aini pikir dia yang harus mengalah.
****
Jalan Melati No. 39 Blok II Tamansari .
Alamat yang diberikan Dokter Yasmin pada pesan Whatshap kemarin. Ini merupakan komplek perumahan elit di kota Aini tinggal. Aini berdecak kagum akan kemegahan deretan rumah di komplek itu, pikirannya bermimpi bahwa suatu saat dia bisa tinggal di rumah semegah ini bersama Emak dan adik semata wayangnya.
Tibalah pada sebuah rumah megah bergaya minimalis bercat putih, lalu Aini pun berdiri di depan pintu gerbang yang sangat tinggi.“Assalamualaikum” Aini mengucap salam. Tidak ada yang menjawab. Dan Ainipun langsung mencari bel, dan setelah bel dipijit gerbangpun dibuka sedikit dan keluarlah seorang laki-laki tegap tinggi besar dan memakai seragam yang bertulis Security.
“Ade mencari Siapa?”
“Apa ini benar rumah Dokter Yasmin?”
“Nama ade siapa? Ada keperluan apa?
“Saya Aini. Saya telah buat janji dengan bu Dokter Yasmin dan saya dikasih alamat disuruh menemui beliau”.
“Oh kamu yang bernama Aini. Beliau sudah pesan kepada saya untuk mempersilahkan kamu masuk. Bu Dokter sudah sejak tadi menunggu kedatangan De Aini” Jelas Bapak satpam itu sambil membuka gerbang.
Ainipun mulai berjalan memasuki halaman rumahnya yang begitu luas, mata Aini terpikat melihat hamparan rumput bak permadani hijau yang dibentangkan, warna-warni bunga Anggrek seolah menyapa selamat datang Aini. Tiba-tiba Aini dikagetkan oleh seorang perempuan seusia Emak.
“Neng Aini ya?…saya bi Nah. Neng ditunggu ibu di taman samping. Mari bibi antar”. Kata perempuan itu yang mengaku Bi Nah.
“Oh iya bi terimakasih. ”
Di kursi taman itu terlihat seorang perempuan cantik duduk dengan jilbab panjangnya tergerai, begitu membuat semua orang melihat terpesona dengan kecantikannya.“Assalamualaikum, Aini? Apa kabar?” ucap perempuan cantik itu menyapa Aini dengan lembut. “Bu Dokter?” balas Aini terbata.“Perkenalkan saya Yasmin. Maksud dari pertemuan ini, saya ingin berterimakasih karena kebaikan dan kejujuranmu dompet saya bisa kembali.” Ucap Dokter Yasmin sambil mengasongkan tangan kanannya untuk mengajak Aini berkenalan. Akhirnya kedua orang itu berjabat tangan.
“Maafkan saya Aini tanpa seizinmu, kemarin saya mencari tahu banyak hal tentang kamu dari Mba Wid pengurus kantin Rumah Sakit. Jadi saya sedikit tahu tentang kamu.” Tandas Dokter Yasmin sambil menatap dalam Aini.
“Iya bu Dokter.” Tuturku masih terpaku.
“Mba Wid bilang kamu anak yang berprestasi. Sebentar lagi kamu lulus SMU, kamu mau meneruskan kuliah kemana dan apa cita-cita kamu?”
“Emh … niat saya setelah lulus saya mau bekerja.”
“Kenapa begitu? Sayang sekali … “.
“ Dokter saya tidak boleh egois dengan cita-cita saya. Saya mau bantuin Emak dan bisa membiayai adik saya sekolah.” Dalam hati Aini heran, biasanya dirinya tidak pernah terbuka sama orang lain, apalagi orang yang belum dia kenal. Tetapi pertemuannya dengan Dokter Yasmin seolah bertemu seorang sahabat yang telah lama dia kenal.
“Jujur saya ingin menjadi Dokter, tetapi bukannya biaya Fakultas Kedokteran sangat mahal dan saya tidak tega menjadi beban Emak untuk membiayai .” Ungkap Aini polos.
“Aini, takdir seseorang tidak ada yang tahu … saya menjadi dokter bukan berasal dari keluarga kaya. Saya rasa kehidupan kamu jauh lebih beruntung dibandingkan saya“ ungkap Dokter Yasmin dengan tatapan kosong menatap ke depan.
Tak terasa ada butiran yang jatuh di kelopak matanya yang cantik.
“Maksud Dokter ? tidak beruntung seperti apa ?”
“Dulu saya sama sepertimu di pulang sekolah saya jualan kue. Saat itu saya merasa Tuhan tidak adil pada diri saya. Dari sejak bayi saya tinggal di Panti Asuhan. Dimana sampai detik ini saya tidak tahu orang tua saya siapa dan dimana.”
Mendengar seperti itu Aini hanya bisa menatap kaget seolah tak percaya dengan pengakuan masa lalu dokter cantik.
“Itu cerita jujur saya sama kamu dan saya ingin kamu bangkit Aini! Keterbatasan bukan merupakan batasan untuk kamu jadi orang sukses. Pendidikan tidak membatasi anak siapa kita. Justru dengan pendidikan bisa merubah seseorang. Saya, dulu saya bukan siapa-siapa tapi campur tangan Allah dan tekad yang kuat, saya bisa menjadi Dokter”.
“Hobby saya dari dulu sampai sekarang menulis dan membaca. Mungkin itulah yang membuat saya bisa seperti ini. Saya ingat, karena hobby bacaku itu ketika saya sedang duduk di taman menunggu orang untuk beli kue saya, koran bungkus kue yang saya jual saya baca dan saya pernah sedih kalau pas baca eh ternyata ceritanya kepotong.”
“Dan satu lagi Aini, saya terlahir dari kesusahan. Dan sekarang rumah saya terbuka buat siapa saja anak yang ingin menggapai impiannya karena keterbatasan biaya. Syaratnya satu, anak yang semangat dan pantang menyerah untuk belajar.” Tandas Dokter Yasmin seolah membuka pintu cahaya bagi seorang Aini.
Banyak pelajaran berharga yang Aini dapatkan pada pertemuan itu, sehingga pikiran Aini menjadi tarian bait yang menari.
Setiap insan berhak untuk maju tanpa syarat.
Aku takkan lagi ragu untuk mimpiku.
Keterbatasanku bukan sebuah halangan.
Karena takdir terbaik dariMu telah Engkau persiapkan untukku dengan indah.
Dan bidadari itu hadir untuk membangunkanku dalam harap yang cemas.
***
FATHIN AZ-ZAHRA