Sinar sang surya sudah menembus jendela kamar, dengan rintik hujan yang menemani awal hariku. Dua kelopak mataku terbuka dan kesadaranku kembali pada tempat berpijak. Aku menatap jam yang terpasang di dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Aku beranjak dari tempatku tidur, menuju meja yang terhidang dengan rapih.
Tak terasa sudah dua tahun lamanya kita terkurung di rumah. Semua sarana umum ditutup, semua orang terpaksa diam di rumah oleh keadaan. Entah sampai kapan aku harus terus begini walaupun pikiranku telah berkelana keliling dunia. Walaupun semuanya ada di layar laptopku namun pikiranku tetap lebih tertarik dengan dunia luar.
Pada masa ini sebagian manusia menganggapnya sebagai celah peruntungan dan sebagian menganggapnya sebagai musibah yang buruk tak terkira. Aku masih mengingat kejadian itu, mungkin itu tak akan hilang dari benakku selamanya. Hari itu sinar sang surya masih bersinar terang, burung-burung berkicau dengan indahnya namun, bagai petir di siang bolong ayahku datang dengan wajah suramnya. Memang ia sering datang dengan wajah suramnya namun ini terasa berbeda. “Nak, ayah sudah tidak bisa bekerja di pabrik lag,” pada saat itu aku merasa semua tubuhku membeku, aku sudah tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Pikiranku pergi entah kemana, hatiku terasa benar-benar hancur.
“Ra, kamu kenapa kok melonggo?” tanya kawanku di samping. “Eh, gak apa apa kok”. “Eh kalian tahu gak? Ada lomba puisi itu loh”. Mendengar berita itu keinginanku bergejolak untuk mengikutinya, tapi disamping itu aku tidak memiliki bakat atapun kemampuan apapun, “Ra, kamu mau ikut juga gak? Hadiahnya jutaan rupiah loh!” tanya temanku. “Aku ingin ikut, tapi…aku belum berpengalaman. Aku juga gak punya laptop,”jawabku. “Gak apa-apa Ra, gak ada salahnya kok nyoba! Hmm… gimana kalau kamu aku bantu? Nanti aku bantu kamu buat videonya!”
Aku pulang ke rumah dengan sinar senja yang mengantarku pulang dengan rasa bimbang. “Apakah aku harus mengikutinya?” pertanyaan itu melayang-layang di benakku sekarang. Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar. Pikiranku masih tertuju pada lomba itu, jika aku mengikutinya dan bisa memenangkannya aku dapat membantu ayahku. Tapi di sisi lain aku tak punya bakat dan pengalaman apapun dalam bidang ini. Walaupun temanku akan membantu, aku tidak yakin dengan diriku sendiri ketika mengikuti lomba itu.
“Brumm….” Itulah suara motor ibuku yang baru saja selesai berkeliling menjajakan donat yang dijualnya. Semenjak kejadian yang tak pernah kuduga itu terjadi, saat ayahku datang dengan wajah suramnnya membuka pintu rumah dengan lesu dan lemah. Ini adalah berita terburuk yang pernah kudengar. “Nak… Ayah sudah tidak bisa bekerja di pabrik lagi.” Memori itu selalu terputar di benakku dimanapun kapan pun itu. Semenjak saat itu ibuku bertekad untuk memulai usaha baru, walaupun dengan modal seadanya dan juga dengan kemampuan seadanya ibuku memberanikan diri untuk berjualan donat dengan cara berkeliling komplek dan menjajakannya.
Bukan aku tak ingin membantu kedua orangtuaku dalam mencari uang namun aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mereka. Ibuku masuk dengan wajah sumbringahnya sembari mengatakan, “Nak, Alhamdullilah dagangan Mamah laris manis hari ini!” mendengar berita itu hati merasa sangat senang.
“Mah, Rara mau ikut lomba puisi, menurut mamah gimana?” itu lah jawabanku setelah kupikirkan dengan matang. Dengan mengikuti lomba itu aku memiliki kesempatan untuk membantu orang tuaku. “Iya boleh Nak…Mamah bakal dukung terus hobi kamu sesuai kemampuan Mamah.” Hatiku sangat lega setelah mendegar jawaban tadi.
Keesokan harinya aku menuju rumah temanku dengan sinar sang surya yang setia menemaniku setiap harinya ditambah dengan angin sejuk yang menambah semangat. “Eh, Ra jadi ga ikut lombanya? Kalau jadi ayo sekalian,” tanya temanku ketika aku dating. “Oh,iya. Kayanya aku mau ikut deh!” jawabku dengan gembira. “Ayo kita latihan,” ajak temanku. Kami berdua duduk di teras depan rumah dengan sinar sang surya yang sedang bersinar sangat terang. Kita berdiskusi tentang tema yang akan diambil untuk lomba puisi ini. Tiba-tiba tersirat di dalam benakku, aku akan membacakan puisi yang menceritakan perjuangan orangtuaku selama ini.
Aku pulang ke rumah dengan banyak ide yang terkumpul di pikiranku. Saat aku menginjak lantai rumahku rasanya aku sudah ingin menuangan ide yang sudah meluap-luap di dalam benakku. Aku mulai berlatih setiap harinya, mulai dari mencari makna dari puisi yang ingin kubaca, hingga berlatih untuk membacakan syairnya.
Besok adalah hari besarku, dimana aku akan membacakan puisi yang telah kubuat. Cuaca di hari ini sangat cerah. Namun tak kusangka semua ini akan terjadi, namun seperti sambaran petir di siang bolong. “BRAK….” Suara dentuman keras yang kudengar dari luar rumahku, dengan berat hati aku menarik daun pintu rumahku. Aku lihat di sekeliling rumahku. Apa yang terjadi? Itu yang ada di pikiranku saat ini, aku keluar rumahku dan melihat banyak orang yang bergerumun melihat sesuatu, akupun datang dan berusaha melihat apa yag sedang mereka tonton.
Seperti ada yang menusuk hatiku, aku tidak percaya ini akan terjadi “Nak…Mamah ketabrak!” Aku sudah tak kuasa membendung air mata yang sudah kutahan ini. Semua orang mengantar mamah ke rumah sakit. Selama perjalanan aku tidak bisa membendung air mataku, seolah air mataku tak kunjung kering entah apa yang harus kulakukan sekarang, tak ada lagi yang bisa kulakukan. “Nak, Mamah gak bisa seperti ini terus Mamah harus jualan, kalau Mamah gak jualan nanti kita makan apa Nak?” kata-kata itu sangat menusuk hatiku. “Udah Mah gak apa-apa, Mamah istirahat aja dulu.”
Pikiranku saat ini benar-benar kacau, aku sudah tidak ingat dengan perlombaan yang akan aku ikuti besok. Aku sudah melupakan semua puisi yang kubuat, tiada lagi memori yang tersisa di benakku. Aku juga tidak tahu bagaimana untuk membayar perawatan dari rumah sakit.
Hari ini adalah hari besarku, aku harus mengikuti ajang lomba baca puisi ini, lomba kali ini memang lebih sulit. Dengan berat hati aku harus meninggalkan Mamah sendirian di rumah sakit demi mengikuti lomba ini, Mamah juga memaksaku untuk terus fokus pada perlombaan ini. Aku semakin tidak yakin akan diriku sendiri. Selama perjalananku aku hanya memikirkan Mamah yang berada di rumah sakit seorang diri.
“Hai Ra! Udah datang nih, aku kira belum,” sapa temanku yang melihat ku duduk sendiri. “Iya nih aku takut terlambat.” Beberapa saat lagi acara ini dimulai aku tidak tahu harus berbuat apa, aku sudah lupa dengan puisi yang aku buat, aku memang memiliki ambisi untuk menang. Aku sangat ingin membantu orang tuaku, namun di balik itu aku tidak memiliki pengalaman dan bakat dalam bidang ini. Ini adalah saat pertama aku untuk mencoba. Sebenarnya tujuan aku datang kesini bukan untuk meraih penghargaan, aku hanya ingin melihat kedua orangtuaku tersenyum.
Peserta pertama sudah maju tanganku gemetar aku takut jika aku tidak dapat memenangkan lomba ini. “Peserta nomor 11 silakan maju!” Ini adalah giliranku, tanganku menjadi dingin seperti orang mati, tak biasanya aku seperti ini. Aku harus berani demi melihat senyuman kedua malaikatku.
Sudah ku keluarkan kemampuanku sebisa mungkin, sudah kukerahkan semua tenagaku, namun…. Aku sudah tak kuasa menahan air mataku. Air mataku menetes sendirinya, aku mengingat perjuangan ibuku selama ini, air mata terus menetes tiada henti. Akupun kembali ke tempat awalku duduk sebari menenangkan diriku sendiri. “Ra, kenapa kamu nangis?” Tanya temanku. “Gak apa apa kok cuman kebawa suasana aja.”
Pembawa acara kembali mengambil alih panggung, Inilah yang semua orang tunggu pengumuman pemenang, ambisiku untuk menang sudah hilang tak ada lagi harapan bagiku. Sudah dua pemenang yang berdiri di atas panggung, tinggal 1 pemenang lagi yang akan diumumkan apakah aku? Atau bukan.
“Pemenang pertama adalah Tiara!” kalimat singkat namun penuh arti. Raut wajahku berubah drastis yang mula-mula gelisah menjadi sumbringah. Langkah demi langkah aku menuju ke atas podium, kupegang semua penghargaan yag telah kudapat. Rasa senang yang berbeda dari biasanya.
Aku tak bisa berhenti tersenyum di perjalanan menuju rumah sakit dengan membawa uang hasil kerja kerasku untuk biaya pengobatan mamah. “Mah! Ade menang lomba,” Mamah tak kuasa menahan air mata bangganya, melihat anaknya meraih kejuaraan untuk pertama kalinya. Walaupun ini tak seberapa namun setidaknya aku bisa melihat senyuman dari kedua orangtuaku.