Romantika Aisyah 2

Romantika-Aisyah.jpeg

Bab 2
Dasar Bocah!
Selepas salat magrib, Aisyah segera membuka bingkisan makanan dari Bu Berta. Tangannya sedikir gemetar karena sudah tidak tahan menahan lapar seharian. “Hm …, makanan apa ini Bah, aku belum pernah liat sebelumnya, apakah ini halal untuk dimakan?” sejenak Aisyah menahannya, karena merasa asing dengan makanan yang diterima dari Bu Berta.
Abah yang sejak tadi duduk sila menunggu Aisyah salat, segera melihat bingkisan makanan itu. “Coba, sini abah lihat!” seru abah penasaran. Tampak abah pun kebingungan. “Ya sudah makan saja, Kamu kan belum makan sejak kemarin siang.” jawab abah
“Kok ga ada nasinya ya Bah, tapi baunya sedap sekali.” Awalnya Aisyah ragu-ragu, dicicipinya makanan itu sedikit demi sedikit. Karena terasa enak, Aisyah akhirnya menyantap makanan itu dengan lahap. Abah hanya memandangi Aisyah makan. Abah sangat terharu melihat Aisyah makan dengan lahap.
“Abah ga makan? Enak loh Bah, ini Aisyah potongin buat Abah ya.” kata Aisyah sambil mengunyah makanan. Lalu memotong sekerat makanan itu, dan diberikannya untuk abah. Abah pun mengambil potongan makanan pemberian Aisyah. Tidak langsung dimakan. Dilihatnya makanan itu dari arah kiri, kanan, atas dan bawah. Lalu dicuimnya perlahan makanan itu. Kemudian makanan itu diletakkan kembali.
“Loh, kenapa gak dimakan Bah?” tanya Aisyah heran. Aisyah pun berhenti mengunyah. “Abah gak suka? Abah juga lapar kan?” Abah mengegelengkan kepalanya. “Abah sudah kenyang, sudah makan tadi di rumah Bu Berta, ini buat Kamu saja.” jawab abah tenang. Tubuhnya ringgkih menahan sakit, tapi disembunyikan agar tidak ketahuan Aisyah.
Begitulah hati orang tua, terkadang dalam kondisi tertentu, orang tua harus menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Sebenarnya abah pun lapar. Namun, melihat Aisyah begitu lahap makan, abah rela jatah makanannya diberikan untuk Aisyah”
“Bener nih Abah nggak mau? Ya sudah buat Aisyah saja ya, asyiik … makan makan.” sorak Aisyah girang karena dapat jatah makanan lebih. Wajah Aisyah persis seperti boneka sinchan karena mulutnya penuh makanan. tak henti-hentinya Aisyah makan sampai akhirnya dia terhenti ketika abahnya mengingatkan.
“Aisyah …! Kok makannya semulut-mulut gitu Nak, jelek ah … kurang baik itu.” kata abah mengingatkan Aisyah. Seketika Aisyah menghentikan makannya. Kecepatan mengunyahnya diperlambat.
Tak terbayang sebelumnya Aisyah akan mendapat makanan selezat itu. yang ada dalam benaknya, ia akan makan nasi dan ikan asin seperti biasanya. Itupun sudah sangat istimewa. Bagi Aisyah, makanan itu adalah makanan terlezat yang belum pernah ia makan sebelumnya. Inilah yang dinamakan rezeki, datangnya tak pernah terduga.
Tiba-tiba Aisyah menghentikan makannya dan bertanya, “Bah, kira-kira emak sudah melahirkan belum ya, bapak belum ngasih kabar?” Abah hanya mengelengkan kepala sambil tersenyum kecut.
Melihat respon abah yang hanya menggelengkan kepala, Aisyah lagsung paham. Dilihanya tulisan yang tertera dalam kemasan dus. Dalam hatinya berpikir, seandainya dia bisa membaca tulisan yang tertera dalam dus itu, mungkin dia akan tahu nama makanan itu.
“Bah, nanti kalau bapak sama emak pulang, Aisyah pengen dibeliin makanan ini lagi ya Bah, Aisyah suka banget Aisyah. Hmm … tulisan ini pasti nama makanan ini kan Bah? Coba Aisyah sekolah ya Bah, Aisyah pasti bisa baca tulisan ini” kata Aisyah sambil menunjukkan tulisan pizza hut.
Mendengar celotehan cucunya abah hanya tertegun. “Aisyah, sabarlah sedikit, nanti pun kalau sudah waktunya Kamu pasti sekolah, sekarang bantulah dulu emakmu di rumah, apalagi sekarang Kamu mau punya adik, pasti emakmu sangat repot dan membutuhkan baantuannu.” Abah berusaha memberikan penjelasan kepada Aisyah.
“Tapi Bah, teman-teman Aisyah semuanya sudah sekolah, bahkan teman Aisyah yang umurnya di bawah pun sudah sekolah.” ucap Aisyah manja. “Setiap hari mereka pergi ke sekolah lewat depan rumah, rasanya Aisyah pengen segera sekolah.” Aisyah merajuk kembali.
Ada perasaan minder pada diri Aisyah, karena sudah berusia sembilan tahun masih belum masuk sekolah. Padahal keinginan untuk sekolah sangat menggebu. Tapi dia harus sadar diri, masuk sekolah hanyalah angan angan, karena kondisi keluarga yang sangat memprihatinkan.
Selepas berbuka puasa, seperti biasanya Aisyah mengaji. Dibukanya helai demi helai Al-Quran kesayangannya. Sejak usia enam tahun Aisyah sudah pandai membaca Al-Quran. Emaknya yang mengajarkan setiap setelah salat magrib.
“Aisyah, kenapa gak ke mesjid belajar ngajinya?” tanya abah.
“Gak Bah, biar Aisyah di rumah saja ngajinya. Aisyah malu sama teman-teman, mereka selalu menanyakan kenapa aku belum juga masuk sekolah.” jawab Aisyah di sela sela ngajinya.
Mendengar jawaban cucunya seperti itu, abah pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada rasa sesal pada diri abah karena sudah menanyakan hal yang memancing rasa kasihan pada diri Aisyah. Akhirnya abah hanya mendengarkan Aisyah mengaji sambil menunggu datangnya waktu salat Isa.
Malam semakin larut. Aisyah masih belum beranjak dari tempat duduk. Tak banyak kegiatan yang dilakukan Aisyah. Pandangannya selalu tertuju pada pintu. Dia berharap emaknya segera pulang. Biasanya waktu malam hari, Aisyah berkumpul bersama ema dan bapaknya. Aisyah selalu asyik mendengarkan percakapan emak dan bapak sampai akhirnya tertidur pulas. Bagi Aisyah percakapan emak dan bapaknya ibarat lantunan lagu nina bobo penghantar tidurnya.
Malam ini tidak ada lagu penghantar tidur. Aisyah hanya duduk termenung, sambil menatap lentera yang sejak sore tadi setia menemani Aisyah mengaji. Suara jangkrik terdengar seakan turut menemani hati Aisyah yang sedang gelisah.
“Sudah malam, ayo pergi tidur sana!” perintah abah
“Aisyah belum ngantuk Bah, Aisyah mau menunggu emak pulang.” jawab Aisyah perlahan.
“Nanti kalau ada kabar tentang emakmu, abah kabari ….”
“Gak, Aisyah gak akan tidur sebelum emak pulang, bapak juga kenapa sih bapak gak pulang-pulang, hiks … hiks.” isak Aisyah. Akhirnya Aisyah pun tak dapat membendung kesedihannya. Dia selalu teringat sama emak dan bapaknya yang sejak kemarin belum jelas kabarnya.
“Ssh ssh ssh …, sudah sudah, jangan nagis gitu ah, kasihan nanti emakmu di rumah sakit juga keingaetan Kamu terus … sudahlah Kamu tidur saja. Besok kan Kamu diajak Bu Berta ke rumah sakit.”
“Kalau Aisyah tidur, nanti abah pulang, terus Aisyah di rumah sendirian, Aisyah takut Bah sendirian tinggal di rumah.” kata Aisyah memelas. Seperti ada firasat buruk, malam ini suasana begitu mencekam.
“Nggak, abah gak akan pulang, abah mau nemenin Aisyah di sini.” ucap abah. Akhirnya Aisyah pun beranjak dari tempat duduknya kemudian masuk ke kamarnya, tidur.
Hati Aisyah masih gelisah, walau matanya dipaksakan untuk dipejamkan, tapi keukeuh saja kantuk itu belum juga datang. Aisyah pun teringat pesan emaknya, agar berdoa dulu sebelum tidur. Diucapkannya doa sebelum tidur. Bismika allahumma ahya wa bismika amuut. Dengan menyebut namamu ya Allah aku hidup dan mati.
***
“Huaah ….” Aisyah mengeliat. Hari ini Aisyah bangun lebih awal. Belum terdengar suara adzan. Aisyah sudah tidak sabar ingin segera berangkat ke rumah sakit. Ajakan Bu Berta terus saja terngiang ngiang di telinga Aisyah. “Ah, semoga saja Bu Berta tidak lupa dengan ajakannya. Hari ini aku akan bertemu emak, mak …, sabar ya, Aisyah akan segera jenguk emak.” guman Aisyah dalam hatinya riang.
“Alhamdulilahiladzii ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihinnusyuur”doa Aisyah ketika bangun tidur. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami sesudah mati, membangunkan kami dari tidur dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan. Itulah makna dari doa yang diucapkan Aisyah ketika bangun tidur.
Aisyah pun mencari abah. “Oh, ternyata benar kata abah. Abah gak pulang.” Seulas senyum tersungging di bibir Aisyah melihat abahnya masih ada di rumahnya. Aisyah pikir abahnya akan pulang saat dia tertidur. Aisyah tidak mau kejadian seperti kemarin. Ditinggal sendirian di rumah.
Seperti biasanya, Aisyah mengambil air wudhu di sumur yang terletak di bagian luar rumah. Hawa dingin terasa menusuk tubuh Aisyah. Tapi Aisyah sudah terbiasa dengan cuaca seperti itu. Dinginnya udara dini hari, tak membuatnya malas untuk melaksakan salat Subuh.
“Bah, bangun, salat Subuh yuk!” kata Aisyah sambil membangunkan abahnya. Tak ada sahutan dari abah. Kembali Aisyah mengajak abahnya untuk bangun “Baah, bangun Bah!”
“Hm …, mungkin abah kecapean, kemarin abah kan seharian bekerja di rumah Bu Berta membetulkan genting yang bocor, padahal abah sudah tua, tapi masih saja mau kerja ini itu, ah abah abah.” Begitu Aisyah berkata dalam hati sambil memandang abahnya yang tertidur pulas.
Lama kelamaan Aisyah merasa curiga. Kenapa abahnya tidur begitu nyenyak. Posisinya terlentang kaku. Nyaris tak bergerak. Selaku bocah Aisyah memang tak paham tentang kehidupan. Diabaikannya abah yang terbujur kaku. Aisyah pun melasanakan salat subuh, karena sudah waktunya.
Usai salat Subuh, Aisyah pun seperti biasanya mengaji Al-Quran. Sesekali Aisyah melihat abahnya yang masih tertidur pulas. Karena hari sudah semakin siang, Aisyah pun kembali membangunkan abah. Kali ini Aisyah menggoyang-goyangkan tubuh abah cukup kuat. Namun, tetap saja tak ada reaksi dari abah.
Aisyah semakin cemas. Kali ini Aisyah agak berteriak, “Bah …! Abaaah … bangun Bah.” Abah masih membisu. Wajahnya pucat pasi. Aisyah semakin cemas. Tidak tahu harus bagaimana cara membangunkan abah. Dasar bocah, dibiarkannya abah yang masih tidur terlentang.
“Aduh bagaimana kalau si abah tidak bangun-bangun, mungkin si abah tidak melaksanakan salat Subuh. Kata emak, dosa kalau kita meninggalkan salat, nanti masuk neraka, ah … aku tidak mau abah masuk neraka, abah harus bangun, abah harus salat Subuh.” begitu yang ada dalam pikiran Aisyah
“Tapi, kenapa abah gak bangun-bangun? Apa saking capenya ya? Duh gimna ini?” Aisyah mulai panik, tidak tahu harus berbuat apa. Aisyah hanya duduk di sisi abah yang tertidur pulas. Dipijatnya kaki abah perlahan, dengan memijat kaki abah, Aisyah berharap abahnya bangun.
Kepanikan Aisyah semakin menjadi ketika abah masih saja belum bangun, padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih. Belum juga pudar rasa cemas pada emaknya, sekarang kecemasan Aisyah bertambah dengan melihat kondisi abah yang tidak mau bangun. Aisyah terus saja memijat kaki abah.
“Aisyah …, Aisyah ….” terdengar dari luar rumah suara Bu Berta memanggil manggil Aisyah. “Ayo kita ke rumah sakit, Kamu sudah siap kan?” seru Bu Berta.
“Iya Bu, masuk saja dulu.” jawab Aisyah.
“Gak usahlah, ayo cepat Nak, kita harus berangkat pagi-pagi.” kata Bu Berta.
“Iya, sebentar Bu …, Aisyah siap-siap dulu.” jawab Aisyah. Saking merasa gembiranya Aisyah langsung melepaskan pijatan kaki abah. Dia langsung berpakaian yang agak layak, dan keluar menemui Bu Berta.
“Kita jadi berangkat sekarang, Bu?” tanya Aisyah berbinar-binar.
“Ya jadi dong, ibu kan sudah janji hari ini mau menjenguk ibumu di rumah sakit, kita berangkat sekarang, yuk!” jawab Bu Berta sambil menarik tangan Aisyah.
“Eu … tunggu-tunggu, tunggu dulu Bu, aku belum pamit sama abah, tapi … gimana ya Bu, abahnya gak mau bangun-bangun, padahal Aisyah sudah membangunkan abah berkali-kali, terus … kaki abah juga sudah Aisyah pijat-pijat, abah tetep saja tidur, bentar ya Bu ….” kata Aisyah sambil melepas pegangan tangan Bu Berta. Bu Berta pun seketika menghentikan langkahnya.
“Apa? sudah sesiang ini abah belum bangun?” ucap Bu Berta kaget.
Spontan Bu Berta masuk ke rumah Aisyah. Padahal Bu Berta sebelumnya tidak pernah mau kalau disuruh masuk ke rumah Aisyah. Alasannya karena rumah Aisyah sumpek dan tidak ada tempat yang layak untuk dijadikan tempat duduk.
Bu berta sangat terperanjat melihat abah terlentang tidur kaku. Wajahnya pucat. Dengan perasaan tak menentu, perlahan Bu berta menempelkan tangannya di depan lubang hidung abah. Kemuadia dia meraba seluruh tubuh abah.
“Astagfirullah al’azim, tidak! Ini tidak mungkin” ucap Bu Bertta pelan nyaris tak terdengar. Tak percaya dengan semua yang terjadi atas diri abah, Bu Berta kembali memeriksa kondisi tubuh abah. Rasa kaget Bu Berta akhirnya tak bisa disembunyikan. Kepanikannya membuat Aisyah terpancing.
“Bu, kenapa abah?” tanya Aisyah
“Eu …, anu …, a … abah, aduh gimana ini Aisyah, ibu juga gak tahu kenapa abah, sebentar ibu mau panggil dulu pak ustad ya, untuk memastikan kondisi abah.” ujar Bu Berta panik. Aisyah pun merasa cemas, dalam hatinya bertanya-tanya. “Kenapa abah, ah …, jangan- jangan abah … tidak! Abah pasti bangun, abah baik-baik saja.”
Beberapa saat kemudian Bu Berta kembali bersama pak ustad dan beberapa warga kampung. Aisyah heran, mengapa begitu banyak orang yang datang. Dia pikir mengapa hanya untuk membangunkan abah harus melibatkan orang banyak, ah dasar bocah.
Orang- orang tampak sibuk membangunkan abah. Bu Berta membawa Aisyah keluar rumah. diajaknya Aisyah duduk berhadapan. Dibelainya rambut Aisyah dengan lembut, dipandanginya dengan tatapan sendu, sambil berkaca-kaca Bu Berta berucap “Aisyah sayang …,” tak tahan melanjutkan perkataannya, Bu Berta langsung memeluk Aisyah dengan erat.
Dalam kebingungan Aisyah hanya bisa tertegun atas apa yang terjadi. “Bu, ada apa dengan abah, hiks … hiks?” tanya Aisyah dalam tangisnya. “Abah baik-naik saja kan?”
Pecahlah tangis Bu Berta karena tak kuasa menahan rasa iba pada Aisyah. “Sabar ya Nak, abah …, abah sudah pergi.”
Bagai mendengar halilintar di siang bolong. Aisyah tak percaya atas pernyataan Bu Berta. Aisyah pun menghambur ke dalam rumah, menemui abahnya. “Abaaah …” sambil meronta-ronta Aisyah pun menangis sejadi jadinya. Terdengar jelas orang – orang mengucapkan innalillahi wainnalillahirojiun.

(Visited 88 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan