Malam Minggu akan selalu menjadi suka malam bagi kawula muda untuk menamatkan waktu di penghujung hari merangkai arti dari sebuah kata serasi. Untuk hari ini, lapangan murjani yang di siang hari terasa sepi, tapi saat malam beralih menjadi kota yang paling berseri. Memerankan lakon penting laksana saksi dari wajah wajah bahagia di sukma pribumi, berbeda dengan puan yang sedang bergelung dalam selimut, mendegarkan sebuah podcast bermelodi lagu resah.
Menatap jam dinding yang menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh delapan menit. Tapi sudah ketara, gadis itu bosan bukan main. “Duh, Rain kemana, ya?” Dirinya berdialog sendiri sambil menatap layar ponselnya yang ber-wallpaper wajahnya tengah tersenyum melatar belakangi jalanan Ciwastra yang saat itu sepi bukan main. Saat tengah asik dengan lamunannya, suara pintu diketuk membuatnya tersadar. “Kak, aku masuk ya?” Ucap seorang gadis dari luar kamarnya. “Iya!”
Setelah berkata demikian, muncul seorang gadis beraut masam dari balik pintu. “Ditunggu sama papa di luar. Mau ngomong katanya.” Lalu menghilang di balik pintu kayu tersebut. Yang dipanggil mengangguk, dan keluar dari kamar untuk berjalan ke ruang tengah dengan berjalan gontai. Dan di sana, kedua orangtuanya sudah menunggu. “Asyara, sini duduk disebelah Shaluna.” Shaluna, adiknya sendiri yang berbeda dua tahun darinya. Kakinya melangkah menuju sofa yang berada di ujung ruangan, duduk di sana dengan tenang sambil menyimak apa yang papanya akan katakan selanjutnya. “Karena besok libur, jadi papa akan ngajak kalian liburan ke pantai pasir putih. Setuju, kan?” Shaluna mengangguk riuh, heboh karena sudah sekitar dua warsa tak berkunjung ke sana lagi. Asyara jadi ingat, dua tahun terakhir saat ada libur sekolah. Ia juga diajak ke pantai tersebut, menikmati senja di sore hari yang begitu indah. Sebelum ada Covid yang menyebar, tentunya. “Gimana, Asyara?” Tanya papa meyakinkan. Asyara mengangguk mantap. Dan kembali berbincang hangat dengan keluarganya, diselingi semilir angin malam dan beberapa camilan. Dan, bumi antasari.. mohon ukiran prosa gembira ini jangan dulu lekas diakhiri.
Pagi harinya, pesona jingga sumringah membangunkan Asyara dari mimpi panjang yang membuatnya membuka mata lebar. Matanya beralih menatap jam dinding yang menunjukkan digit pukul enam kurang delapan menit. Masih terlalu pagi rupanya. Fokusnya kini berpusat pada langit-langit kamar sembari mengalih sebelah tangan yang terangkat tinggi. Menampakkan gurat bintang di sekitar pergelangan. Ia lantas berdiri, lalu duduk di sofa dengan keadaan tenang. Kembali menggumam sendiri. “Gimana, ya keadaan pantai setelah ada virus Covid ini?”
Kembali, ia membayangkan bagaimana kondisi pantai yang katanya tidak tersentuh oleh manusia sejak beberapa bulan terakhir. Virus ini yang menyebabkan COVID-19 terutama ditransmisikan melalui droplet (percikan air liur) yang dihasilkan saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau mengembuskan nafas. Dan terakhir, menyerang sistem pernafasan. Membiarkan berkelut dengan pikirannya sendiri, ia beranjak untuk mengambil handuk saat digit menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Tak apa.
Di bawah, saat Asyara turun. Lantunan nada dari ruts piano yang ditekan menggema ke penjuru ruangan. Melodi sendu kini menjadi doa nyata pada kesedihan. “Pasti Shaluna.” Monolognya. Langkah kakinya ia percepat, mengintip adiknya yang tengah bermain piano berwarna putih sedikit berkarat karena mungkin sudah beberapa bulan tak dimainkan.
Tangannya beranjak mengambil kamera jadul kodak M35 yang terletak di meja yang biasanya ayahnya kenakan. Lalu menekan tombol foto di dalamnya. Menciptakan sedikit suara muncul dari balik kamera tersebut. Shaluna berhenti, menatap samar dinding yang berwarna putih gading itu. Di sana ada Asyara, yang mengenakan gaun selutut membalut tubuh, tersenyum konyol di sana.
“Dek, liat deh fotonya. Bagus banget!” Ucapnya sambil menunjukan foto Shaluna yang tengah duduk bermain piano sendiri melatarbelakangi ruang keluarga mereka yang sepi. Shaluna tersenyum, lalu mengecup pipi sang kakak yang membuat Asyara mematung menyaksikan Shaluna beranjak pergi tanpa mengucapkan apa-apa.
—-
Keempatnya telah sampai di pantai pulau Dewata yang begitu memanjakan indra pengelihatannya. Disambut dengan hawa sejuk yang menyelinap masuk di balik hoodie yang Asyara kenakan, Papanya langsung memakai kacamata hitam yang membuat kedua anak itu tertawa. “Papa keren, gak?” Tanyanya sambil bergaya. Asyara mengangguk, berbeda dengan Mama yang masih mengedarkan pandang ke semua penjuru menatap pantai Dewata itu dengan terkejut. Membuat Shaluna yang penasaran menghampiri, dan bertanya ada apa. “Kenapa, ma?” Membuat yang dipanggil menoleh ke arah anak bungsunya. “Engga, ini. Pantainya sepi, ya semenjak ada Covid. Suasananya beda gitu, cuma ada beberapa penjual es kelapa. Biasanya banyak, haha.” Kekehan terdengar diujung kalimatnya, membuat Asyara yang ikut penasaran mengedarkan pandangnya ke sekeliling.
“Iya juga..” Batinnya berucap. Namun sebelum ia hendak menuturkan kata-katanya, Shaluna sudah mengajukan pertanyaan lagi, bukan pada Mama. Tapi Papa. “Emang separah itu ya, pa. Covid itu?” Pertanyaan yang dilontarkan sang bungsu membuat yang ditanya menjawab lackadaisical, atau kurang antusias. “Iya dong, bisa menyebabkan orang meninggal.” Jawabnya sambil menggendong putrinya yang baru berumur genap tiga belas tahun bulan November kemarin sambil berjalan ke arah kursi kursi kosong di tepi pantai.
Saat di gendong, Shaluna tak sengaja bertanya lagi. “Ceritain dong, Pa. Mau denger, hehe.” Asyara yang mendengar lantas mendekat, ia juga ingin mendengarkan cerita sang ayah yang dulu sering membuatnya tertidur sekedar membaca majalah bobo. “Covid itu ditularkan waktu misalnya kamu menghirup udara yang mengandung virus. Kamu juga kalau berada terlalu dekat dengan orang yang sudah terinfeksi COVID-19. Kamu dapat tertular jika menyentuh permukaan benda yang terkontaminasi lalu menyentuh mata, hidung, atau mulut.” Ceritanya sambil mengelus surai si bungsu.
“Sebagian besar orang yang tertular COVID-19 akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa penanganan khusus. Masing-masing orang memiliki respons yang berbeda terhadap COVID-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa perlu dirawat di rumah sakit.” Ia melanjutkan, membuat Asyara membayangkan bagaimana kondisi mereka yang terinfeksi.
Bak bisa membaca fikiran si sulung, sang ayah bercakap lagi. “Gejala yang paling umum biasanya, demam, batuk kering, kelelahan. Dan gejala yang sedikit tidak umum biasanya rasa tidak nyaman, nyeri tenggorokan, diare, konjungtivitis atau mata merah, sakit kepala, hilangnya indera perasa atau penciuman, ruam pada kulit, atau perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki.”
Shaluna mengangguk mengerti, lalu mengedarkan pandangannya ke arah senja. “Terus kenapa kita sekarang boleh keluar, pa? Kan beberapa bulan kemarin kita disuruh diam engga boleh keluar rumah?”
“Karena pemerintah sudah mengizinkan kita untuk keluar, tapi dengan syarat tetap jaga jarak, dan protokol kesehatan. Jadi pantas aja kalau sekarang masih sepi.” Jelasnya lagi. “Iya, bisa dilihat sekitar. Pedagang hanya beberapa, yang berkunjung juga hanya beberapa.” Giliran sang mama yang berucap. Gadis mungil itu mengangguk gembira. Lantas mengecup pipi kedua orang tuanya dengan sumringah. “Makasi Pa, makasi Ma penjelasannya!” Katanya sambil tersenyum penuh ceria.
“Kakak engga nih?” Asyara berucap sambil melantunkan nada sedih yang dibuat buat. Dan dijawab gelengan oleh adiknya. “Engga, tadi pagi udah!” Membuat semuanya tertawa disana. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, selepas bermain air juga pasir laut, kemudian bersuap foto. Ternyata matahari sudah tenggelam. Kami pun beranjak meninggalkan tempat itu menuju rumah. Dengan kelelahan dan kegembiraan yang kami rasakan setelah sekian lama berdiam diri di rumah akibat pandemi ini.