Romantika Aisyah 11

Romantika-Aisyah.jpeg

Bab 11
Berkah Kecerdasan
Temaram suasana menjelang magrib sore itu, belum ada penerangan listrik di rumah Aisyah. Penerangan masih menggunakan lentera. Terdengar suara benda jatuh. Sutinah terperanjat.
“Braak …,!”
Sutinah meloncat kaget. Sejak tadi siang Sutinah duduk termenung di depan perapian. Dicarinya sumber suara yang mengagetkan itu. Dengan perasaan cemas Sutinah mencari Aisyah. Dia khawatir, jangan-jangan ada orang iseng yang hendak mengganggu dirinya.
“Aisyah …, Aisyah, dimana Kamu? Kamu dengar suara itu? Suara apa itu, Nak” tanya Sutinah panik.
“Ya Mak, Aisyah di sini.” jawab Aisyah agak berteriak.
Sutinah pun segera menghampiri Aisyah. Dia terbelalak melihat Aisyah sedang memecahkan celengannya. Terlihat uang berceceran. Kebanyakan uang receh logam, ada beberapa lembaran kertas pecahan dua ribu dan lima ribu.
“Aisyah, kenapa dipecahkan celengan itu, Nak? Bukanya itu untuk sekolahmu nanti?” tanya Sutinah heran.
“Nanti? Nanti kapan Mak? Sekarang sudah bulan Agustus, teman-teman Aisyah sudah pada sekolah sejak sebulan yang lalu, Aisyah kapan?” ucap Aisyah sambil menggerutu kecewa.
“Iya, sabar Sayang, nanti kalau tabungan sudah banyak, Aisyah pasti sekolah.” jawab Sutinah seraya menghibur Aisyah.
“Uangnya ada dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah. Wah! Cukup banyak juga ya Mak, padahal baru sebulan Aisyah ngisi si ayam ini, hi hi. ” ucap Aisyah sambil tertawa kecil. Sejak dia bekerja jadi tukang cuci, dia rajin menabung di celengan yang terbuat dari tanah liat berbentuk ayam.
“Trimakasih ayam, maaf ya, tubuh kamu jadi berantakan, tapi gak apa-apalah, nanti aku perbaiki lagi, terus aku isi lagi deh.” ucap Aisyah dengan wajah ceria. Kekecewaannya terobati ketika melihat uang di celengan itu cukup banyak. Bagi keluarga Aisyah uang sebanyak itu sangat berarti.
“Mak, gimana kalau uang ini kita jadika modal dagang saja. Emak yang bikin kue-kue, nanti Aisyah yang ngejajainnya, ya Mak.” kata Aisyah sumringah.
“Nantinya lagi, uang hasil dagangan kita, ditabung lagi, siapa tahu tahun depan uangnya lebih banyak dari sekarang, terus Aisyah bisa sekolah, ya Mak?” lanjut Aisyah
Sutinah hanya tertegun mendengar rencana Aisyah. Dia merasa bangga pada anaknya. Begitu gigih keinginannya untuk bersekolah. Sutinah merasa sangat berdosa karena sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah terpikir untuk menyekolahkan Aisyah.
“Aisyah mau manjajakan kue buatan emak?” tanya Sutinah penuh harap
“Mau, mau Mak.” jawab Aisyah semangat.
“Kalau begitu, besok pagi kita mulai kerja ya.” ajak Sutinah
“Asyiiik …, Aisyah besok ke sekolah.” sorak Aisyah
“Eh, kok ke sekolah, besok itu Kamu jualan kue Aisyah, bukan sekolah.” ucap Sutinah hetan.
“Iya Mak, maksudnya Aisyah besok jualannya mau di sekolah saja, biar cepat laku. Anak-anak sekolah kan sukanya jajan makanan yang emak buat.”
Kesokan harinya, Aisyah jualan kue buatan emaknya. Hari itu Aisyah gembira sekali. Kegembiraan yang dirasakan bukan masalah berjualan kuenya, tapi Aisyah dapat pergi ke sekolah, walaupun hanya sekadar untuk berjualan, bukan untuk belajar seperti anak-anak yang lain.
Langkah kecil Aisyah begitu cekatan menyusuri pematang sawah. Karena tempat tinggalnya agak terpencil, Aisyah harus menempuh jarak satu kilometer ke sekolah terdekat, dan itu harus dilaluinya dengan berjalan kaki.
Perjalanan yang sangat melelahkan. Namun, kelelahan itu terbayarkan oleh kegembiraan Aisyah saat pertama kalinya menginjakkan di kaki sekolah itu. lamunan pun melayang, “Seandainya saja aku dapat sekolah di sini, mungkin pakaianku tidak seperti ini, aku akan berpakain putih merah, bersepatu bagus, membawa buku-buku, ya… seperti anak sekolahan itu.”
Awalnya Aisyah ragu-ragu untuk masuk ke area sekolah itu, karena sudah banyak orang yang berjualan. Dia juga bingung, dagangannya harus disimpan dimana. Akhirnya Aisyah berjalan berkeliling menghampiri anak-anak, dengan harapan mereka membeli dagangannya.
“Kue …, kue.” Aisyah mulai beraksi menjajakan dagangannya.
“Hm, kok gak ada yang beli ya, kenapa? Apakah mereka gak suka dengan jajanan seperti ini? Kasihan emak, kalau kue-kue ini tidak laku.” keluh Aisyah dalam hatinya.
“Aisyah!” Ada seseorang yang memanggil namanya. Aisyah pun kaget, dia memalingkan wajahnya ke arah suara yang memanggil namanya.
“Kamu jualan di sini? Jualan apa? Wah…, kayanya enak-enak nih kuenya, aku beli ya, berapa?” tanya Siti.
“Hai, Siti …, Kamu sekolah di sini? Iya, aku jualan kue dagangan emakku, coba deh, pasti enak, buat kamu boleh seribu ambil tiga.” jawab Aisyah girang, karena ada juga yang mau mebeli dagangannya.
Siti pun langsung mengambil kue dagangan Aisyah dengan senang, lalu bertanya,”Emang harga satunya berapa? Kalau aku ambil tiga, apa Kamu gak rugi?”
“Gak lah Sit, Kamu kan teman sekampungku, ya itu itung itung hadiah dariku untuk Kamu, karena Kamu orang pertama yang membeli daganganku. Eh …, tapi kasih tahu teman-teman Kamu ya, ajak mereka jajan kue-kue daganganku.” ucap Aisyah penuh harap.
Di hari pertama, tidak sampai satu jam dagangan Aisyah terjual habis. Sengaja Aisyah datang lebih awal. Pagi-pagi buta Aisyah sudah berangkat ke sekolah, dan tiba sebelum anak-anak masuk kelas. Alhasil dagangan Aisyah lebih cepat laku dari pada dagangan yang lain.
Setelah dagangannya habis Aisyah tidak cepat pulang. Aisyah selalu duduk di bawah jendela kelas satu. Diam-diam dia memperhatikan pelajaran dari luar kelas. Aisyah sangat menguasai pelajaran membaca dan berhitung, walaupun pelajaran yang dia dapatkan hasil mengintip dari luar kelas.
Dasarnya Aisyah anak cerdas, lama-lama dia bosan mengintip kelas satu terus, selanjutnya dia mengintip kelas dua dan kelas tiga. Hingga pada suatu hari ketika Aisyah sedang mengintip ruang belajar kelas tiga. Aisyah keceplosan menjawab pertanyaan guru dari luar kelas.
Semua orang yang ada di dalam kelas itu terkejut ada suara dari luar kelas. Serempak semua orang menoleh ke arah jendela. Tampak di luar jendela Aisyah ketahuan sedang mengintip. Aisyah pun terkejut, dia tidak menyangka kalau suaranya akan terdengar oleh orang-orang yang ada di dalam kelas.
Bu Ika selaku pengajar di kelas itu pun spontan keluar. “Hei, siapa itu di luar?” tanya Bu Ika.
Aisyah merasa ketakutan, dia malah lari meninggalkan tempat itu. Anak-anak pun turut keluar kelas. Di antara mereka ada yang mengejar Aisyah. Edi sang ketua kelas berhasil mengejar Aisyah.
“Tunggu, Kamu siapa? Kenapa tadi Kamu mengintip?” tanya Edi terengah-engah, menghentikan langkah Aisyah. Aisyah pun berhenti berlari. Dia sangat ketakutan karena ketangkap basah sedang mengintip di luar kelas.
“Maaf, sa … saya Aisyah, saya …” Belum selesai Aisyah menjawab pertanyaan, tiba-tiba ada yang menjawab. “Dia Aisyah, Aisyah temanku di kampung, dia yang berjualan kue di sekolah kita.” jawab Siti juga sambil terengah-engah, karena mengikuti Edi mengejar Aisyah.
Tak lama kemudian, datanglah Bu Ika yang diikuti oleh beberapa guru yang lainnya. Pelarian Aisyah rupanya memancing perhatian guru-guru di sekolah itu. Tak ayal lagi, Aisyah pun dikerumuni orang-orang. Perasaan bersalah Aisyah semakin mendera.
“Ini Bu orang yang tadi ngintip sudah ketangkep.” seru Edi sambil menunjuk Aisyah.
“Hey, bukankah Kamu yang suka jualan di sekolah ?” tanya Bu Ika pelan. Dia merasa iba. Dihampirinya Aisyah yang sedang jongkok meringis karena takut. “Sini Nak, jangan takut, kenapa Kamu lari?” tanya Bu Ika kemudian.
“Iya Bu, Maaf, kalau saya mengganggu, saya hanya mendengarkan pelajaran saja di luar kelas, dan saya gak sadar… saya jadi ikut mejawab pertanyaan ibu, maafkan saya ya Bu.” jawab Aisyah ketakutan.
“Namamu siapa? Kenapa Kamu gak sekolah,Nak? Rumahmu dimana?” tanya Bu Ika semakin penasaran.
“Dia Aisyah Bu, tinggal di Kampung Sukamiskin, satu kampung denganku, anaknya Bu Sutinah. Dia orangnya baik kok Bu, jadi jangan salahkan dia, memang dia sudah lama ingin sekolah, tapi orang tuanya belum membolehkan.” Siti menjelaskan keberadaan Aisyah, karena dia tahu Aisyah sedang dalam keadaan tertekan.
Mendengar jawaban dari Siti, Bu Ika pun terperanjat. Dia baru tahu kalau Aisyah itu adalah anaknya Sutinah. Kisah tentang keluarga Sutinah, memang sudah menjadi buah bibir bagi warga sekitar. Termasuk Bu Ika pun pernah mendengar kisah yang memilukan tentang keluarga Sutinah.
Bu Ika menjulurkan tangannya untuk meraih Aisyah. “Sini, Nak.” Aisyah pun langsung dipeluknya erat. “Mulai besok Kamu gak usah jualan lagi di sekolah ya, dan Kamu gak boleh ngintip kelas lagi ya.”
Aisyah terdiam mendengar ucapan Bu Ika. Pikirnya kacau. Aisyah gak tega memberitahukan kejadian ini kepada emaknya. Emaknya pasti kecewa, karena dia gak bisa membantu menjajakan dagangannya. Akhirnya Aisyah memberanikan diri bertanya kepada Bu Ika.
“Tapi Bu, bagaimana dengan emak saya, kalau saya gak boleh lagi jualan di sekolah, pasti emak kecewa. Saya janji Bu, saya gak akan ngintip kelas lagi, tapi tolong Bu, izinkan saya jualan saja di sekolah ya Bu, saya mohon.” Aisyah memohon dengan nada memelas.
“Aisyah, maksud ibu, Kamu mulai besok boleh masuk kelas ikut belajar dengan teman-temanmu di dalam kelas. Dan kalau kamu mau, boleh kok sambil jualan.” Bu ika menjelaskan maksud yang sebenarnya.
Bagai mendapat durian runtuh. Perasaan Aisyah seolah meloncat-loncat kegirangan. Rasa bahagia yang tiada tara mendengar perkataan Bu Ika tadi. Bukan hanya Aisyah yang merasa gembira, tapi orang – orang yang turut mendengarkan perkataan Bu Ika tadi turut senang.
Siti langsung memeluk Aisyah. “Aisyah, akhirnya Kamu bisa sekolah juga, kita berangkat bareng besok ya.” kata Siti
Saat itu, antara percaya dan tidak, Aisyah masih tertegun. Ada rasa haru yang mendalam. Aisyah pun langsung menciumi tangan Bu Ika, sebagai tanda terima kasihnya yang tak terhingga. Air matanya menetes, tak kuasa menahan haru atas kebaikan Bu Ika.
“Alhamdulillah, trimakasih Bu, Aisyah sangat senang mendengarnya. Aisyah janji, akan belajar sungguh- sungguh.” ucap Aisyah gembira, tapi kegembiraannya terhenti seketika, ketika dia sadar bahwa dia tak punya buku-buku dan pakaian seragam sekolah.
“Tapi Bu, Aisyah sekarang ini belum mampu menbeli buku-buku dan seragam sekolah, makanya Aisyah jualan kue, hasilnya sebagian ditabung untuk biaya sekolah Aisyah tahun depan. begitu kata emak Bu.” jelas Aisyah polos.
“Sudah, Kamu jangan pikirkan itu. Biar ibu nanti yang mengurus semuanya, ya. Sekarang ayo kita ke kelas lagi. Aisyah, silakan Kamu pulang, sampaikan kepada ibumu ya, kalau Kamu besok mulai sekolah.” Bu Ika menyudahi percakapan.

(Visited 61 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan