Bab 8
Di Sebuah Pesta
Hingar bingar dan gelak tawa menyemarakan rumah Berta. Siang itu di gelar pesta perayaan keberuntungan. Berta mengundang seluruh anak buahnya. Berbagai makanan disajikan. Bahkan minuman keras pun disajikan.
“Hey! Dimas kenapa Kamu melamun saja? Ayo gabung sini… kita rayakan kemenangan ini. Hari ini aku dapat nasabah banyak sekali, sudah bisa diperhitungkan kita akan mengeruk keuntungan yang banyak … ha ha ha. Dasar bodoh orang-orang kampung itu.” kata Berta sambil tertawa.
Berta adalah pengusaha bank keliling. Kekayaannya diperolehnya dari jasa pinjaman yang mencekik leher nasabah. Hampir semua warga menjadi nasabahnya. Orang –orang yang menjadi nasabah Berta adalah orang yang sudah kepepet, tak ada jalan lain untuk mendapat pinjaman. Walaupun bunga pinjaman cukup besar, namun ada saja orang yang meminjam uang pada Berta.
Dimas adalah adalah anak buah kesayanagn Berta. Karena Dimas mempunyai paras yang rupawan, Berta pun menjadikannya teman hidup. Berta begitu mencintai Dimas. Makanya Berta tega merebut Dimas dari Sutinah. Dengan uang, orang bisa memiliki apa saja. Tapi tidak untuk membeli cinta. Karena Dimas tidak mencintai Berta. Dia hanya memanfaatkan Berta demi mengeruk rupiah untuk mencukupi kebutuhannya.
Sebenarnya Dimas mau menjadi suami Berta karena terpaksa. Berta sudah memberikan fasilitas kehidupan. Tinggal di rumah mewah, mobil, pakaian, dan kebutuhan lainnya. Apa pun yang diinginkan Dimas, Berta selalu memenuhinya. Hanya satu permohonan Dimas yang tidak dikabulkan Berta, yaitu menerima anaknya untuk tinggal bersama di rumah Berta.
Hidup Dimas walaupun bergelimang harta, hatinya terasa dipenjara. Tak ubahnya dia bagai keledai, yang salalu harus mengukuti perintah majikannya. Dimas ingin segera terlepas dari kungkungan kekuasaan Berta. Dimas sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Berta yang semena-mena terhadap dirinya
Hingga pada suatu malam, Dimas memberanikan diri untuk bicara.
“Berta, sampai kapan aku akan terus begini? Aku ingin membawa anak-anakku kemari. Aku mohon Berta, izinkan mereka tinggal di sini.” pinta Dimas merayu.
“Dimas, aku sudah berulang kali mengatakan, aku gak bisa menerima mereka tinggal di sini. Apa kata dunia, jika anak-anak tinggal di sini, mungkin dunia akan menertawaiku, karena aku tidak pernah hamil tapi punya anak.” jelas Berta sambil terhuyung karena terlalu banyak minum minuman keras.
“Kalau kamu mencintaiku, penuhi permintaiku Berta. Kalau tidak, aku akan pergi dari rumah ini” ancam Dimas.
“Oh, rupanya kamu mengancamku? Silakan kalau Kamu mau pergi dari sini, tapi bayar utang-utangmu dulu, ahaha!” gertak Berta.
“Sudahlah Dimas, kurang apa aku ini? hutangmu kuanggap lunas, asalkan Kamu tetep bersamaku. Aku juga mengerti perasaanmu, Kamu pasti berat hati meninggalkan anak-anakmu kan, karena si Sutinah tidak becus mengurus anak-anaknya.” ucap Berta kemudian.
“Jangan bawa-bawa nama istriku, asal kamu tahu Berta, dia menderita sakit jiwa, itu karena ulahmu, Kamu menekan aku agar memaksa menceraikan dia. Aku sudah tidak tahan lagi Berta, hitung semua hutangku yang belum kulunasi! Aku akan pergi.” kata Dimas mengancam.
“Hebat …, hebat, sudah berani rupanya Kamu ya. Oke, kita lihat seberapa beraninya Kamu.” ucap Berta meledek sambil bertepuk tangan. Dimas tak mengerti dengan ucapan Berta. Mengapa Berta seolah ingin menguji keberaniannya, dan apa makna dari tepuk tangannya itu.
“Ucok …, Boni …, Garap!” perintah Berta kepada para bodyguard-nya.
Muncullah dua bodyguard bertubuh kekar menghampiri Dimas. Si Ucok langsung memegang tubuh Dimas dari arah belakang, sedangkan si Boni memukul perut Dimas. beberapa pukulan mendarat di perut Dimas. Dimas meringis kesakitan
“Aduh! Apa-apaan ini Berta?” tanya Dimas mengaduh kesakitan. Para bodyguar itu tetap saja memukul. Dimas tidak bisa melawan, karena tubuhnya dicengkram kedua orang yang bertubuh kekar. Semakin Dimas meronta, semakin keras pukulan yang dia terima.
“Ha ha ha …, itulah ganjarannya bagi orang yang berani menantangku. Sekarang, ayo tunjukkan keberanianmu! Ayo, ayo Dimas, mana keberaniannu? Kamu mau pergi dariku? Silakan, tapi hadapai dulu dua banteng peliharaanku ini, ahahaha.” Berta tertawa sinis
“Apa salahku Berta?” tanya Dimas sambil meringis kesakitan.
“Oh, tidak sayang, Kamu tidak salah apa-apa, wajahmu terlalu tampan untuk disalahkan. Ya! Tapi karena itu, Kamu salah!” teriak Berta, persis atlet sumo yang siap berperang. Siapa pun tidak ada yang berani melawan wanita berbobot 159 kg itu.
‘Lepas, Lepaskan aku! Ampun, sakit, tolong Berta aku tak kuat lagi” Dimas menjerit dan meronta. Tubuhnya yang kurus itu terkulai lemas. Dia sama sekali tidak berdaya.
“Baik, Kamu akan kulepaskan. Tapi Kamu harus berjanji, tidak akan pernah meninggalkanku lagi, paham Dimasku sayang, ahahaha.” ucap Berta sambil mengusap kepala Dimas.
“Ya, ya, aku janji …, aku tidak akan pergi. Aku akan menjagamu setiap saat, aku janji Berta. Tolong … lepaskan aku.” pinta Dimas memelas.
Berta pun memerintahkan para bodyguar-nya untuk melepaskan Dimas.
“Bawa dia ke tempat pesta!” perintah Berta
Dibawanya Dimas ke sebuah ruangan gelap, kotor dan bau. Berta menamakan itu adalah sebuah tempat pesta bagi anak buahnya yang melawan perintah. Ya, pesta untuk kecoa dan tikus yang berkeliaran di tempat itu. Dimas meronta dan berteriak terus. Namun, hanya gelak tawa yang dia terima dari Berta.
“Blug! Cekrek! Suara pintu ditutup keras lalu dikunci. Tinggallah Dimas dalam kegelapan, dan pesta pun dimulai. Suara tikus mencicit seolah menyambut kedatangan Dimas di ruangan itu. kocoa-kecoa pun mulai merayap ke tubuh Dimas.
Dimas melolong seperti srigala di malam hari. Sampai akhirnya Dimas merasa lelah, semakin pelan lolongannya, semakin pasrah atas apa yang menimpa pada dirinya. Semalaman Dimas berpesta pora bersama tikus dan kecoa dalam keadaan setres berat.
Dari kejadian itu, tekad Dimas semakin kuat ingin segera pergi dari tempat laknat itu. Dalam kegelapan ada cahaya terang yang menyinari hati Dimas. Terlintas dalam pikirannya ketika dia menyiksa istrinya, terbayang ketika dia meninggalkan kedua anaknya yang sanagt butuh pertolongan. Dimas mulai tersadar bahwa dirinya adalah sosok bapak dan suami egois.
“Betapa dungunya aku ini. Dasar goblok! Pecundang! Suami macam apa aku ini … begitu tega meninggalkan istri yang sedang sakit tak berdaya …. Bapak macam apa aku ini … begitu tega menelantarkan anak-anak yang hidup dalam kesengsaraan…” jerit tangis Dimas dalam hati. Dia memuku-mukul kepalanya sendiri sebagai tanda penyesalan.
“Aku harus bangkit! Aku harus bisa keluar dari tempat ini!” ucap Dimas dalam hati
Sementara itu Berta masih tetap asyik berpesta pora dengan para pengikutnya. Hingga di penghujung malam, mereka kelelahan. Bekas botol minuman berserakan dimana saja. Semua orang terkulai lemas, tak terkecuali Berta. Namun, dia masih bisa berjalan. Diam- diam dia meninggalkan tempat pesta itu, teringat Dimas yang sedang disekap di ruangan gelap.
“Oh … Dimasku, Dimasku dimana … oh kasihan sekali Dimasku sendirian di ruang itu, aku harus segera mengeluarkan Dimas.” ucap Berta sambil berjalan sempoyongan karena terlalu banyak minum minuman keras. Mabuk.
“Ucoook …! buka pintu itu …,” perintah Berta layaknya orang mabuk.
Dengan langkah gontai, si Ucok pun membukakan pintu itu. Dasar orang sedang mabuk, agak lama dia membuka pintu itu karena kuncinya tidak pas pada lubangnya.
“Hey, Badak! Cepat buka …!” teriak Berta
“Bruk!” tubuh si Ucok terjatuh karena mabuk berat, selanjutnya dia terkapar tidur.
“Dimas …, Dimas sayang …, bagaimana pestamu? Ahahhaha …” sapa Berta
“Berta, cepat keluarkan aku dari sini, aku sudah gak kuat lagi Berta.” teriak Dimas dari dalam ruangan gelap.
“Sabar sayang, Kamu akan aku keluarkan dari tempat pesta itu, kita akan pindah ke tempat pesta lain, ahaha.” ucap Berta masih dalam keadaan mabuk berat.
Ketika pintu itu terbuka, ada sinar terang yang membantu penglihatan Dimas. Dimas langsung beraksi. Dia sangat paham dengan situasi yang sedang terjadi. Keadaan itu dia manfaatkan untuk menghabisi Berta. Tangan Berta ditarik ke dalam ruangan. Secepat kilat pandangannya melihat ada benda panjang terbuat dari besi, tak berpikir terlalu lama, diambilnya benda itu, lalu dihantamkan ke tubuh Berta.
Tak ada suara jeritan dari mulut Berta. Karena sekali hantam, Berta langsung ambruk, tertelungkup di lantai. Kesempatan ini tidak disia-siakan Dimas. Dimas segera keluar dari kamar gelap itu. Dibiarkannya Berta di dalam kamar itu. Tubuh Berta ditutupi benda-benda yang ada di sekitar ruangan itu. Lalu pintu itu dikunci dari Luar.
“Hm … mampus kau Berta! Rasakan itu pembalasan dariku!” geram Dimas dalam hati. Dimas merasa heran, kenapa Berta serapuh itu. Hantaman yang dia berikan sebenarnya tidak terlalu keras, apalagi tubuh Berta begitu kokoh. Perlu seribu hantanam untuk merobohkan tubuh Berta.
Dimas ingin segera kabur dari tempat itu. Sempat terpikir olehnya untuk mengambil semua benda berharga milik Berta. Dimas pun beraksi kembali. Semua barang berharga dikurasnya sampai habis. Dia bisa dengan leluasa beraksi karena smua orang sedang terpakar mabuk berat.
Setelah berhasil membuat Berta ambruk, Dimas pun kabur meninggalkan rumah Berta.
***
Keesokan harinya rumah Berta tampak sepi. Tidak ada aktifitas sebagaima biasanya. Pagi itu semua penghuni rumah itu masih tertidur pulas. Pesta pora semalam suntuk sudah membuat suasana berantakan. Hanya Bi Ningrum, seorang pelayan yang sudah bangun. Bi Ningrum memang tidak ikut mabuk semalam. Dia sudah tidur sejak pukul sembilan malam.
“Waduh, sudah sesiang ini belum pada bangun. Ih, berantakan sekali, Bau apa ini?” guman Bi Ningrum sambil mengendus aroma kurang sedap di sekitar ruangan itu.
“Hm …, mereka rupanya pada mabuk berat.” ucap Ningrum kemudian.
