Adaptasi Relung Hampa_Keysha Chika Anindira_SMPN 1 SUBANG

WhatsApp-Image-2021-04-23-at-01.45.58.jpeg

Jakarta, 10 September 2020

Hawa dingin yang menusuk indra peraba pada Necale kian bertambah kala hujan turun membalut bentala Jakarta. Pun dengan pesona yang ramai melintas, entah dengan teman, pasangan, atau keluarga. Menambah potret musim dingin di bulan September yang begitu menghampakan bagi gadis dengan surai kuncir kuda yang tengah merajut utopia.

Gadis pemilik netra hitam itu terus menilik sekitar dengan kurva semu. Raganya terus melaju entah kemana arah yang ia tuju. Kini dibenaknya hanya terukir satu kenangan indah yang melintas.

Hari itu, tepat tanggal 20 Februari di tahun yang sama. Sepasang pelantang telinga yang tersambung pada ipod hitam tua tengah mengalunkan irama kesukaannya. Sejenak ia mengatup kedua netra, seraya menghela nafas dalam. Membiarkan suara kebisingan kelasnya berlalu, juga udara dingin mengisi paru-parunya.

Kenari hitam tinta itu lantas beralih pada ipod hitam di dalam genggamannya. “Cale, darimana? Dicariin ga ada.” Ucap Jeje, anak yang bisa disebut paling update di kelas.

Netranya kini beralih menanggap sebuah objek yang mampu mencipta pigura merah muda di atas kurva. Memperlihatkan sekelompok anak manusia sekitar lima warsa yang tengah beradu tawa.

“Liatin sketchbook ini?” Necale mengangguk tenang, masih menikmati alunan musiknya yang sayup-sayup terdengar di telinga sang gadis. “Aku bawa ini untuk ngumumin di satu kelas kalau kita harus kayak anak-anak umur lima tahun ini. Saling ngobrol, bercanda bareng. Engga kayak gini yang sibuk sama handphonenya masing masing pas jam istirahat.” Nada gadis berambut hitam legam yang tengah bermonolog tersebut terdengar sayu di ujung kalimatnya.

 

Necale menatap lekat wajah puan yang sudah berada bersamanya selama enam warsa. Merasakan kehilangan yang tersirat disetiap kalimatnya.

Ia tersenyum, mengusap surat legam yang tengah menunduk di atas meja berwarna kelabu. Necale lantas berfikir sebentar, lalu menampilkan kurva samar. “Jadi apa yang bakal kamu lakuin?” Tanyanya parau.

Jeje menunduk, nampak merenungkan ucapan Necale yang begitu asa.

“Gimana kalau perpisahan nanti, kita kumpul bareng, terus ngadain party kecil-kecilan tanpa gadget?!” Cakapnya sedikit berseru kala seperti mendapat ide berlian, bertutur gembira di setiap kalimatnya. Jeje menampilkan senyum di sudut bibirnya.

Tanpa fikir panjang, gadis akasha itu langsung berhambur ke dalam dekapan Necale. Air wajahnya mengangguk setuju. “Ayoo! Panggil yang lain yaa?” Puan yang dipanggil hanya tersenyum. Akhirnya..

“Necale! Ayo olahraga dulu!” Teriak parau seorang suster dari balik ruangan yang ditempati sedikit mengganggu sedikit nostalgianya di masa lalu sebelum virus ganas Covid-19 menyebar.

“Ah iya suster. Sebentar!” Ucapnya terburu sambil memakai masker berwarna abu abu gelap. Segera, ia berlari menuruni tangga, lalu menyusul beberapa pasien lainnya yang tengah berlari di lapangan.

Necale tersenyum canggung melihatnya, pasalnya tidak ada yang ia kenal di sana. Hanya satu suster, juga Jeje yang sedang berada di kamarnya untuk sekedar beristirahat. “Necale, sini lari! Supaya kamu sehat!” Necale melihat sekitar, Suster Lyvia ternyata.

Yang dipanggil mengangguk, lalu berlari mengitari lapangan. Sambil mendengarkan musik klasik tahun 2000-an di ipodnya yang menggantung. Warnanya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya kondisinya saja yang tidak tepat.

 

Sudah sekitar satu minggu ini ia terdiam di sebuah rumah sakit tepat di tengah pusat kota Jakarta untuk menjalani kesembuhannya yang terkena virus ganas Covid-19 yang menyebar luas di seluruh dunia. Gejalanya berupa tidak enak badan, flu, pilek, dan semacamnya. Namun yang paling parah, penyebabnya bisa menyebabkan kematian. Bukan gejala masalah paru-paru lagi.

Karena itu di awal bulan Maret mereka dianjurkan untuk berdiam diri di rumah, melakukan kerja, sekolah, dan lain sebagainya untuk dilakukan di rumah. Tujuannya untuk menghindari virus Covid-19 yang semakin menyebar luas di Indonesia.

Namun karena mungkin bosan, Necale dan Jeje sering bermain keluar rumah, sekedar mencari hiburan atau memang betul-betul ingin berjalan-jalan karena tidak percaya keberadaan Covid ganas tersebut.

Dan terbukti, bulan Juni kemarin. Necale dan Jeje di test untuk pemeriksaan atau Swab. Hasilnya menunjukan jika mereka positif tanpa gejala. Sejak saat itulah Necale percaya adanya virus Covid-19.

“Ngelamun terus, nanti temennya setan tahu.” Mendengar suara yang asing di telinga, gadis ukasha itu menoleh. Lalu melihat sosok pemuda berfigur asing yang sepertinya seumuran dengan dirinya. Memakai hoodie abu polos, celana jogging hitam, dan masker di wajahnya.

Necale mengerutkan kening, lantas tersenyum di hadapan pemuda tersebut. “Ah itu, lagi istirahat aja, Hehe.” Cakapnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ga duduk?” Lanjut Necale. Pemuda itu menggeleng, lalu menghadap sekitar. “Gaada yang kosong.” Balas pemuda tersebut, yang kembali menatap layar benda pipih miliknya.

“Duduk di depan aku aja. Kebetulan kosong. Anyways, aku Necale.” Necale memperkenalkan diri, berniat menyapa. Pemuda yang sedang sibuk membalas beberapa pesan yang masuk itu mengangguk. Lalu memasukkan handphonenya ke dalam saku. “Aku Naresh, panggil aja sesukanya.” Berbalik, kali inu Necale yang mengangguk, lalu membiarkan Naresh membaca bukunya yang berukuran sedikit tebal.

 

Dilihat dari penampilannya, bisa disimpulkan jika Naresh adalah pasien Covid sama seperti dirinya. Matanya beralih menatap buku yang berada digenggaman pemuda yang memiliki nama Naresh tersebut, berjudul Serial Bumi.

“Wah, suka Serial Bumi juga?” Tanya Necale antusias. Naresh mengangguk seadanya, berbalik menatap Necale. “Kamu juga suka?” Dia bertanya dengan nada yang rendah. Yang ditanya mengangguk senang, menemukan seseorang yang satu frekuensi dalam soal baca membaca juga musik favorite lumayan susah menurut Necale. “Suka banget! Lain kali harus baca bareng kayaknya, haha.” Terdengar suara tawa diakhir dialognya, memecahkan sedikit keheningan yang terdengar dari balik lapangan rumah sakit.

Naresh terkekeh, juga mengangguk senang. “Iya kayaknya haha, kamu di ruangan mana?” Tanya Naresh. Necale tampak berfikir sebentar, “Tulip nomor delapan.” Balasnya dengan senyum yang masih terukir. “Loh tulip juga? Aku nomor tiga, kenapa ga pernah ketemu, ya?” Naresh mengerutkan dahi. Gadis ukasha tersebut juga begitu, mereka tampak tidak pernah bertemu.

Lain menjawab dengan suara, gadis itu hanya menggidikkan bahu. Lalu tersenyum sampul. “Aku cuma pengen keluar dari sini. Aku kangen dunia luar.” Nada bicaranya sedikit memelan, menyiratkan kerinduan yang ia pendam selama ini. Naresh mengusap punggung Necale pelan, lalu menyingkirkan poni yang menghalangi wajah gadis manis tersebut. “Jangan sedih, ya? Nanti pasti sembuh kok, tinggal nunggu waktu aja. Kalau kamu udah sembuh, nanti di traktir eskrim deh.” Hiburnya. Necale menatap penuh harap, “Serius, kan?” Naresh mengangguk mantap. “Asik! Makasii yaa!”

Setelah itu, selang beberapa hari, Naresh dan Necale semakin akrab. Ditambah lagi jika setiap pagi dan petang mereka selalu bersama. Sekedar berolahraga, atau hanya membicarakan novel keluaran terbaru yang akan mereka beli setelah keluar dari karantina ini.

Terbukti, di pagi hari saat sang baskara sudah seutuhnya berpendar terang menyertai kebisingan metropolitan yang tidak pernah berjeda. Sepasang anak muda yang terlihat begitu akrab itu tengah berbincang di sudut lapangan. Beristirahat sejenak melepas lelah setelah olahraga pagi mereka yang dilakukan dengan berlari mengitari lapangan sebanyak lima kali.

“Nih minum, Cale.” Tangan Naresh bergerak memberikan sebuah botol yang baru tadi ia beli di kantin. Necale tersenyum seraya mengucapkan kata terima kasih. Lalu meneguk air itu hingga tersisa setengah. Setelahnya hening. Tidak ada yang membuka obrolan.

“Cale, ngomong-ngomong kamu di sini gara-gara apa?” Netranya menatap gadis yang tengah mengingat sesuatu. Gadis akasha berparas elok tersebut berseru sedikit kala mengingat ucapan yang akan ia lontarkan selanjutnya. “Aku, bosen di rumah haha.” Tawanya hambar. “Jadi waktu itu aku sering banget main keluar sama Jeje. Ke mall, cafe, dan tempat rame lain.” Sambungnya menunduk.

“Dulu aku percaya ga percaya sih sama Covid ini, cuma pas swab kemarin. Walau tanpa gejala, kerasa juga ya. Jauh sama orang orang yang disayang. Papa, mama, kakak. Semuanya susah buat ketemu disaat keadaan aku di isolasi kayak gini.” Necale menggumam, tangan kanannya ia gunakan untuk meremat sedikit ujung pakaian yang ia kenakan. Menahan agar setetes air bening tidak turun dari ujung matanya.

Naresh mengangguk angguk paham, lalu mengusap kepala gadis itu pelan. “Dulu aku juga sama kayak kamu, ga percaya Covid. Jadi sering nongkrong di luar sama temen-temen. Eh pas kena test positif.” Pemuda itu menghela nafas gusar. “Kangen juga sih sebenernya sama mama aku, tapi mau gimana..” Katanya lagi.

Necale bergeming, tak tahu harus menjawab apa. Sudah hampir dua minggu ia di isolasi, ia takut jika tubuhnya belum mengalami perubahan suhu. “Jujur, aku nyesel. Coba kalau dulu aku percaya adanya virus ini. Pasti aku gabakal disini..” Cakapnya sambil bergeming.

Yang di sebrang kembali menghela napas, tak lama senyum gentir tercetak di sudut kurvanya. “Iya, habis keluar disini, kita harus taat protokol kesehatan. Pakai masker selalu kalau keluar rumah. Semoga pandemi ini cepat berlalu, ya.”

Sang gadis tersenyum tenang, semoga, ya..

Hari demi hari berlalu, gadis manis dengan gitar kesayangannya sejak ia berumur lima warsa itu bernyanyi. Membiarkan semilir angin masuk kedalam ruangan pribadinya khusus untuk ia berlatih. Jemari lentiknya memetik beberapa senar disana, menciptakan melodi lagu yang terdengar indah ditelinga.

“Necale!”

Yang dipanggil berhenti bermain, menatap gadis yang lebih tua dua tahun darinya sedang berdiri menenteng satu koper berwarna navy. “Pulang juga akhirnya! Kakak kangen!” Satu tangan terulur memeluk sang adik yang masih mematung, tidak mengerti apa yang sang kakak maksud.

“Shavela salam dulu!” Satu wanita masuk, mengejar sang sulung ke ruang latihan yang lebih muda. Gadis yang dipanggil Shavela menepuk jidat. “Maaf, ma. Lupa, hehe” Sang ibu mendengus, lalu beralih menatap sang bungsu yang sedang memperhatikan interaksi antara kedua ibu-anak itu.

“Anak nakal ini, bikin kakak kamu khawatir.” Ucap sang ibu sambil menatap Necale. “Lain kali jangan sering sering keluar rumah. Kalau keluar juga pakai masker. Taat protokol, Necale.” Lalu menggelengkan kepala. Necale hanya mengangguk, menyadari itu semua juga kesalahannya yang tidak menurut pada ibunya dahulu. “Iya, Ma. Engga lagi lagi kok keluar kalau ga penting penting banget, maaf ya, ma, kak.” Keduanya tersenyum tulus, lalu tanpa aba-aba berhambur memeluk satu sama lain.

Tamat.

(Visited 56 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan