Romantika Aisyah 9

Romantika-Aisyah.jpeg

Bab 9
Rindu Keluarga
Dalam pelariannya, Dimas tak menentu tinggal. Dengan uang curiannya, dia bisa pergi kemana saja. Dia pun sempat singgah ke rumah sakit jiwa, tempat Sutinah dirawat. Baru saat itu Sutinah dijenguk Dimas. Sehari setelah Dimas kabur dari rumah Berta, Dimas langsung menuju kota Bandung. Kota tempat istrinya di rawat di rumah sakit jiwa.
Sutinah bisa dirawat di rumah sakit itu atas inisiatif warga Kampung Sukamiskin. Sutinah mendapat perhatian dari pemerintah daerah sehingga seluruh akomodasi perawatan, ditanggung pemerintah desa setempat.
Dimas menemui Sutinah di rumah sakit jiwa. Sudah sejak lama Dimas ingin menemui istrinya. Namun, baru sekarang keinginannya terlaksana. Sungguh, pertemuan yang sangat mengharukan.
“Bapak tunggu dulu di sini ya, nanti Bu Sutinah saya bawa kemari.” ujar perawat di rumah sakit jiwa. Dimas pun mengikuti perintah perawat itu.
“Baik suster, tapi … sebelumnya saya mau tanya dulu.” tanya Dimas cemas.
“Ya Pak, kenapa?”
“Apakah istri saya baik-bai saja? Apakah dia akan mengenali saya?”
“Setahu saya …, Bu Sutinah baik-baik saja. Malah, dia itu pasien terbaik di antara pasien yang lainnya. Dia pasien yang paling rajin mandi. Makanya, walaupun dia sakit ingatan, tapi badannya tetap bersih dan wangi.“ jelas perempuan berseragam putih itu.
“Apakah dia sering ngamuk, seperti pasien yang saya lihat tadi, Sus?” tanya Dimas penasaran.
“He he he, kelihatannya bapak begitu mengkhawatirkan istri Bapak ya, Kemasa saja Bapak selama ini? Kasihan loh Pak, baru kali ini Bu Sutinah ada yang nengok. Sebelumnya gak pernah ada yang nengokin. Sebenarnya kehadiran orang-orang terdekat, akan membantu pemulihan si pasien.” kata perawat
“Ah, sudahlah suster, jawab saja peertanyaan saya! Gak usah ceramahin saya, saya tak punya banyak waktu.” ucap Dimas agak merongos kepada suster itu. Melihat reaksi Dimas seperti itu, perawat pun merasa risih dan menyudahi ceramahnya, lalu ia bergegas menuju kamar Bu Sutinah.
“Baik Pak, silakan Bapak duduk di kursi ini saja.” pinta perawat itu sambil menunjukkan temapat khusus pertemuan antara pasien dengan pengunjung.
Lama Dimas duduk termenung di kursi itu. Sesekali ada pasien lewat. Dimas pun memperhatikan setiap pasen yang kebetulan lewat di hadapannya. dalam hatinya terus berkecamuk berbagai perasaan “Sutinah …, mungkinkah istriku seperti itu juga? Ah tidak! Jangan …! Aku tak mau istriku seperti itu.”
Selang beberapa saat, Sutinah pun datang didampingi perawat. Sutinah jalan perlahan – lahan. Tangannya tak pernah lepas dari boneka yang ia gendong dengan kain kumal. Ia memegang erat tangan perawat. Ekspresi wajahnya selalu diselimuti dengan rasa takut.
“Saya mau dibawa kemana Sus,?” tanya Sutinah perlahan
“Tenang ya Bu, Ibu gak akan dibawa kemana-mana, ada orang yang mau menjenguk ibu, tuh orangnya.” jawab perawat.
Seketika itu Sutinah membalikkan tubuhnya, dia seperti orang yang ketakutan, dan langsung berteriak.
“Oh tidak …! Jangan …! Ampun, ampun kang … hu hu hu.” Sutinah berteriak ketakutan, lalu berbalik badan hendak lari kembali ke kamarnya.
“Loh, kenapa Bu? Ibu harus tenang ya … itu itu suami ibu, ibu jangan takut ya Bu, ayo saya temani ya Bu.” perawat itu berusaha menenangkan dan membujuk Sutinah. Tetapi Sutinah meronta dengan sekuat tenaga, dia pun berusaha untuk berlari kembali.
Melihat adegan seperti itu, Dimas bangkit dari tempat duduknya. Langsung memburu Sutinah. Tapi perawat yang lain menahannya.
“Maaf Pak. Bapak duduk saja, biar kami yang menenangkan Bu Sutinah.” Di antara perawat yang lain, Dimas diarahkan untuk tidak melakukan di luar prosedur.
Akhirnya Dimas pun hanya terduduk malu, dia sama sekali tidak menyangka kondisi istrinya seperti itu. “Sutinah masih takut kepadaku? Kenapa? Bukannya sedang diobati di sini? Hm …, tapi tak apalah, berarti dia masih ingat kepadaku. Masih ada harapan untuk disembuhkan.” guman Dimas dalam hati.
“Sabar ya Pak, kita pelan-pelan saja, trauma yang dialami Bu Sutinah memeng cukup berat, tapi bapak gak usah khawatir, kita sedang berusaha untuk menyembuhkan Bu Sutinah.” ucap Dokter Dila yang menangani kasus Sutinah.
Beberapa saat kemudian, kondisi Sutinah sudah agak tenang. Sutinah duduk dengan tatapan mata kosong. Mulutnya terus mendendangkan lagu Nina Bobo. Kadang tersenyum, kadang menangis, terkadang pula dia seolah sedang bercerita. Hanya satu nama yang ada dalam cerita itu, Aisyah.
Keadaan seperti ini Dimas manfaatkan untuk mulai mendekati lagi sutinah, itu pun atas seizin dr. Dila. Dengan hati-hati Dimas mulai mendekati sutinah. Sementara dr. Dila dan beberapa perawat yang lain turut menyaksikan dari kejauhan.
“Tinah,” sapa Dimas hati-hati.
Sutinah melirik dengan senyuman getir. Bibirnya bergetar, ingin mencurahkan rasa bahagia dan kecewa. Tak kuasa manahan haru, Dimas pun langsung memeluk Sutinah.
“Sutinah…, maafkan aku ya sayang, aku …, aku tak akan memukulmu lagi, aku …”
Tak kuasa menahan tangis, akhirnya kedua insan itu saling berpelukan. Dimas sangat menyesali perbutannya dulu kepada sutinah. Namun, jiwa Sutinah belum begitu pulih, sehingga bayangan penyiksaan Dimas kembali masuk dalam memorinya. Sutinah kembali memberontak, mendorong tubuh Dimas.
“Tidak! Jangan! Ampun …, ampun Kang, ampuunn …., “ jerit Sutinah
Suasana kembali kacau, dr. Dila memerintahkan para perawat untuk segera mengambil tindakan. Para perawat pun dengan sigap langsung membawa Sutinah menjauh dari Dimas. Dimas hanya berdiam diri.
“Maaf Pak Dimas, kondisi Bu Sutinah masih seperti itu, Bapak yang sabar ya, lain kali kita coba lagi, saya sarankan agar Bapak bisa menjenguk istri Bapak sesering mungkin, karena hal itu dapat mempercepat penyembuhan Bu Sutinah.” papar dr. Dila
Setelah ngobrol banyak hal dengan dr. Dila, Dimas pun segera meninggalkan rumah sakit itu. Dipandanginya terus lorong rumah sakit itu, seraya mengucap “Tinah, sebenarnya aku gak tega meninggalkanmu seperti ini. Aku ingin menemanimu setiap hari, aku sangat menyesal, sekarang aku tidak tahu harus kemana, kembali ke kampung rasanya tidak mungkin, karena aku selalu dibayang-bayangi peristiwa itu. Tahukah kamu Tinah, perempuan badak itu sudah meninggal! Aku tidak mengerti, mengapa begitu mudah aku menghabisi wanita gendut itu. Apakah aku sudah membunuhnya? Ah, tidak … aku tak berniat itu, aku sekarang bingung, aku … aku.” begitu Dimas berguman dalam hati.
***
Enam bulan sudah Sutinah dirawat di rumah sakit jiwa. Selama enam bulan itu, Dimas selalu menjenguknya sesuai anjuran dr. Dila. Pihak rumah sakit pun merekomendasikan Sutinah untuk segera dibawa pulang. Namun, keputusan itu membuat Dimas bingung. Tidak mungkin Sutinah dibawa pulang ke kampungnya, karena rumahnya sudah terbakar.
Dimas berpikir keras, bagaimana caranya membawa Sutinah keluar dari rumah sakit itu. Satu-satunya harapan adalah Bi Onah. Orang yang selama ini merawat kedua anaknya. Setelah melalui beberapa negosiasi dengan pihak rumah sakit, akhirnya Dimas bisa membawa pulang Sutinah.
“Sudah lama aku tak melihat anak-anak. Aku takut datang ke kampung itu, Kalau aku datang menemui anak-anakku, pasti warga kampung menangkapku, karena aku sebagai tertuduh peristiwa pembunuhan itu. Tapi, bagaimana dengan istriku? Kalau kuajak berkelana kemana-mana tidak mungkin, Sutinah masih perlu perawatan. Apalagi dia tidak tahu kalau rumahnya sudah habis dilalap si jago merah.” ucap Dimas dalam hati.
Selama ini memang Dimas tidak diam di satu tempat. Hidupnya selalu berpindah pindah. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak mengetahuinya. Dia pun mendengar bahwa polisi sedang menyelidiki kasus kematian Berta. Semua anak buah Berta pergi meninggalkan rumah itu. Mereka pun merasa ketakutan terlibat kasus meninggalnya Berta.
Kini, rumah Berta kotor tak terawat. Selama enam bulan rumah itu hampir tak ada yang menjamah, kecuali sesekali polisi yang sedang menyelidiki kasus itu. Warga kampung Sukamiskin pun tak ada yang berani mendekat ke rumah Berta. Rumah itu nyaris seperti rumah hantu, mengerikan.
“Tinah, sekarang kita akan hidup bersama lagi, sudah lama kita tidak berkumpul dengan anak-anak..” bisik Dimas pelan kepada istrinya.
“Aisyah, Akbar, ah … aku sangat rindu mereka Kang. Aku ingin segera pulang.” Ucap Sutinah lirih.
“Ya, sayang, secepatnya kita akan meninggalkan tempat ini. Ayo Tinah, kita berangkat sekarang” ucap Dimas sambil menggandeng Sutinah.
“Tapi Kang, kenapa harus malam-malam seperti ini, kenapa tidak besok pagi saja?” tanya Sutinah heran.
“Malam hari suasana lebih indah sayang, sudahlah Kamu jangan banyak pikiran dulu, sekarang tenangkan hatimu, anak-anak sudah menunggu kita.” jawab Dimas meyakinkan.
Mendengar pertanyaan Sutinah seperti itu Dimas pun bingung menjelaskan. Tidak mungkin dia menjelaskan kepada Sutinah bahwa dia sedang menjadi buronan polisi. Kalau Dimas muncul di kampung itu siang hari, pasti banyak warga kampung yang tahu. Jadi, Dimas akan datang secara sembunyi-sembunyi.
Akhirnya Dimas memutuskan untuk membawa Sutinah ke rumah Bi Onah, tidak ada harapan lain. Dimas nekad, apapun yang terjadi akan dia hadapi. Dengan menggunaan mobil sewaan, Dimas pun membawa pulang Sutinah ke kampung halamanya.
Waktu tempuh menuju Kampung Sukamiskin cukup lama. Selama dalam perjalanan, Sutinah tidur di pundak Dimas. Sementara Dimas memeras otaknya mencari cara, bagaimana agar warga kampung tidak mengetahui kedatangannya. Dimas pun mengakali agar dia datang pada waktu dini hari, saat semua warga sedang tidur.
Mobil yang mengantar Dimas dan Sutinah pun akhirnya tiba di kampung Sukamiskin. Dimas pun mencari rumah Bi Onah. Tapi belum ketemu juga walaupun sudah beberapa kali putaran. Tidak mungkin Dimas bertanya pada warga kampung. Pasti mereka mengenalinya. Dimas pun merasa heran, kenapa kampung ini jadi berubah?
“Maaf Pak, kita berhenti dimana? Dari tadi muter-muter terus.” tanya supir yang mengendarai mobil sewaan itu.
“Ya, ini saya lagi nyari-nyari jalannya, kenapa jadi berubah jalannya, coba berhenti di pos ronda itu. Tolong tanyakan kepada orang-orang itu, dimana rumahnya Bi Onah.” perintah Dimas kepada supir itu.
“Loh kok saya yang nanya? Gimana kalau orang –orang nanti curiga? Bapak kan warga kampung ini, Bapak saja yang nanya. Lagian kok aneh kampung sendiri bisa lupa jalan pulang.” gerutu supir itu.
“Sudah, jangan banyak tanya! Nanti bayarannya saya tambah. Awas ya, kalau mereka nanya ini itu, kamu bilang mau ngirim sayuran, atau apalah alasannya. Jangan sampai mereka mengenaliku, ngerti Kamu?” gertak Dimas
Untungnya Sutinah tertidur pulas, jadi dia tidak tahu kejadian sebenarnya. Dimas pun merebahkan tubuh Sutinah sehingga tidak ketahuan orang dari luar mobil. Lalu Dimas melilitkan syal ke wajahnya, terkecuali mata, karena dia ingin tahu, siapa saja yang ada di pos ronda itu. Mobil pun berhenti di depan pos ronda.
“Hmm …, rupanya si Mang Kuyan yang ngeronda malam ini. Waduh! Gawat, dia itu kan orangnya ngeyel …” guman Dimas. Lalu Dimas pun memberi isyarat kepada supir , agar dia ngasih dulu rokok kepada penjaga pos itu.
“Maaf, numpang tanya bapak-bapak, rumah Bi Onah sebelah mana ya?” tanya Supir
“Akang ini siapa, dari mana? Malam-malam mau ke rumah Bi Onah?”
“Eu … anu, sa … saya mau mengantarkan saudaranya.”jawab supir gugup.
“Saudara darimana? Mana orangnya? Maaf ya Kang saya periksa dulu.”
Mendengar percakapan supir dengan si Mang Kuyan, hati Dimas sangat cemas, dirinya khawatir ketahuan. Keringat pun mengucur deras. Sutinah ditutupi dengan jaketnya agar tidak kelihatan.
Rupanya Supir itu cukup pintar dan mengerti masalah yang sedang dihadapi Dimas, dia beralasan bahwa dia bersama saudaranya Bi Onah yang sedang sakit, makanya tidak bisa membuka wajahnya, Mang Kuyan pun percaya. Lalu supir itu memberinya rokok sebagai tanda terima kasih.
“Bi Onah sudah lama gak tinggal di kampung ini Kang, sejak rumahnya kena longsor, Bi Onah pindah ke kampung lain. Kalau gak salah namanya kampung Sukamulya, gak jauh dari sini, nanti akang dari sini lurus saja,di depan ada perapatan, belok kanan. Nah, kira-kira satu kilometer di situ ada warung, akang tanyakan saja sama warga kampung itu.” jelas Mang Kuyan
Bagai mendengar petir di siang bolong mendengar penjelasan Mang Kuyan seperti itu. Dimas semakin cemas. Keringatnya semakin mengucur deras. Bola matanya liar seolah mencari kebenaran berita. Tapi Dimas hanya mampu terbungkam seolah tak percaya.
Pikirannya langsung tertuju pada anak-anaknya. Bagaimana nasib anak-anaknya? Dimana mereka? Apakah Bi Onah juga mengajak mereka? Atau mereka tinggal bersama keluarga yang lain? Begitu perasaan Dimas saat itu. Hatinya berkecamuk penuh tanya. Dimas pun memberi isyarat kepada supir itu untuk segera pergi meninggalkan pos ronda. Supir itu pun mengerti arti isyarat dari Dimas. Mobil pun melaju sesuai petunjuk Mang Kuyan.
“Bagaimana Pak, kemana kita sekarang?” tanya supir.
“Kita berhenti saja di mesjid itu.” kata Dimas sambil menunjukkan sebuah mesjid di sekitar kampung itu.
“Bapak tunggu di sini, saya mau ke mesjid dulu.” kata Dimas
“Ngapain ke Mesjid pak, salat Subuh masih lama, masih pukul tiga, kenapa kita gak langsung saja ke kampung Sukamulya?” tanya supir.
“Sudah, Kamu jangan banyak tanya, ikuti saja perintahku, kalau nanya-nanya terus, nanti sisa pembayarannya gak aku bayar nih.”ancam Dimas.
Akhirnya supir itu menuruti kehendak Dimas.
“Tinah, bangun sayang … kita sudah sampai.” ucap Dimas pelan
Tinah mengeliat dan menggisik-gisikan matanya yang masih terkantuk-kantuk.
“Ini rumah kita Kang? Besar sekali? Anak-anak mana?” tanya Sutinah.
“Bukan sayang, ini mesjid Al-Iklas, Kamu masih ingat? Ini mesjid tempat Kamu pengajian.” jelas Dimas
“Loh. Kok kita ke mesjid Kang, ini sudah waktunya sakat Subuh ya?” tanya Sutinah lagi.
“Belum sayang, kita istirahat saja dulu” jawab Dimas
Dimas pun membawa Sutinah ke dalam mesjid. Belum ada siapa-siapa. Situasi seperti ini dimanfaatkan Dimas. Karena Dimas bingung menyimpan Sutinah. Akhirnya terlintas dalam pikiran Dimas untuk menyimpan Sutinah di mesjid. Dia berharap, warga kampung tahu akan kepulangan Sutinah dan ada yang mengurusnya. Lalu dia pergi meninggalkan Sutinah.

(telah diposting di arumliterat.blogspot.com)

(Visited 45 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan