Romantika Aisyah 13

Romantika-Aisyah.jpeg

Bab 13
Kejamnya Ibu Tiri
“Aisyah bangun, kita sudah sampai.” bisik Dimas pada Aisyah
Aisyah terbangun dari tidurnya.Cukup lama dia tenggelam dalam tidurnya, hingga tak terasa sudah sampai di tempat tujuan. Aisyah pun turun dari mobil. Dengan langkah gontay Aisyah mengikuti langkah bapaknya masuk ke rumah yang mentereng. Rasa kantuk pun hilang seketika.
“Rumah siapa ini, Pak? Bagus banget” tanya Aisyah penuh rasa takjub.
“Ini rumah Tante Meyda, bapak tinggal di sini juga. Mulai sekarang, Kamu akan tinggal di sini, gimana … mau kan? Ayo kita masuk” ajak Dimas.
Aisyah tidak banyak bertanya. Rasa kantuknya kembali menyerang. Aisyah hanya mengikuti perintah bapaknya. Dengan langkah ragu-ragu dia masuk ke rumah bertingkat itu. Aisyah memandangi keadaan sekeliling rumah. Dibukanya sandal yang sejak tadi melekat di telapak kaki Aisyah.
“Pakai saja sandalnya.” kata Dimas
“Gak Pak, sandalnya kotor, Aisyah malu.” bisik Aisyah.
Tente Meyda langsung masuk ke kamarnya. Tak ada percakapan malam itu. Perjalanan pulang pergi dari Jakarta ke Kampung Sukamiskin begitu melelahkan. Dimas duduk berdua di teras bersama Aisyah.
“Kita duduk dulu di sini ya, ada yang ingin bapak ceritakan sama Kamu.” kata Dimas sambil memegang pundak Aisyah.
“Aisyah, bapak rasa kamu bisa mengerti, mengapa Kamu dibawa ke sini. Ya, memang sudah waktunya Kamu harus tinggal di sini. Maafkan bapak selama ini tidak pernah menjenguk Kamu di kampung. Bapak takut ketahuan orang-orang, karena Bu Berta meninggal setelah dipukul bapak, padahal bapak tidak berniat untuk membunuhnya. Tapi sepertinya bapaklah yang menjadi tersangka kematian Bu Berta.”
“Selama ini bapak menghindar bertemu dengan orang-orang yang mengenal bapak, makanya bapak pergi jauh dari kampung kita, Aisyah mengerti kan?” ucap Dimas lirih.
“Setelah mengantarkan emakmu pulang dari rumah sakit jiwa, bapak merantau ke Jakarta, hingga akhirnya bertemu dengan Tante Meyda. Bapak bekerja di kantornya, bahkan bapak diangkat menjadi manager di kantor Tante Meyda. Rumah, mobil, dan semua yang ada di rumah ini adalah fasilitas dari kantor, untuk bapak,”
“Aisyah, sudah lama kamu hidup menderita, sekarang kekayaan nampak di depan mata. Aisyah…, maafkan bapak kalau harus mengkhianati emakmu, tidak ada jalan lain. Cara ini harus bapak tempuh, ini juga demi kita, Aisyah.”
“Maksud bapak menghianati emak? Aisyah gak ngerti.”
“Ya, semua ini akan menjadi milik bapak kalau …, ka … kalau bapak menikahi Tante Meyda.” Sesaat Dimas terhenti bicara. ”Dia sangat mencintai bapak.”lanjutnya kemudian
“Bapak juga mencintai Tante Meyda? Perempuan sipit itu?” tanya Aisyah heran.
“Sssst …., jangan keras-keras, nanti kedengaran Tente Meyda.” ucap Dimas sambil menempelkan jarinya ke bibir Aisyah.
“Hm …, entahlah, bapak besok akan menikah dengan Tante Meyda. Bapak harap Kamu mengerti ya Aisyah, semua ini bapak lakukan demi masa depan Kamu, emakmu, juga adikmu. Kamu harus tahu itu.” ucap Dimas perlahan.
Mendengar penjelasan bapaknya seperti itu, Aisyah hanya bisa pasrah. Dia tidak mengerti apa rencana bapaknya. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah emak dan adiknya. Bagaimana nasib mereka sekarang.
“Pak, apakah emak tahu bapak mau menikah lagi?” tanya Aisyah
“Diusahakan jangan sampai tahu, makanya emak dan adikmu tidak dibawa kemari. Nanti kalau sudah waktunya, bapak akan membawa emak sama adikmu juga ke Jakarta. Kita akan berkumpul lagi bersama. Sekarang Kamu nurut saja perintah bapak, paham kan Aisyah.” ucap Dimas sambil memegang bahu Aisyah.
***
Seminggu sudah Aisyah tinggal bersama bapaknya dan Tante Meyda. Kini Tante Meyda sudah resmi menjadi istri Dimas. Pernikahan yang dilakukan secara sederhana telah mengikat hubungan asamara antara Dimas dengan Meyda. Ikatan tali kasih mereka tidak murni berdasarkan cinta yang tulus.
Dimas sebenarnya tidak mencintai Meyda. tetapi karena Dimas mendapatkan fasilitas kehidupan yang mewah, akhirnya Dimas rela mengorbankan perasaanya demi kehidupan yang layak. Untuk menghilangkan jejak dirinya, dia mengganti namanya menjadi Joni. Dengan mengganti namanya, dia lebih leluasa bergerak tanpa merasa takut dicurigai sebagai seorang buronan.
Hidup di Jakarta ternyata tidak seindah yang dibayangkan Aisyah. Apa yang dibayangkannya lain dari kenyataan. Perlakuan tante meyda kepada Aisyah diluar dugaan Aisyah. Perempuan keturunan cina itu memperlakukan Aisyah seperti seorang pembantu. Di hadapan Dimas, Tante Meyda berlagak baik pada Aisyah, tapi jika Dimas sedang tidak ada di rumah, peringainya berubah seperti harimau yang siap menerkam mangsanya.
“Aisyah …! Berani benar Kamu makan di meja itu, hah! Tempatmu bukan di situ! Sana …! Kamu makan di dapur saja sama si bibi.” hardik Meyda. Aisyah terperanjat, dia tidak tahu tiba-tiba Tante Meyda pulang dari kantor tanpa bapaknya.
“Maaf, Bu …, Aisyah lupa …, Aisyah lapar sekali. Sejak pagi Aisyah belum makan.” ucap Aisyah gemetaran karena rasa takut pada Tante Meyda.
“Hey! Ba bu ba bu, enak saja kamu panggil aku, ibu. Emangnya Kamu anakku? Ih, ogah banget aku punya anak kampungan sepertimu. Sudah kubilang jangan panggil aku ibu kalau bapakmu tidak ada, panggil saja tante, ngerti Kamu!” bentak Meyda.
“I …, iya tante, maaf.” ucap Aisyah lirih. Aisyah pun pergi ke dapur untuk melanjutkan makannya. Di dapur nampak si Bi Elis tersenyum sinis menyaksikan Aisyah dihardik oleh majikannya.
“Huh …, rasain loh, suruh siapa Kamu makan di meja itu? Emangnya Kamu siapa? Bikin susah aja. Hey! Aisyah denger ya, sejak ada Kamu di rumah ini, kerjaan bibi tuh jadi nambah. Cucian baju jadi nambah … cucian piring jadi banyak, sebel aku.” ucap Bi Elis.
Malang nasib Aisyah, setelah dihardik oleh ibu tirinya, sekarang malah dilecehkan oleh pembantu. Tak ada seorang pun yang dapat dijadikan tempat berlindung. Aisyah harus menaggung derita ini sendiri.
“Ya Allah kuatkan hati hambamu yang lemah ini, Aisyah tak ingin membuat beban orang-orang yang di sini, Aisyah hanya menuruti keinginan bapak saja, salahkah aku jika turut menikmati fasilitas yang ada di rumah ini? Kenapa mereka begitu jahat padaku. Ya Allah, aku harus bagaimana?” Aisyah berdoa dalam hatinya, sambil terisak. Ya, hanya itu yang dapat Aisyah lakukan.
“Hey! malah bengong, ayo cepat cuci piring itu.” perintah Bi Elis, pembantu rumah tangga Meyda yang selalu berdandan menor.
“I … iya Bi, Aisyah cuci piring-piring itu.” jawab Aisyah degan rasa takut.
Begitulah perlakuan Tante Meyda dan Bi Elis kepada Aisyah. Meyda merasa iri pada Aisyah, karena merasa kasih sayang Dimas terbagi dua dengan Aisyah. Akhirnya Meyda pun memperlakukan Aisyah dengan kasar. Tak ada belai kasih seorang ibu. Yang ada hanyalah kata-kata kasar dan perintah ini itu.
Karena Aisyah sudah terbiasa bekerja di kampung, pekerjaan yang diperintahkan oleh tante Meyda dan Bi Elis dapat dia selesaikan dengan baik. Aisyah tidak berani memberitahukan perlakuan mereka kepada bapaknya, karena mereka mengancam akan memukul Aisyah kalau sampai Dimas tahu.
Namun, sebaik apapun pekerjaan Aisyah, tetap saja Aisyah kena pukul. Ada saja alasan untuk memukul Aisyah. Hingga luka lebam bekas pukulan Tante Meyda tak dapat lagi disembunyikan Aisyah.
Suatu ketika, di saat sore hari Dimas sedang asyik berbincang dengan Tante Meyda. Mereka duduk di kursi sofa berwarna merah tua. Meyda meletakkan kakinya di pangkuan Dimas, dan seperti biasanya Dimas selalu memijat kaki Meyda. Sementara Aisyah asyik mengerjakan PR-nya. Suasana sepertinya nyaman-nyaman saja, padahal melihat situasi sepert itu hati Aisyah bergejolak.
Sesekali Aisyah melirik bapak dan ibu tirinya. Aisyah tidak suka dengan adegan seperti itu.”Ih! bapak, sampai sebegitunya ngikutin keinginan Tante Meyda, harusnya kan bapak yang dipijat, bukan perempuan galak itu, kan yang cape kerja bapak.” gerutu Aisyah dalam hati.
“Joni, setelah kita menikah, rasanya kita belum pergi bulan madu, hm… bagaiman kalau minggu depan kita pergi bulan madu ke luar negeri.” ucap Meyda menggoda. “Bisnis kita bulan ini kan cukup lumayan, aku lihat tabunganmu di rekening juga banyak. Tapi, tenang aja aku gak akan pake uang kamu kok, semuanya biar aku yang nanggung, gimana Jon?” goda Meyda kemudian
“Ya, terserah Kamu saja lah, yang penting Kamu senang.”
“Loh kok Cuma aku yang senang, Kita berdua harus senang dong, Jon.”
“Aisyah, minggu depan bapak sama ibu mau pergi ke luar negeri, gak lama, paling seminggu, Kamu baik-baik di rumah sama Bi Elis, ya.” ucap Dimas
Aisyah tidak segera menjawab, dia sedang asyik membaca buku pelajaran sekolah. Karena tidak ada jawaban dari Aisyah, Dimas pun akhirnya menoleh ke arah Aisyah. Terlihat ada luka lebam-lebam di tangannya.
“Kenapa tanganmu Nak?” tanya Dimas heran. Karena kaget melihat luka lebam di tangan Aisyah, Dimas langsung menghampiri Aisyah. Kaki Meyda pun disingkirkannya. Lalu tangan Aisyah diperiksanya. “Ya ampun, kenapa Kamu gak bilang ke bapak tanganmu luka begini Aisyah? Ini kenapa?” tanya Dimas khawatir.
Aisyah tidak segera menjawab. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aisyah pun langsung melihat ekspresi Tante Meyda. Tante Meyda mengedipka matanya sebagai isyarat, agar Aisyah tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Gak apa-apa Pak, ta …tadi Aisyah kepeleset di kamar mandi” ucap Aisyah berbohong.
“Ini lukanya sudah lama, Mey … kenapa kamu gak perhatikan Aisyah, bukannya Kamu sudah janji mau mengurus Aisyah.” tanya Dimas kepada Meyda.
“Kenapa Sayang, kamu jatoh dimana? Aduh maaf Joni, aku kan juga sibuk di luar, jadi gak sempet ngurusin Aisyah , kan ada Bi Elis, sini Sayang ibu obatin ya, ah … ini gak apa-apa cuma lebam dikit aja kok.” jawab Meyda sambil berlagak sok perhatian pada Aisyah.
Tanpa sepengetahuan Dimas, Meyda memberi isyarat ancaman kepada Aisyah agar tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Dikedipkan matanya sambil melotot, Aisyah mengerti apa maksud dari isyarat yang dilakukan oleh perempuan jahat itu.
Hidup Aisyah sangat tertekan walaupun tinggal di rumah mewah dan fasilitas serba ada. Perasaannya terancam oleh kekejaman ibu tirinya. Aisyah harus menjalani lika liku kehidupan ini penuh dengan duka nestapa.

(Visited 54 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan