Bab 6
Derita Aisyah
Setelah Sutinah ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa, Aisyah hidupnya semakin menderita. Ia tinggal bersama adiknya di rumah tanpa ada orang dewasa yang menemani. Dimas, selaku bapaknya tidak setiap hari datang ke rumah, karena dirinya sudah terjajah oleh keegoannya. Dimas lebih disbukkan dengan Bu Berta
Bi Onah, tetangga terdekat Aisyah, setiap hari selalu datang ke rumah Aisyah sekadar melihat kondisi dua bocah yang hidupnya serba kekeurangan. orang- orang sekitar pun banyak yang memberi bantuan makanan alakadarnya.
Banyak yang menawari Aisyah untuk tingal bersama mereka, tapi Aisyah menolaknya. Dia tidak mau merepotkan banyak orang, apalagi menjadi beban orang lain. Aisyah sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih ada emaknya, karena emak tak berdaya.
“Aisyah, tinggallah bersama bibi, bibi kasihan melihat Kamu hidup berdua sama adikmu yang masih kecil, apa Kamu tidak merasa cape, tiap hari harus bekerja mengurusi adikmu, mencuci pakaian sendiri, masak, sedangkan anak-anak seusiamu asyik bermain dan sekolah.” Kata Bi Onah membujuk Aisyah.
“Gak Bi, biar Aisyah tinggal di rumah ini saja bersama dede, kalau Aisyah tinggal di rumah Bibi, nanti siapa yang mengurus rumah ini, terus nanti kalau emak pulang, pasti emak nyari Aisyah, kasihan emak Bi.” jawab Aisyah jujur.
Bocah sekecil Aisyah, sudah mempunyai pandangan hidup. Dalam keadaan terhimpit pun, dia masih saja memikirkan emaknya. Aisyah terpaksa harus hidup terpisah dari emak karena keadaan yang mendesak. Emak yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya selalu menjadi penyemangat hidup.
“Bibi jangan terlalu khawatirin Aisyah, Aisyah gak merasa cape kok Bi, lagian juga bapak suka datang bawain makanan buat Aisyah dan adik.” jawab Aisyah sambil sesekali mengipas-ngipaskan kain untuk adiknya karena kegerahan.
“Ya sudah kalau Kamu gak mau diajak tiggal bareng tinggal sama bibi. Bibi juga gak maksa. Bibi cuma khawatir, takut kalau kamu kenapa-kenapa … Oh ya, sekarang bibi punya TV loh, lumayanlan buat hiburan. Kalau Aisyah mau nonton datang saja ke rumah bibi, ya!” kata Bi Onah membujuk Aisyah.
Mendengar Bi Onah punya TV, matanya berbinar-binar. Sudah lama Aisyah ingin melihat TV. Selama ini dia hanya mendengar cerita dari orang. Itupun cerita dari hasil menguping omongan orang-orang yang kebetulan sedang ngobrol.
“Apa Bi? titpi? Waah …! aku mau, aku mau Bi, sudah lama aku ingin liat tipi, ayo Bi sekarang kita ke rumah bibi.” ucap Aisyah sambil bergegas bersiap-siap berangkat.
“Eh, tunggu dulu Aisyah, ini adikmu gimana? Masa mau ditinggal sendirian, ayo bawa adikmu juga, jangan lupa bawa sekalian baju gantinya.” kata Bi Onak mengingatkan Aisyah.
Tapi Bi Onah tak tega melihat Aisyah harus mengendong adiknya. “Sini, biar bibi yang gendong adikmu, kamu bawa saja peralatan seperlunya.” Lalu mereka pun berangkat menuju rumah Bi Onah.
Setibanya di rumah Bi Onah, Aisyah langsung duduk di hadapan tipi. Aisyah merasa terkagum-kagum. Wajahnya memancarkan kegembiraan yang tak terkira. Televisi berukuran 17 inci yang terletak di sudut ruangan rumah Bi Onah, bagi Aisyah itu adalah pemandangan yang menakjubkan, karena sebelumnya Aisyah tidak pernah membayangkan seperti apa tayangan televisi itu.
Dalam tayangan TV itu kadang terlintas ada teks yang harus dibaca. Aisyah tidak mengerti tulisan apa yang ada dalam tayangan itu. Merasakan hal seperti itu, Aisyah semakin mengebu ingin belajar membaca.
“Ah! Aku tak mengerti tulisan apa itu? Aku ingin bisa baca, biar aku ngerti nama makanan atau minuman yang dibawa bapak. Aku malu bertanya terus sama bapak. Tapi, bagaimana aku bisa baca, kalau sekolah saja tidak.” ucap Aisyah dalam hati.
“Nanti kalau bapak pulang, aku mau bicara sama bapak, aku mau sekolah, biar bisa baca …. tapi, kalau aku sekolah, nanti dede bayi sama siapa? Apa mau Bi Onah ngurud dede? Aisyah bicara sendiri dalam hati.
Hari hari selanjutnya Aisyah selalu ke rumah Bi Onah. Nonton televisi adalah hiburan yang sangat menyenangkan bagi Aisyah. Namun kesengan itu tidak berjalan lama. Asep, anaknya seusia Aisyah merasa tidak nyaman dengan kedatangan Aisyah setiap hari nonton televisi di rumahnya.
Asep memiliki tubuh yang tambun, hitam dan bermata besar. Jika sedang marah, orang-orang merasa takut, karena ada saja benda yang dilempar. Walaupun masih anak- anak, karena tubuhnya yang besar, Asep nampak seperti orang dewasa.
“Hey! Aisyah, apa Kamu tidak bosan, hah! Tiap hari kerjanya nonton saja! Adikmu juga, buat kotor rumah saja. Ayo! Sana pulang. Brisik tahu!” bentak asep sambil bertolak pinggang.
Belum juga Aisyah berkemas pulang, Asep membentak lagi, “Eeh …, ini anak gak bisa dibilangin ya. Kamu budeg apa? Ayo pulang …, pulang sanah!” Kali ini Asep membentak sambil mengacungkan sapu. Sapu itu hendak dipukulkan ke Aisyah.
Aisyah kaget bukan kepalang. Dia langsung membereskan perlengkapan adiknya hendak segera pulang. “I … iya, Sep, aku akan segera pulang. Maaf Aisyah sudah ganggu ya?” jawab Aisyah ketakutan
Melihat gelagat seperti itu Aisyah pun segera berkemas. Saat itu Aisyah lupa, kalau pukul dua belas, Asep pulang dari sekolah. Biasanya Aisyah pulang dari rumah Bi Onah sebelum Asep datang. Dasar apes, Aisyah ketahuan Asep nonton TV.
Melihat kejadian seperti itu, Bi Onah merasa tidak enak hati kepada Aisyah. Dilerainya Asep ketika memarahi Aisyah. “Asep! Kamu ini apa-apaan sih? Kebiasaan Kamu ya, bentak-bentak seenaknya. Kasihan kan Aisyah.” kata Bi Onah melerai Asep.
“Loh, mamah kok malah belain si Aisyah sih. Tuh! Lihat Mah, rumah kita berantakan dan kotor kan, gara-gara si Aisyah dan adiknya itu.” jawab Asep sambil menunjuk – nunjuk perlengkapan Aisyah yang tergeletak di lantai.
“Ya sudah, nanti juga Aisyah rapikan lagi, dia udah biasa kok begitu.” bela Bi Onah.
“Gak mau, pokoknua Asep mau dia pergi. Ih! Asep sumpek lihat mereka! ucap Asep bertambah marah.
“Asep!” Bi Onah pun balik membentak Asep
“Sudah Bi, gak apa-apa Aisyah pulang saja, lagian ini udah siang kok, udah waktunya salat dzuhur, maapin Aisyah ya sudah bikin kotor di rumah bibi, Aisyah pulang Bi, assalamualaikum” kata Aisyah.
“O ya Aisyah, untung Kamu ngingetin Bibi, Bibi juga belum salat dzuhur. Maapin si Asep ya, jangan diambil hati, dia memang suka begitu kalau ada maunya, sudah lama si Asep itu ingin dibeliin hape. Maapiin dia ya Aisyah.” Kata Bi Onah.
Aisyah pun pulang bersama adiknya dengan perasaan kecewa. “Dek, kita pulang ya …, coba di rumah kita ada tipi y, kita nggak usah repot-repot nonton di rumah orang. Hmm …, tapi apa mungkin kita punya tipi ya Dek, listrik aja kita ga ada”
Dari kejauhan Aisyah melihat asap hitam mengepul tinggi. Beberapa orang berlari menuju arah asap itu. “Kebakaran …, kebakaran …!”
“Hah, kebakaran? Rumah siapa yang kebakaran?” tanya Aisyah dalam hati.
“Itu … itu sepertinya … deket rumahku, jangan –jangan …,” Aisyah mulai curiga. Kecurigaan Aisyah bertambah ketika beberapa orang ada yang berteriak “Aisyah …! Aisyah dimana?”
Aisyah pun berlari menuju rumahnya. Sekujur tubuh Aisyah terasa lemas. Dia melihat rumahnya sudah habis dilalap si jago merah. Tak ada barang yang tersisa. Semuanya hangus terbakar. Aisyah menagis sambil memeluk erat adiknya.
“Dek, gimana ini? rumah kita kebakaran, hu …hu hu…, dimana kita tinggal sekarang. Kakak gak tau harus kemana. Hu..hu..hu” ucap Aisyah lirih.
“Bapaak …, emaaa …, tolooong!” teriak Aisyah.
“Oaa …, oaa ….” adik bayi pun seolah turut merasakan kepanikan suasana pada saat itu.
Aisyah berteriak meminta tolong. Namun, tak seorang pun yang memperhatikan teriakannya. Semua orang sibuk memadamkan api. Jerit tangis Aisyah dan adiknya tak dihiraukan.
Nasib Aisyah begitu tragis. Kesengsaraan yang begitu menghimpit rupanya tak cukup untuk menguji kehidupan Aisyah. Seorang bocah yang selalu ditimpa musibah. Namun, ia tetap tegar menghadapi semua ujian dari Allah.
(telah diposting di arumliterat.blogspot.com)