Ningrum pun segera membangunkan orang- orang yang masih tergeletak tidur di mana saja. Satu per satu mereka menggeliat, lalu tersadar dari kantuknya. Bi Ningrum segera mengingatkan mereka agar segera kembali bekerja sesuai posnya masing-masing.
“Ayo bangu! Bangun .., bangun! Kerja …, kerja! Waduh kalian ini bagaimana, tidur kok kaya kebo, kalau Bu Berta tahu kalian masih begini, hancur deh kalian.” ujar Bi Ningrum.
Beberapa jam kemudian, suasana di rumah Berta pun kembai seperti biasa. Semua orang sudah berada pada posnya masing –masing. Namun, ada kejanggalan yang membuat Bi Ningrum curiga. Dia tidak melihat Bu Berta dan Dimas di rumah itu. Satu persatu ditanyainya. Semuanya hanya menggelengkan kepala.
Kecurigaan Bi Ningrum semakin mendalam, ketika dia tidak mendapatkan keduanya sampai sore hari. Semua orang mencari keberadaaan Berta dan Dimas. Si Ucok baru tersadar, bahwa Dimas sedang disekap ruangan gelap. Ia pun segera menuju kamar itu. Dia hendak masuk ruangan itu, tapi masih terkunci.
“Ya,aku ingat, kemarin aku menyekap Dimas di ruanagan ini. Bagaimana Kawan, apakah kita dobrak saja pintu ini? Mungkin si Dimas masih tertidur di ruangan ini.” ujar ucok kepada teman-temannya.
“Loh, bukannya Kamu yang pegang kunci kamar itu?” tanya Bi ningrum.
“Aku lupa Bi, dimana kunci itu kutaruh, semalam aku mabuk berat, hingga aku tak sadarkan diri. Sudahlah kita dobrak saja, aku curiga sejak pagi tadi aku tidak mendengar suara teriakan si Dimas minta tolong, atau mungkin dia sudah mulai menikmati pesta di runagan ini?” ucap Ucok dengan gaya meledek
“Ya, kita dobrak saja, siapa tahu si Dimas itu pingsan di dalam.” jawab si Doni salah seorang pekerja di rumah itu
“Jangan! Kita tunggu perintah Bu Berta dulu. Kalian tahu sendiri, bagaimana watak dia jika kita bekerja tidak sesuai dengan perintahnya, wah alamat gunjang ganjing rumah ini. Sudah, sudah kita bubar saja, kita tunggu perintah Bu Berta saja.” ujar Bi Ningrum
“Menunggu sampai kapan Bi? Sampai sekarang kita belum bertemu dengan Bu Berta. Apakah Bu Berta pergi dengan si Dimas? Ah, tidak mungkin, semua mobil ada di garasi. Mereka tidak mungkin jauh-jauh dari rumah ini. Ya sudah kita tunggu saja sampai besok.” Ucok mengomandoi semuanya.
***
Hari berganti hari, hingga sampailah pada hari ke tiga belas. Kabar tentang menghilangnya Dimas dan Berta menjadi sebuah misteri. Kegelisan menyergap semua orang yang ada di rumah itu. Tak ada satu orang pun yang berani membuka pintu ruangan itu. Hingga bau busuk menyengat hidung mulai tercium.
Akhirnya meraka berunding dan sepakat untuk mendobrak pintu ruang sekap itu. Dan …, apa yang terjadi? Sontak semua orang terbelalak melihat apa yang terjadi di ruagan itu. Tikus-tikus menyambutnya dengan penuh suka cita. Kecoa berhamburan. Bau busuk menyengat semakin kuat.
Mayat Berta tergeletak dengan wujud yang menyeramkan. Semua orang merasakan mual yang teramat hebat. Muntah berhamburan dimana saja.
Di luar dugaan, Mereka mengira itu adalah mayat Dimas yang dibunuh oleh Berta. Lalu Berta kebur melarikan diri karena merasa takut. Tapi kenyataannya yang tergeletak di lantai itu adalah mayat Berta. Lalu kemana si Dimas?
Kejadian ini langsung ditangani oleh pihak yang berwajib. Kampung Sukamiskin geger dengan berita kematian Berta. Hilangnya Dimas pun menjadi gosip utama warga kampung itu. Dimas tidak diketahui keberadaannya.
(telah diposting di arumliterat.blogspot.com)